Chapter 21: Hukuman

15 0 0
                                    

Akhir pekan berakhir lebih cepat daripada yang kubayangkan dan hari Senin terasa datang lebih cepat. Biasanya, aku bangun cepat di pagi hari. Namun, tidak untuk hari ini walaupun aku tidur lebih awal tadi malam untuk mengistirahatkan tubuhku.

Kondisi tubuhku sudah terasa lebih baik sekarang. Luka memar yang ada di badan sudah tidak terasa lagi saat aku bangun tadi. Sekarang sudah pukul tujuh pagi dan aku harus bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.

Setelah mandi, aku mengecek luka memar yang ada di tubuhku di cermin. Memarnya masih berbekas, tapi sudah tidak seperti kemarin. Ini berkat obat oles yang diberikan polisi waktu itu. Kuoles lagi obat itu di bagian badanku agar memarnya cepat hilang. Untuk di bagian muka, kupakai plester yang kemarin diberikan Atsuko-san saat dia datang ke sini. Setidaknya dengan plester ini, memar yang ada di wajahku tidak terlihat semua dan bisa lebih cepat menghilangnya. Plester ini kupakai di daerah pipi. Memar yang terlihat hanya di dekat mata dan mulut.

Setelah makan dan menyiapkan semua untuk keperluan sekolah hari ini, aku meninggalkan apartemenku ini sekitar pukul 7:50 pagi.

Cuaca hari ini terbilang cerah. Prakiraan cuaca yang kulihat tadi juga menginformasikan kalau hari ini tidak ada hujan. Bukannya tidak ada, tapi peluang terjadinya hujan rendah. Sekarang sudah memasuki akhir bulan Juni dan bulan Juli akan tiba beberapa hari lagi. Itu artinya musim hujan akan memasuki puncaknya.

Ketika aku berada di persimpangan jalan, tempat di mana aku bertemu Fuyukawa-san dan pergi bersama ke sekolah waktu itu, aku melihat mobil yang dipakai Ibunya saat mengantarku pulang dari kawasan belanja beberapa waktu yang lalu. Melalui jendela mobil yang terbuka, aku melihat Fuyukawa-san di dalam mobil itu. Itu berarti dia pergi ke sekolah dengan mobil. Dia tidak melihatku yang berjalan di trotoar.

Itu pertama kalinya aku melihatnya pergi ke sekolah dengan mobil. Dia pernah bilang kalau dia pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Namun, jarak antara rumahnya dengan sekolahnya terbilang lumayan jauh, mungkin sekitar 40 menit dengan berjalan kaki. Tidak mungkin dia berjalan kaki ke sekolah setiap hari dan ditambah dengan latihan bola basket. Pasti itu sangat melelahkan. Aku sendiri baru sekali pergi ke sekolah bersamanya dan itu pun karena kebetulan bertemu. Apa dia menyembunyikan sesuatu dariku? Tidak, tidak. Tidak baik aku mencurigai temanku sendiri. Itu bukanlah diriku yang biasanya. Mungkin saja dia berjalan kaki ke sekolah sebagai warm up sebelum latihan atau untuk merileksasikan pikirannya. Ya, pasti seperti itu.

Ketika sampai di trotoar samping sungai, aku melihat seorang laki-laki yang kukenal walaupun di sekolah kami tidak berbicara. Dia adalah Shiga. Ternyata dia juga berjalan kaki ke sekolah. Aku pun mempercepat langkahku untuk menyapanya.

"Yo, Shiga!"

"Ah!" Shiga terkejut ketika kupanggil namanya.

"Kenapa kamu terkejut seperti itu?"

"Tentu saja aku kaget karena ada orang yang tiba-tiba memanggil namaku."

"Maaf, maaf."

"Tidak apa-apa. Daripada itu, kenapa dengan mukamu?"

"Sebenarnya..." Aku menjelaskan semua apa yang terjadi kepada Shiga kenapa wajahku bisa menjadi seperti ini.

"Jadi seperti itu, ya. Kamu hebat, ya, Amamiya."

"Tidak hebat, kok. Aku hanya melakukan hal yang seharusnya kulakukan saja."

"Tidak, tidak, tidak. Kamu hebat, lo. Kamu bahkan berani menantang preman itu. Kalau aku, mungkin aku sudah lari untuk mencari bantuan."

"Begitu, ya. Itu juga termasuk salah satu cara yang lain."

"Lalu, bagaimana keadaanmu? Pasti sakit, kan?"

Second Chance in My High School LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang