2.
Satu meja kabinet panjang terisi penuh dengan botol-botol ramuan. Beberapa kaleng bubuk berkilau dengan tulisan rune kuno dijajar rapi. Semuanya bersanding dengan tabung-tabung plastik berisi biji pahit dari salah satu rumah sakit Muggle. Semua itu lebih menarik perhatian siapa pun yang masuk ke sana.
Kamar Albus Severus Potter, masih sama seperti dulu. Kesan anak-anak yang sangat kuat belum sempat berubah seiring pertambahan usianya. Pajangan pesawat terbang dan robot-robot pahlawan. Komik-komik superhero favoritnya tertumpuk pada dua sekat sebuah meja belajar. Tidak terurus kembali terganti dengan semua barang-barang penunjang hidupnya.
Satu jendela yang ada di sana tak pernah terbuka. Dilapis terali besi pada bagian dalamnya karena satu alasan paling masuk akal. Keselamat. Tempat isolasi pertama dalam rumah keluarga Potter. Pemasangannya pun teriring derai air mata dari seorang Ginny Potter. Ibu kandung Albus sendiri. Ia berdiri tepat di belakang tubuh ayahnya saat itu. Dibantu oleh sang suami, terali besi itu terpasang kurang lebih empat tahun lalu. Setelah hampir saja Albus terjatuh dari lantai dua kamarnya. Ginnylah saksinya. Ia menjadi satu dari mereka yang sepakat kamar Albus harus dijaga secara sihir maupun non-sihir dengan terali itu.
"Good morning, Albus. Ini Mummy-"
Albus tidak bergerak dalam tidurnya. Masih terlelap meski terlihat kulit dahinya terus menggerut berkumpul di pusat. Ginny tahu jika putranya tidak bisa tidur semalaman. Karena hingga pagi ini Albus tidak bisa berkutik ketika ia harus dibangunkan. Masih tetap tertidur.
Bisikan Ginny masih sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Hanya saja ditambah sedikit guncangan pelan di pundak Albus untuk sedikit memaksa anak itu sadar. Ia tidak kuasa membangunkan putra termudanya itu, meski pun untuk minum ramuan. Albus sangat sulit untuk tidur jika ia sedang kalut memikirkan sesuatu. Dan ketika ia bisa terlelap, sungguh kasihan jika ia harus dibangunkan.
Ginny mengusap rambut Albus dari dahi ke belakang. Sudah sangat panjang dari terakhir ia dan Harry berusaha bersama memotong rambut Albus lima bulan yang lalu. "Albus masih tampan. Anak Mummy tampan kok, huh." Bisiknya untuk menguatkan dirinya sendiri-sebenarnya.
"Ekh-hm-"
"Hey, sudah bangun rupanya."
Erangan Albus samar-samar mengiringi manik hijau netranya terbuka. Masih kosong tanpa fokus yang pasti meski wajah ibunya tepat berada di hadapannya. Ginny mengulas senyum indahnya pagi ini. Berhasil. Albus terbangun.
"Kau ingat hari ini hari spesial apa, Al?" tanya Ginny membantu Albus tenang terlebih dahulu sebelum diangkat untuk setengah berbaring. Albus bisa sering kesakitan pada kepalanya jika langsung bangkit sesaat setelah bangun tidur. "Kau ingat, kan? Mungkin semalaman sudah kau pikirkan sampai kau kesiangan bangun sekarang." Ujar Ginny sambil tersenyum.
Ingatan Albus tiap hari akan dilatih dengan cara-cara ringan. Membisikkan memori jangka pendeknya. Tentang hari ini, tentang Hogwarts.
"Ho-ho-wars-"
"Hogwarts benar, Hogwarts, Albus." Ginny sempat mengecup pipi Albus sebelum kembali mendekatkan bibirnya ke telinga Albus lantas berkata, "ini tanggal 1 September. Kita akan ke Kings Cross pagi ini."
Ada senyuman muncul dari bibir Albus. Terulas rasa bahagia dari ekspresinya pagi ini. Albus akan terus menunggu waktu itu tiba. Saat ia akan pergi bersekolah di sana. Sejak kecil bahkan sebelum ia mendapat petaka itu. Albus sangat ingin merasakan atmosfer sekolah sihir terbaik di Inggris sana. Hingga kini, satu-satunya memori terkuat yang selalu ada di kepalanya adalah Hogwarts dengan segala keajaibannya. Tempat yang sangat ingin Albus datangi. Namun mengingat usianya yang belum cukup untuk pergi, Albus sangat ingin tahu bagaimana kereta legendaris yang akan membawa anak-anak Hogwarts pergi ke sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral
FanfictionMasa depan Albus Potter hancur. Ia disebut gila setelah mampu bertahan dari siksa mantera yang bisa membunuhnya di usia muda. Semua orang memandang hidupnya tak berguna. Kecuali Scorpius Malfoy, datang sebagai sahabat meski katanya... mereka tak lay...