Langit terus menebarkan butiran salju, menghamparkan kesejukannya dalam keheningan kami. Perlahan tanganku mulai gemetar. Jatuhlah samurai yang sempat kutodongkan ke arahnya. Tak lama Putra Mahkota juga menurunkan senjata pegas miliknya.
"Jika bisa memilih, dari awal aku tak ingin di pertemukan olehmu, "kataku.
Tatapannya melemah, mata sinis dan senyum kecut tak lagi nampak. Tubuhnya terpaku seolah salju telah membekukannya.
"Aku pun tak ingin jika aku tau hubungan kita akan berakhir seperti ini,"katanya.
"Mulai sekarang, perasaan ini akan saling menyakiti. Tak ada yang bisa mengelaknya. Kita berdua tak bisa bersama, akan lebih baik jika kita tak lagi pernah mengingat apa yang telah terjadi"kataku lalu mengambil samuraiku dan berpaling darinya.
Kakiku mulai melangkah meninggalkannya. Tak ada suara isak tangis, namun kedua mataku tak bisa menahan kesedihan ini.
"Jaga bayi kita, "pekiknya.
Bayi kita? Apa sekarang kamu telah melepasku bersama bayi ini?
Tentu saja!
Kita tak akan bersama. Tak akan pernah. Ada semburan api di antara kita dan karna itu akan ada sebuah pertarungan yang akan mengorbankan nyawa sekaligus perasaan.
Maafkan aku. Dendam itu tak akan tumpul meski waktu terus bergulir. Sebaliknya, dendam itu terus membesar seiring berjalannya waktu.
-------------------------------------------------------
"Senang bertemu denganmu, Putri Son, "ujar seorang selir.
Apa aku harus memanggilnya sebagai Ratu? Atau aku harus memanggilnya dengan sebutan Ibu?
Tak kusangka sepeninggal Ibuku, Ayahku akan menikahi wanita lain. Tapi aku tak begitu memperdulikannya. Sudah sepantasnya seorang Raja memilih seorang selir sekaligus Ratu untuk menjadi pendampingnya di istana megah ini.
"Haruskah aku memanggilmu Ratu? "Katanya dingin.
Ia tersenyum, menampakkan deretan gigi putihnya. Sambil tersenyum ia menuang teh ke gelasku.
"Panggil aku sesuka hatimu, "katanya.
Entah kenapa aku terus menatapnya sinis. Ada perasaan tidak suka, walaupun aku sendiri tak tau apa penyebabnya.
Kuseruput teh di hadapanku. Kurasakan alirannya namun tak bisa menikmati. Teh hangat ini hanya mengelus ringan tenggorokanku. Kehangatan yang tak mampu tersalur sampai ke hati.
"Apa kamu dan Ice pernah bertemu sebelumnya? "
Aku diam tak bersuara.
"Sebenarnya keikutsertaan Ice dalam seyambara itu hanya itu memata-matai Putra Mahkota sekaligus berencana menghabisi nyawanya tapi tak kusangka ia akan kalah dan kembali dengan tangan kosong. "
"Apa ia terlibat dalam penyerangan di istana? "
"Benar! "Matanya terlihat licik, "dia hampir berhasil membunuh Putra Mahkota, tapi kudengar ada seseorang yang tak sengaja menolongnya, dia seorang wanita"katanya sambil meneguk teh.
Aku tau ia sedang menyindirku. Tapi apa boleh buat semua yang terjadi saat itu benar-benar di luar kendali. Apalagi aku tak tau bahwa penyerangan itu berkataitan denganku.
Kali ini tangannya meraih guci berisi alkohol. Mengalirkan air berwarna putih ke dalam gelasnya lalu dilanjutkan dengan gelasku. Ia kembali meneguk dari gelasnya.
"Kamu tak ingin meminumnya? "Tanyanya.
"Tidak. "
Aku tak bisa meminumnya. Kandunganku harus kujaga dengan baik. Aku ingat Putra Mahkota melarangku untuk meneguk alkhol lagi sebab akan terjadi pengaruh buruk pada janinku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Embrace The King
RomanceSebuah tradisi pendewasaan seorang Putra mahkota yaitu sang Putra mahkota harus tidur dengan salah satu wanita. Mereka adalah wanita-wanita terbaik dari yang terbaik. Ada salah satu wanita desa yang jauh dari kata sempurna mengikuti sayembara terse...