27 | Farewell

310 24 1
                                    

Kedua tangannya terikat pada tiang di kiri dan kanan. Tali yang menjerat pergelangan tangannya sudah berubah warna karena darah yang keluar akibat luka yang di sebabkan teriknya ikatan pada pergelangan tangannya itu. Kedua kakinya tak mampu menopang tubuhnya. Kedua kakinya seperti telah dihantam benda keras berkali-kali, darah keluar dari setiap luka yang terbuka, mengalir membasahi kakinya.

Sedangkan di depannya, pria yang lebih tua itu terikat kuat pada kursi kayu, kepalanya mengeluarkan banyak darah. mereka terkurung di sebuah ruang minim cahaya tanpa jendela dan lembab.

"A ... Awan sadarlah ... Awan .." rintih pria yang terikat memanggil Awan yang kedua tangannya terikat pada tiang di kiri dan kanannya itu. Bersamaan dengan datangnya seorang pria dengan senyum di wajahnya. Menyeringai mendekati Awan. Matanya berat untuk terbuka tubuhnya lelah dan kesakitan. Pria dengan setelah hitam duduk berjongkok di depan Awan, menjambak rambut Awan ke atas agar kepalanya tegak dan dapat menatap langsung mata pria itu.

"Putra Lemana, putra yang sangat dia cintai, aku tidak menyangka dia akan merubah nama belakangnya," suara tawanya menggelegar menggema, pria itu berdiri kini menuju mangsa satunya yang tengah menatapnya tajam.

"Jangan marah Amandanu, ini adalah akibat dari kebodohanmu sendiri salah memilih ... majikan ..." pria dengan setelan hitam itu tertawa terbawah-bahak, Amandanu meludah padanya dan membuatnya makin tertawa bahagia.

"Kau terlalu terobsesi pada Lemana ... kenapa kau tidak bisa melepaskannya ... sudah 29 tahun berlalu ... lepaskan dia ... kejahatanmu membuatnya menderita, Bram!" ucap Amandanu. Tiba-tiba saja pria bernama Bramantyo itu berlutut di hadapan Amandanu, matanya menyiratkan kesedihan, ada air mata yang menggenang di sana.

"Dengan begitu dia akan tetap mengingatku .." ucapnya pelan kemudian berdiri dan kembali tertawa terbahak-bahak.

"Mala merebut segalanya dariku, sahabatku, penyelamat hidupku, dia membuat dirinya menjadi pusat perhatian Lemana dan Lemana ... oh Lemana yang malang terjerat kisah cinta terlarang, sungguh malang," ucap Bramantyo getir. Amandanu hanya memandang Bramantyo yang sebentar menangis kemudian tertawa terbahak-bahak setelahnya. Kepalanya sakit akibat luka yang di deritanya dan tingkah Bramantyo yang menggila. Dia melihat ke arah Awan yang sudah sangat lemah di depannya.

"Dengan melukai anak-anaknya, kau hanya akan membuat dia membencimu seumur hidup!" ucap Amandanu. Bramantyo berbalik mendekati Amandanu yang terikat.

"Maka aku menjadikan diriku dekat dengannya," Bramantyo menunjuk dada Amandanu dengan wajah datar tanpa emosi. "Aku akan menyelamatkan jiwanya yang terjerat, aku akan membalaskan dendamnya terhadap Sanjaya yang membantai habis anggota keluarga pria malang itu. Kau tidak akan mengerti Amandanu," ucap Bramantyo sambil memegang wajah Amandanu.

"Kau GILA!!" seru Amandanu, yang dibalas tawa oleh Bramantyo. Dia berjalan menuju ke sebuah meja yang ada dekat dengan pintu masuk. Saat itu Awan sudah sadar sepenuhnya, tapi dia masih tidak mengerti pembicaraan Amandanu dan pria jahat itu, ada hubungan diantara mereka tapi dia tidak mengerti sama sekali. Bramantyo berbalik, memegang sebuah benda tajam seperti sebilah pisau namun lebih kecil dan panjang. Ujungnya lancip, mirip pisau bedah. Dia menunjuk ke arah Awan dengan pisau di tangannya itu.

"Pertemuanmu dengan gadis itu adalah maha karya yang sangat hebat. Takdir memang sangat kejam. Dia membuatku mendapatkan kesempatan untuk bersama lagi dengan sahabatku itu!" Bramantyo berjalan menuju Amandanu, tanpa sedikit pun ragu dalam gerakannya sebilah pisau itu diayunkan ke arah Amandanu membuat luka mengaga pada lehernya. Darah segar keluar menghambur dari lehernya, mata Amandanu terbelalak, mulutnya menganga, sakit yang dia derita sungguh luar biasa.

"Keparat ... ARRRGGG PAMAN... PAMAAANN!!!" pekik Awan melihat Amandanu yang tengah menderita di depannya. Matanya terus melihat ke arah Awan, air matanya meleleh jatuh membasahi wajah yang memucat.

"PAMAN ... PAMAN ... BAJINGAN .. LEPASKAN AKU!! AKU BUNUH KAU sialan... SIALAN!!!" Awan berteriak sejadi-jadinya, dia melihat Amandanu sekarat di sana. Bramantyo duduk berlutut di depan Amandanu membuka kancing kemeja yang sudah tidak berwarna putih lagi, dengan senyum bahagia di wajahnya dia menyayatkan sebuah huruf di dada Amandanu. Pria malang itu hanya mampu berteriak menahan sakit yang dirasakannya hingga akhirnya suaranya menghilang bersama dengan napas yang terhenti.

"ARRRRGGG ... ARRRGGGG ..." teriak Awan, air matanya mengalir bersama teriakannya yang terdengar sangat memilukan. Dia menyaksikan salah satu orang yang dia sayangi harus mati di hadapannya. Hatinyah ancur bersamaan dengan kematian Amandanu.

Bramantyo bangkit dan berjalan seperti biasa, bersiul gembira. Awan memandangnya dengan penu rasa benci yang mendalam. Seorang pria masuk, "Bersihkan tubuhnya, bungkus dengan indah dan kirimkan pada Lemana!" ucapnya pada pria itu.

"SUMPAH, kau akan MATI dengan cara yang lebih keji dari ini!!" ujar Awan dengan amarah yang menyala.

Bramanto tertawa mengejeknya, dia berdiri di depan pintu dan memandang Awan, "Jangan sedih, aku akan membawakan teman baru untukmu. Iva! Aku akan segera membawanya kemari dan mempersatukan kalian."

"BAJINGAN! JANGAN MENYENTUH IVA, SIAL ARGGH ..."

Bramantyo keluar tawanya masih terdengar, kini Awan sendirian di ruangan itu. Mayat Amandanu sudah dibawa keluar. Awan yang kini tak bisa merasakan apa-apa pada kedua kakinya itu menatap pilu tempat di mana tadinya Amandanu terikat dan tersiksa. Bayangan wajah Amandanu yang tersiksa menjelang akhir hidupnya akan menjadi trauma hebat untuk Awan. Amandanu adalah orang kepercayaan Ayahnya seperti keluarga bagi mereka, sangat dekat. Seorang guru, paman dan kawan baginya. Hatinya sakit tapi dia sudah tidak mampu lagi menangis.

#

Matahari hampir terbenam, Iva memandang keluar jendela sepanjang dia melihat hanya ada rerumputan hijau di sana. Hatinya tiba-tiba merasa tidak tenang, kembali dia mengeluarkan gawai dari saku celana, dia mencari nama Awan dan pria itu masih belum online. Dia gelisah tanpa sebab memikirkan Awan.

"Lindungi dia, Tuhan!" gumamnya pelan. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa Awan sedang dalam bahaya. Seburuk apapun hubungan mereka Awan akan selalu kembali padanya. Apakah kenyataan bahwa mereka bersaudara kini membuat Awan benar-benar menyerah tepat di saat Iva yakin tetang perasaannya.

Iva menepuk wajahnya pelan, saat itu terdengar suara pintu yang diketuk dari luar. Iva berjalan mendekati pintu dan membukanya. Seorang wanita berdiri di sana dengan seragam abu-abu. Dia tersenyum ramah.

"Mbak, Bapak sudah pulang dan ingin segera bertemu dengan Mbak Iva," ucapnya dengan sopan dan pelan. Nada suaranya mendayu-dayu seperti sedang bernyanyi. Iva hanya mengangguk dan mengikuti wanita itu turun ke lantai bawah. Dia berjalan dan masuk ke sebuah ruangan yang dipenuhi buku. Berdiri membelakanginya pria yang dikenalnya dengan setelan hitam dan seorang lagi yang dia yakin adalah Sanjaya.

"Pak," ucap wanita yang mengantar Iva dan membuat kedua pria tadi menoleh ke arah suara memanggil. Senyum merekah di wajah pria tua itu. Raut wajahnya tampak sangat bahagia bertemu dengan Iva untuk pertama kali. Dia berjalan pelan mendekati Iva. Menyentuh wajah Iva dengan lembut dan hati-hati.

"Adakah yang pernah bilang, kau sangat mirip dengan Ibumu, Mala."

Iva menatapnya, wajah seorang pria yang pertama kali dilihatnya melalui foto di ruang keluarga tadi saat dia memasuki rumah itu. Wajahnya lebih tua dari foto itu tentu saja. Rambutnya sudah berubah menjadi putih semua tapi tubuhnya masih tegap dan gagah. Ada tatapan kerinduan di sana, sebuah perasaan asing yang hangat tapi juga membuat merinding. Akhirnya dia bertemu dengan pria bernama Sanjaya Adiraksa itu, sang kakek.

"Aku Kakekmu, Iva!" ucap Sanjaya dan memeluk Iva dengan erat, air matanya mengalir keluar melalui matanya yang renta.

Scouring The Past (TAMAT - REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang