13. Pertaruhan

382 44 13
                                    

Hi hi.... Ephemeral kembali.

Ada yang kaget dapat notif soal Ephemeral?

Hehe jadi begini. Beberapa waktu ini banyak banget yang tanya nasib cerita Ephemeral. Kok nggak lanjut? Dan tadi pagi pas buka laptop buat ngerjain kerjaan, jadi kepikiran buka filenya.

Kalau yang sudah baca di FFN, chapter terakhir itu mentok di 15. Di WP baru 12. Dan di file aku, ternyata sudah 16. Jadi ada satu chap yang belum ke publish di dua platform itu.

Bukannya nggak mau lanjut, bukan. Jujur aja, selain Guinevere, Ephemeral ini salah satu cerita yang bikin aku nguras emosi waktu nulisnya. Nggak bisa dipaksa. Moodnya kudu ketata banget. Dan nggak tahu kenapa, tiap mau nulis, ada aja halangannya. Satu hal yang aneh, aku setiap kepikiran nulis ini, kondisi aku lagi gk sehat. Kayak sekarang, lagi flu. Pilek batuk, tapi ide Ephemeral jalan. Aneh gk sih? Seolah berasa ngikut deritanya Albus.

Diluar dari itu, aku berharap cerita ini bisa selesai dan berkenan di hati kalian semua. Nah, bagaimana? Setelah sekian lama, siap buat lanjut?

Yuk, dibaca.

Happy reading!

============

Bukannya semakin membaik, keadaannya malah semakin buruk. Albus merasakan dirinya tidak mampu melakukan apa-apa lagi. Kakinya sempurna tidak bisa digerakkan. Tangan kirinya pun hampir sama. Belum lagi lehernya. Bagian di bawah kepalanya bagaikan terpasang kayu yang kuat. Terikat hingga punggung.

Di kanan dan kirinya, Albus mengamati ruangan itu sembari berbaring. Sedikit redup akan cahaya. Ia tidak tahu apakah itu termasuk dalam pengaruh kemampuan matanya juga. Semuanya hancur. Albus merasa hidupnya akan terus seperti itu. Setelah semua yang indah, berbalik ulang merusak semua kebahagiaannya.

"Kita hadapi sama-sama, OK. Kita hadapi sama-sama."

Suara itu terdengar oleh Albus. Suara Ayahnya.. sedang menangis. Suara isakan terdengar di telinganya. Beberapa kali Albus mencoba menggerakkan tubuhnya namun nihil. Usahanya hanya membuahkan gerakan kecil pada tangan kanannya. Bergerak sedikit demi menarik selimut di sekitar perutnya.

"Huh-"

Albus menyerah. Hanya melakukan itu saja sudah berhasil membuatnya lelah.

"Sayang," suara Ginny memanggil sang suami. Ia melihat putranya sadar. "Albus." Tunjukknya.

Cepat-cepat Harry menghapus air matanya sebelum menyerbu ranjang Albus. Di situ mereka menyaksikan, Albus hanya bisa diam. Meredam isakannya supaya tidak tumpah di hadapan kedua orangtuanya. Sungguh tega Albus menambah tangis keduanya kembali.

"Jangan ditahan, Son!" Bisik Harry di sisi kanan Albus.

"Semua orang berhak menangis." tambah Ginny. "Dan menangis bukan tandanya kita lemah. Tapi kita masih punya hati. Punya perasaan." Lanjutnya.

Mata Albus terpejam. Perlahan ia rasakan tangannya disentuh. Ayahnya orang yang kuat, namun apa yang kini ia lihat adalah seorang pria yang sedang menangis. Tidak sedikit pun ia berpikir seseorang yang hebat seperti Harry Potter dapat merasakan hal yang sama seperti dirinya.

"Kenapa aku masih hidup?"

Pertanyaan Albus menghentak hati kedua orangtuanya. "Albus-kamu bicara apa, sayang?"

"Mereka ingin aku mati, Mum. Tapi kenapa aku masih ada di sini. Menjadi orang tidak berguna di antara kalian. Bahkan semakin tidak berguna."

Albus akhirnya mengutarakan segala perasaannya. Albus lelah, hidupnya tidak bisa lagi dijadikan sebuah pengharapan. Tubuh itu Albus yang rasakan. Ia yang menikmati segala rasa sakitnya sendiri. Tidak ada yang tahu kalau dirinya kini telah ada di batas ketidakmampuan. Sakit, tidak bisa apa-apa.

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang