Hi, semua!
Cerita ini kembali aku upload karena beberapa hal. Di FFN sudah agak lama progresnya. Jadi, berharap banyak yang bisa menikmati lewat Wattpad. Belum lagi ketika chapter 1 ini up, di FFN sudah masuk di chapter-chapter akhir. Sudah waktunya update lewat Wattpad.
Oke, kita mulai saja, ya!
Happy reading!
----------------------------------
Tak seindah beberapa tahun silam. Pohon Platanus di tepian pertokoan kue beraroma kayu manis dengan cat merah bata. Harry membenci tempat itu. Jauh sejak lima tahun yang lalu. Kenangan yang tak pernah ingin ia ulang kembali. Namun, tiap kali ia melalui jalan itu seorang diri, tangan kanannya selalu tergenggam erat. Merasakan jika lima tahun lalu seharusnya ia lakukan pada Albus. Menggenggam tangan kecil putranya ketika membeli sepotong pie ceri untuk camilan makan siang.
Albus Severus, terlepas dari jangkauannya. Pergi dari antrean para pembeli lain di toko itu. Albus hanya seorang anak yang mudah bosan berdiri menunggu di tengah banyak orang. Ia hanya ingin bermain. Lantas yang terpikirkan olehnya adalah berpamitan ingin mendekat ke salah satu tanaman kaktus kecil yang menarik perhatiannya. Harry mengangguk tanpa kata. Cukup senyuman itu sebagai langkah terakhir mengantarkan putranya pada kehidupan normalnya yang terakhir. Lalu selanjutnya, Harry diam dengan sebuah penyesalan besar. Yang pernah ia lakukan sepajang hidupnya.
Para Muggle itu mengatakan putranya epilepsi. Penyakitan. Kejang dan mengerang kesakitan di bawah pohon seorang diri. Hanya ada seorang pria berpakaian hitam sempat terlihat mendekat pagi itu. Namun, entah siapa. Mereka kira, Albus diajak bermain dari benda panjang serupa ranting pohon yang digenggam pria itu. Semacam mainan dimana ujungnya mengeluarkan cahaya. Mengarah pada tubuh Albus yang terus mengejang. Membungkuk. Menekuk tubuhnya sembari bersandar di badan pohon lebih dari sepuluh menit lamanya. Tidak ada yang tahu jika saat itu sedang berlangsung penyiksaan paling keji dengan sihir terlarang yang pernah tercipta sepanjang abad.
Sementara di dunianya, tidak ada penyakit sihir semacam itu. Yang ada hanya ingatan lama tentang dua Auror hebat yang menderita hal sama berpuluh-puluh tahun lalu. Dengan keadaan yang sama dan sebab yang sama pula. Putra Potter akan mengikuti jejak nasib pasangan Longbottom, seru mereka. Terasing dari dunia yang ia tinggali. Hingga kematian benar-benar memutus nasibnya.
Sejak saat itulah semua pemberitaan terus menyorot nama besar Potter. Dengan penekanan pada putra termudanya yang gila. Sakit jiwa. Tidak waras. Sekarat.. dan semua kata terburuk yang pernah ada dalam kamus mana pun. Menyebut Albus sebagai bukti ancaman besar di dunia sihir belumlah usai.
"Aku tahu bagaimana rasa sakit itu, son. Maafkan Daddy! I'm so sorry!"
Berharap apapun sudah terlambat. Kini Albus hanya bisa terlelap di dalam kamarnya. Tubuhnya kurus. Terus bergumam tanpa kata yang jelas. Sorot matanya kosong dengan telinga yang tak berfungsi sepenuhnya. Tubuhnya tak akan bisa bertahan dengan tegap tak lebih dari lima menit. Layu dan tak berguna. Sambil menangis atau memukul-mukul kepalanya tiap hari. Begitu terus berulang sepanjang tahun.
"Harry, pulanglah." Suara berat menyusup di sela-sela desahan angin pagi. London berawan dengan suhu cukup dingin. Namun itu semua tak dirasa oleh Harry, yang berdiri beberapa langkah di depannya. "Kau sudah dua jam berdiri di sini." Lanjutnya.
Neville menyentuh pundak sahabatnya dengan hati-hati. Berkat pesan yang ia terima dari Ginny, pagi ini ia berdiri bersama Harry memandang pohon yang sama dengan tempat Albus tak sadarkan diri dulu.
"Sebentar lagi pukul sembilan, Neville. Aku akan menunggunya keluar."
"Harry, sudahlah. Jangan terus siksa dirimu seperti ini. Ini sudah kesekian kalinya sepanjang lima tahun kau-Merlin, Ginny memintamu pulang sekarang juga, Harry!"
Harry menggeleng pelan. Menarik napasnya dalam-dalam lantas berkata, "aku akan bunuh dia. Di tempat yang sama saat ia membuat putraku sekarat, Neville. Dia harus menerima balasan yang lebih menyakitkan daripada yang ia berikan pada Albus." Ujar Harry penuh rasa dendam.
Posisi Harry tak berubah. Membelakangi Neville yang turut tak bergerak dari tempatnya berdiri. "Harry, kau orang baik. Kau tak akan membunuh siapapun jika-"
"Dia bersalah, Neville!" Harry memutar tubuhnya menghadap Neville dengan wajah memerah penuh amarah. "Atau aku yang memang bersalah."
"Tidak, Harry. Tidak seperti itu-"
"Lalu bagaimana? Kau pikir, apa salah dari seorang anak berusia lima tahun sampai seseorang harus marah padanya lalu menyiksanya dengan mantera cruciatus selama lebih dari sepuluh menit? Jawab, Neville? Kalau bukan memang dia yang gila atau ingin balas dendam padaku. Tentu jawabannya sudah jelas. Ini semua akan kembali padaku. Aku yang memulainya dari awal. Semuanya!"
"Cukup, Harry. Tenanglah!"
Harry tak bisa menahan luapan rasa takut dan penyesalannya yang terus tertahan selama bertahun-tahun. Ia melepas tangisnya dalam pelukan Neville. Tak cukup kuat untuk menunjukkannya di hadapan sang istri. Harry berada pada titik terlemahnya. Kekuatannya seolah tak berguna sebagai orangtua sekaligus penyihir hebat yang dikenal dunia.
"Aku seperti pecundang yang tak berani menghadapi kenyataan. Aku membuat penderitaan banyak orang. Aku membuat banyak orang mati, Neville. Membuat orangtuaku sendiri mati untukku. Lalu sekarang, anakku harus menerima siksaan yang harusnya aku rasakan."
Salah satu mantan pelahap maut diketahui sebagai tersangka pelempar mantera cruciatus pada Albus beberapa tahun lalu. Segala pencarian dan perburuan besar dilakukan untuk menangkapnya. Harry pun tak pernah absen turut serta dalam penyeragan tim Aurornya atau bahkan secara pribadi melakkan investigasi di sela waktu kosong yang ia punya. Sampai semua jejak tak lagi ditemukan. Pencarian dan sidang hukum sihir menyatakan kasus itu ditutup setelah ditemukan tongkat sihir misterius dengan sejarah pemakaian mantera terlarang itu. Beserta jejak darah yang merujuk pada satu kesimpulan. Ia telah meninggal tanpa jasad yang berhasil ditemukan.
"Berhentilah bersikap konyol. Yang dibutuhkan Albus saat ini adalah keluarganya. Kau sebagai ayahnya, Harry. Ia membutuhkanmu. Ginny, James, dan Lily membutuhkanmu. Kami semua peduli padamu. Pada Albus!"
"Aku tak bisa, Neville. Hidup Albus-oh God, aku ingin dia yang mengantarkanku saat aku tiada, bukan sebaliknya. Dia masih sangat muda, Neville. Albus masih sangat muda!"
Neville tahu. Ia pun takingin mengulang kejadian yang sama seperti yang dialami kedua orangtuanyasetahun yang lalu. Harus mengalah setelah efek siksa cruciatus menghancurkanhidup mereka selama bertahun-tahun. Neville tidak mau itu terulang lagi padaputra baptisnya. Albus Severus Potter.
TBC
---------------------------------------------
Jangan lupa tinggalkan komentarnya, ya!
Thanks!
Anne xoxo
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral
FanfictionMasa depan Albus Potter hancur. Ia disebut gila setelah mampu bertahan dari siksa mantera yang bisa membunuhnya di usia muda. Semua orang memandang hidupnya tak berguna. Kecuali Scorpius Malfoy, datang sebagai sahabat meski katanya... mereka tak lay...