7.
Scorpius menutup kembali lembar perkamen kosong di atas meja belajarnya. Hampir dua hari Albus tidak membalas surat-suratnya. Auriga hanya sempat dikirim. Namun tidak membawa apa-apa ketika kembali. Alhasil Scorpius mulai merasa khawatir mengapa Albus tidak lagi ada kabar meski membalasnya sekadar ucapan 'hai'.
"Ada apa, ya? Apa dia sakit lagi?"
Gumaman Scorpius terdengar oleh sosok wanita tinggi dengan jaket hangat melekat di tubuhnya. Astoria memperhatikan kelakuan aneh putranya sejak pagi. Hingga sore ini juga, Scorpius sering didapati berbicara sendiri sambil berpikir keras. Melamun sendirian.
"Kau sedang memikirkan apa, nak?"
Astoria mendekat. Scorpius baru selesai mengambil air minum. "Kau sedang memikirkan sesuatu?" tanyanya. Mendorong badan Scorpius agar minum dengan posisi duduk. Sedangkan Scorpius yang sempat minum sambil bersandar di tembok langsung tersenyum malu tertangkap basah oleh ibunya.
"Nothing." Jawabnya.
"Jangan bohong." Astoria tidak terima.
Anak laki-laki itu mendesah sebal. Ia tak pernah bisa lolos jika menyembunyikan sesuatu dari ibunya sendiri. "Mum membaca pikiranku? Itu lancang, Mum." Protesnya. Astoria hanya bisa terkikik melihat ekspresi Scorpius yang begitu kesal padanya.
"Tidak kok. Mum tahu itu salah satu perbuatan tidak baik. Diam-diam membaca pikiran orang lain walaupun itu mudah bagi Mum. " Ujar Asroria. Dia tepuk sisi kursi panjang di dekat perapian. Kursi malas favoritnya jauh terasa nyaman ketika Scorpius dengan manjanya ikut bergelayut di tubuhnya.
Dahi Scorpius dikecup singkat oleh Astoria. Dari sisi manapun ia melihat Scorpius selalu terlihat wajah Draco di sana. "Mummy yang mengandungmu selama tujuh bulan-karena prematur, sampai kau lahir dan besar Mummy yang mengurus. Jadi Mummy tahu betul siapa kau, sayang. Bahkan Daddymu juga. Mummy paham bagaimana kebiasaannya menyembunyikan masalah. Seperti kamu, Scorp."
"Tapi, apa baik kita menyembunyikan masalah sendirian, Mummy?"
Scorpius tumbuh sebagai anak yang cerdas. Banyak hal ia pelajari sendiri di rumah. Lingkungannya tercipta terbatas hanya dari Malfoy Manor saja. Ia tidaklah seperti anak-anak yang lain. Menyandang nama keluarga besar Malfoy menuntut Scorpius harus bersikap mandiri. Ia tidak membutuhkan lingkungan luar. Hanya sebatas membuka jendela, menatapnya keluar, lantas menutupnya kembali. Serta tidak lupa menikmati ribuan buku di perpustakaan pribadi keluarga. Sebagai mata lain Scorpius untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dibalik pagar tinggi rumahnya. Melupakan segala masalah di luar sana yang akan terus menghantuinya.
"Masalah bukan untuk dipermasalahkan, sayang. Disimpan atau dilupakan. Tapi diselesaikan. Saat bisa saling berbicara, Mummy rasa itu sudah cukup untuk membagi tekanan yang sedang dirasakan. Asalkan kau menemukan orang yang tepat untuk berbagi keluh kesah."
"Seperti sahabat?"
"Ya. Sahabat yang bisa saling mengerti satu sama lain. Merasa kenyamanan dan-kau punya sahabat, Scorpius?"
Astoria langsung berpusat pada inti pertanyaan putranya. Ia tidak pernah tahu Scorpius memiliki teman dekat. Lalu sekarang tiba-tiba saja Scorpius seolah menanyakan masalah sahabat pada dirinya.
"Bicaralah, nak. Siapa dia?"
"Nothing, Mum. Bukan apa-apa. Aku hanya-" Scorpius melihat tumpukan koran yang baru saja sampai sore ini. Ia beralih cepat meraih satu eksemplar Daily Prophet terbitan kedua di hari ini yang memuat berita terbaru hingga soreini tiba.
MASIH DI RAWAT, PEMBUKAAN SELEKSI AUROR MINUS SANG PIMPINAN
Scorpius tidak tertarik sama sekali dengan topik besar Prophet yang memuat salah satu makhluk sihir ilegal yang baru saja masuk ke Inggris. Melainkan berita sampiran yang tercetak tidak terlalu besar di sudut kanan bawah koran sihir itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral
FanfictionMasa depan Albus Potter hancur. Ia disebut gila setelah mampu bertahan dari siksa mantera yang bisa membunuhnya di usia muda. Semua orang memandang hidupnya tak berguna. Kecuali Scorpius Malfoy, datang sebagai sahabat meski katanya... mereka tak lay...