8.
Albus mengusap kusen kayu jendela kamarnya. Tralis besi masih terpasang kuat di sana. Saksi jika merekalah garda pelindung untuk pemilik kamar itu. Albus tidak tahu, mengapa nasib buruk itu harus ia yang menanggung. Semakin lama ia rasakan bahwa dirinya memang bukanlah siapa-siapa. Manusia lemah yang pernah separuh perjalanan hidupnya terkurung di kamar itu.
Tumpukan surat dari Scorpius runtuh di posisi surat ke lima. Sudah terlalu banyak surat yang ia terima. Sebanyak itu pula hari demi hari persahabatannya dengan Scorpius terlewati hanya sebatas bermediakan sepucuk surat. Albus tahu dirinya tidak bisa berbuat banyak. Sering merasa bersalah jika surat balasannya kepada Scorpius hanya berupa beberapa kata saja. Barulah jika Lily ikut membantu, satu halaman kertas suratnya dapat penuh.
Dia bukan sahabat yang baik. Bukan Scorpius, melainkan Albus sendiri dengan tindakannya. Tidak seperti itu sosok sahabat yang sebenarnya. Albus patut malu dan sadar diri. Pantas jika James tampak tidak suka dengannya. Ia lemah, tidak bisa apa-apa. Bahkan untuk membahagiakan sahabatnya saja ia tak mampu.
"Maafkan aku," ucap Albus.
Ibu jarinya menggosok pelan tulisan nama Scorpius. Hanya itu yang mampu ia lakukan. Tidak ada yang salah memiliki sahabat. Albus ingin memiliki sahabat seperti Ayahnya dulu. Melegenda dengan persahabatan tiga sekawannya. Golden trio. Siapa yang tidak tahu mereka. Sejarah telah mereka ukir bersama. Begitu indah hingga Albus iri.
Apa salah ia memilih Scorpius? Albus menyukai sikap anak itu. Bukan karena hanya Scorpiuslah yang mau bersamanya. Karena memang ketulusan itu Scorpius miliki. Untuk Albus.
Hanya ketika pagi itu.. tidak pernah Albus bayangkan jika Scorpius dianggap pilihan yang salah.
"Anak Voldemort itu? Bagaimana bisa anak itu mengenal Al? Harry, kau harus menjaga putramu!"
Jelas sekali Ron menyebut nama terkutuk itu sebagai seseorang yang berhubungan erat dengan Scorpius. Voldemort telah lama mati. Dikalahkan oleh Ayahnya sendiri bahkan semua buku sejarah sihir mencatat tanggalnya. Hanya Albus belum sedikit pun mengerti. Apa salahnya untuk memiliki sahabat? Bersama Scorpius?
"Albus?"
Harry telah siap dengan piamanya. "Kau masih belum tidur juga. Kenapa?" tanyanya selepas mendudukkan diri di ranjang putranya.
"Em-" Albus memikirkan alasan terlogis secepatnya. Ia pandangi rerumputan hijau yang kini gelap di halaman samping rumahnya. Hanya dari jendela kamarnya itu, Albus mendapatkan ketenangan ketika sendiri di kamarnya.
"Kau selalu suka di dekat jendela. Daddy memperhatikan itu sejak dulu, loh."
"Dad benar. Kira-kira memang begitu. Jendela lebih menakjubkan, Dad. Aku bisa melihat apapun lewat jendela dan masih tetap merasa aman karena aku terus berada di dalam."
Albus mengusap teralisnya penuh kasih sayang. Terasa dingin dan kokoh tak mau bergerak. "Jendela mana pun aku suka. Karena dibalik jendela pasti ada kejutan yang berbeda-beda. Dunia yang berbeda." ungkapnya.
Sendiri pun Harry mengerti. Sejak Albus sakit memang jendelalah tempat Albus selalu merasa tenang. Bahkan dulu ia sering menemukan Albus tertidur di dekat jendela yang masih terbuka. Satu-satunya akses yang bisa Albus nikmati dari kurungan sebatas tembok di kamar yang terus menahannya.
Harry menangkap sesuatu yang dalam dari tatapan Albus ke arah luar jendela. "Besok pagi sebelum kerja, Dad bisa lepaskan tralis itu-"
"Tidak perlu, Dad. Biarkan tetap seperti ini." Albus menggenggam tangan kiri Harry dan mengusapnya. "Agar aku selalu ingat, bahwa aku akan selalu aman berada di sini. Tidak akan terjadi apa-apa padaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral
FanfictionMasa depan Albus Potter hancur. Ia disebut gila setelah mampu bertahan dari siksa mantera yang bisa membunuhnya di usia muda. Semua orang memandang hidupnya tak berguna. Kecuali Scorpius Malfoy, datang sebagai sahabat meski katanya... mereka tak lay...