16

21.4K 1.1K 50
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

Selamat membaca

Jangan lupa pencet ⭐ ya kakak

Ayana pov

Aku hamil. Hamil buah cintaku dan Afka, Aku sangat senang, tentu saja. Akhirnya kami diberikan kepercayaan, Aku tahu betul bagaimana Afka sangat berharap hal ini secepatnya.

Aku tahu Afka marah dan kecewa dengan sikapku. Jujur, Aku tidak bermaksud menyakiti egonya. Hanya saja, saat itu Aku benar-benar hilang akal dan termakan perkataan Siska, harusnya Aku tidak semudah itu percaya semua omongannya, Aku menyesal.

Dua hari sudah hubungan kami berubah dingin, dia hanya akan bicara seperlunya, Afka berubah tidak seperti biasanya.

"Aku tidak akan mendebatmu karna tidak makan, tapi Aku akan memaksamu karna anakku butuh itu," katanya saat Aku menolak memakan makanan yang dibawanya, dia sudah tidak peduli lagi padaku, yang ada difikirannya hanya anak kami.

Kami masih tinggal di rumah Mama, Tante Sintia menyuruhku untuk istirahat total karna kandunganku lemah, usianya diperkirakan baru tiga minggu. Mengetahui hal itu Afka benar-benar protektif, Aku bahkan dilarang untuk berjalan, saat ke kamar mandi dia akan menggendongku lalu menungguiku di depan, melarang mengunci pintu dengan alasan kalau terjadi apa-apa dengan anaknya dia akan cepat membantu. Semuanya demi anaknya bukan Aku.

Bukannya tidak mau mengajaknya berbicara terlebih dahulu, hanya saja Aku malu, sangat malu. Bayangkan saja Aku dulu menuduhnya pembunuh padahal kejadiannya bukan begitu, ibu yang menjadi pelakunya, ibu sendiri yang menjemput mautnya.

Meskipun dia mendiamkanku, tapi perhatiannya tidak berkurang untuk anak kami. Seperti sekarang, setelah menyuapiku makan, -Aku memang tidak puasa sekarang- dia akan mengelus perutku sambil sesekali menciumnya, hal yang sama yang dia lakukan sebelum kami tahu anak kami sudah ada di sana.

"Cepat besar Nak, Ayah menunggumu di sini."

Cuppp,

Setelah melakukan itu dia keluar begitu saja, dia bahkan tidak mau lama-lama satu ruangan denganku.

***

"Gimana keadaanmu sayang?" Mama masuk ke kamar sambil membawa sepiring buah yang sudah dipotong-potong. Dia duduk menyamping di pinggir ranjang.

"Alhamdulillah sudah baikan Ma." Bukan hanya pada Afka Aku malu, tapi pada semua keluarganya. Aku malu karna pernah bersikap kurang sopan pada mereka saat melamar dulu.

"Ayana, sayang, jangan gini. Apapun yang terjadi semuanya atas kuasa Allah, ibu kamu mungkin sedang lupa diri saat itu, kamu boleh sedih tapi jangan berlarut-larut."

Mama mencoba menguatkanku, sesama perempuan mungkin dia lebih tau dan mengerti dengan perasaanku saat ini. Dia memelukku hangat, pelukannya mengingatkanku kembali tentang ibu.

Aku kembali menangis, setiap mengingat ibu Aku pasti menangis, jika saja ibu tidak pergi mungkin semuanya tidak akan sesedih ini.

"Udah jangan sedih lagi, kasian dedek bayinya juga ikutan sedih, kamu ngak sendiri sayang, kami semua ada buat kamu."

Aku mengangguk, benar Aku sudah tidak sendiri sekarang, ada Mama, Papa, Shaila dan tentu saja suamiku, Afka.

"Mas Afka mana, Ma?"

"Di luar, ada kerjaan yang harus dia selesaikan, ini dia minta Mana bawa buah buat kamu, harus dihabiskan katanya." Tangan Mama memindahkan piring buah itu ke atas pangkuanku.

Afka memang tidak pergi ke kantor sejak dua hari yang lalu, Aku merasa sangat bersalah karna ulahkuk dia seperti ini, aku benar-benar tidak berguna dan merepotkan.

Cinta Luar Biasa (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang