Gadis dengan sekantung penuh cemilan itu berjalan beriringan dengan pria di sebelahnya. Gadis itu berjalan sambil melihat ke arah kaki-kakinya yang bergerak berirama. Dia menggunakan sendal jepit berwarna kuning, celana pendek selutut dan kaos longgar polos berwarna navy dengan tulisan Papii di bagian dada, glitter berwarna pink terang pada font tulisan membuat kaos sederhana itu terlihat manis. Kemudian dia melirik pria yang berjalan di sampingnya yang menggunakan celana panjang jeans berwarna biru muda dengan kaos polos berwarna hitam tanpa tulisan apa pun.
Kaca matanya diletakkan di atas kepala. Pria itu berjalan sambil menarik koper berwarna hitam dengan sticker tertempel memenuhi bagian atas kopernya. Pria itu menoleh ke arah Iva, cepat dia memalingkan pandangannya ke depan menatap lurus ke arah lorong-lorong apartemen yang bernuansa putih dan di hiasi tanaman hias di setiap sudut. Pria itu tersenyum kecil. Pria dengan garis wajah tidak terlalu kuat, dengan rambut yang sedikit panjang urakan untuk ukuran seorang pria.
Awan membuka pintu ruang apartemennya, suasananya sama persis dengan ruangan yang dimiliki Iva. Gadis itu pun ikut masuk mengikuti Awan dari belakang. Awan masuk ke dalam kamarnya. Iva membuka pintu ke arah balkon tepat di samping sofa berwarna cokelat. Dan sekali lagi dia terdiam membisu.
"Daebak!" ucapnya mengikuti seruan yang sering muncul dalam drama-drama korea yang dulu sering ditontonnya bersama sang Mama. Saat itu Awan keluar dari kamarnya sudah menggunakan celana pendek berwarna hitam senada dengan baju yang dia gunakan.
"Kenapa?" tanyanya heran sambil meletakkan laptop di atas meja di depan sofa cokelat. Iva berbalik menatap Awan dengan wajah penuh tanda tanya.
"Serius, sebenarnya kamu siapa sih?" tanya Iva kini.
"Hah?" sahut Awan bingung, alisnya terangkat satu ke atas.
"Kamu tau? Kamar kamu ini tepat berada di seberang kamar aku!" ujar Iva sambil menunjuk gedung di seberang nya.
"Oh ya?" mata Awan melebar, dan mendekati Iva.
"Itu kamar lu?" Iva malah tidak menjawab pertanyaan Awan. Dia menunggu sampai Awan menjawab pertanyaan dari dirinya. Awan memandang Iva, gadis itu juga menatapnya dengan tatapan yang serius. Awan melemparkan senyum kecil kemudian masuk dan duduk di sofa basar. Menghempaskan dirinya di atas sofa besar yang berhadapan dengan layar televisi di depannya. Dia menatap Iva dan memberi isyarat untuk masuk dan duduk di sampingnya.
"Duduklah dulu, akan aku ceritakan!"
"Jangan berprasangka aneh-aneh kepadaku" Jawab pria dengan garis wajah oriental itu.
#
Suasana pagi pertama Iva di kota Surabaya. Kini dia duduk menikmati pagi di kota itu. Melihat lalu lalang orang-orang yang lewat. Becak yang tersusun rapi di pinggir jalan di seberang tempat dia sedang duduk, Ibu-ibu yang membawa keranjang belanjaan yang dipenuhi dengan sayur mayur, ada juga orang-orang yang menggunakan sepeda dan juga ada angkutan umum yang terparkir menunggu penumpang datang. Senyum kecil tersungging dari bibirnya, senyum tulus pertama yang muncul setelah kematian Ibunya.
"Buburnya dimakan! Nanti dingin udah nggak enak!" ucap pria yang duduk di hadapannya sekarang.
"Aku nggak suka makanan yang panas! jadi nunggu dingin dulu baru makan," sahut Iva sekedarnya dan memalingkan wajah ke arah jalanan dan menikmati lagi suasana yang berbeda dari kota di mana dia dibesarkan.
"Hah? Aneh banget!" Pria itu melanjutkan menikmati bubur daging di hadapannya dengan lahap. Iva sesekali memperhatikan pria yang duduk di depannya ini.
"Umur kamu itu berapa sih?" tanya Iva yang hampir membuat Awan yang duduk di hadapannya itu tersedak. Dia memandang Iva dengan tatapan terkejut, tak percaya dengan yang didengar nya. Dia menyeruput teh hangat di depannya.
"Kok kaget?" tanya Iva lagi.
"Kenapa tiba-tiba nanya umur sih?" protes Awan.
"Penasaran aja, kamu tuh dari awal kita ketemu udah nggak sopan banget tingkahnya, tau Nggak? Aku yakin ya, kamu pasti jauh di bawah aku umurnya. 25 tahun, iya kan? Hayo jawab!" desak Iva. Gadis itu kini bicara dengan lebih santai, tatapannya seolah-olah sedang mengejek lawan bicaranya.
"Hahahaa, hampir bener, my lady!" jawabnya sambil terkekeh. Gadis di depannya cemberut mendengar jawaban yang tidak dia harapkan.
"Jadi berapa? 26? nggak mungkin 27, kan?" tanya nya lagi kemudian, sambil mengaduk-aduk bubur yang mulai dingin di hadapannya.
"Aku? 23!" Jawab pria yang menggunakan kaos polos berwarna kuning terang itu sambil menyeringai melihat ekspresi gadis di depannya yang melongo, matanya membulat lucu seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya
"Anak kecil!" cibir Iva kemudian sambil memasukan sesendok penuh bubur ke dalam mulutnya.
"Anak kecil? Jangan sok tua! Anak kecil yang lu bilang ini bisa bikin lu hamil tau!" jawabnya setengah bercanda.
"Ih..." Iva protes diiringi dengan tawa Awan yang renyah. Iva pun tersenyum kembali sambil menundukkan kepalanya menikmati bubur yang sepenuhnya sudah dingin itu. Iva tidak suka makanan panas, jika berada di rumah dan harus memakan sesuatu yang panas dia akan membiarkan makanan itu sampai dingin sepenuhnya baru mulai memakannya. Jika dia sedang dalam keadaan mendesak alias kelaparan, maka tidak menutup kemungkinan dia akan memasukan es batu ke dalam makanannya jika makanannya itu berkuah.
"Gua udah cerita ya tentang gua. Sekarang boleh dong gua dengar alasan lu tiba-tiba ada di Surabaya ini." Ucap Awan membuat perhatian Iva teralih kepada pria yang ada di hadapannya itu.
"Satu hal yang harus kamu tau ya, aku belum percaya sama kamu sepenuhnya. Awan Singgih!" ucap Iva menyebutkan nama penuh pria di hadapannya kini dengan ekspresi sangat serius. Rambut pendek sebahu nya diikat ke belakang sebagian. Awan memutar matanya dan tersenyum.
"Aku ... Aku mau mencari tau siapa orang-orang yang berbuat jahat pada keluargaku. Kau tau? Mamaku meninggal karena diracuni oleh seseorang!" ucapnya ragu-ragu.
"HAH!" Awan membesarkan matanya yang sipit itu, kepalanya seketika dipukul oleh Iva karena terlalu berisik dan mengganggu orang-orang yang sedang sarapan di sekitar mereka.
"Diracun? Serius? Sudah lapor pihak berwajib?" tanyanya kemudian sambil mengelus kepalanya sendiri yang sakit akibat pukulan dari tangan Iva. Iva hanya menggeleng pelan, raut wajahnya berubah ketika mengingat tentang kematian Mamanya yang dirasa tidak adil itu. Iva tidak bisa melaporkan kejadian itu kepada pihak berwajib mengingat hal tersebut juga membuat Dokter Danu meninggal dengan tidak wajar. Dia merasa jika terburu-buru melapor tanpa bukti yang cukup hal itu hanya akan menelan korban lainnya. Dia mengkhawatirkan keselamatan orang-orang terdekatnya.
"Iva ..." ucap Awan.
"Hei ... " tegur lembut Awan yang sedari tadi memperhatikan raut wajah Iva yang tiba-tiba berubah menjadi sedih. Gadis itu melamun.
"Belum! Aku yakin mereka mengincar nyawaku, atau hanya ingin membuat hidupku hancur. Entahlah, Awan ... semua ini terjadi begitu tiba-tiba dan begitu saja."
"Aku tidak tau siapa mereka? Apa motifnya? Yang jelas ini berhubungan dengan masa lalu orangtua kandungku." ucapnya dengan raut wajah yang masih sedih. Awan meraih tangan Iva, menggemgamnya erat membuat Iva terkejut namun tidak juga membuatnya menarik tangannya dari genggaman tangan Awan, dia membiarkannya saja. Tidak ada kata-kata di sana, hanya senyuman dari Awan yang tiba-tiba membuat sekujur tubuh Iva menghangat. Gadis itu entah disadarinya atau tidak di dalam hatinya dia sepenuhnya mempercayai pria yang baru saja dikenalnya ini. Pria yang menyelamatkan nyawanya dua kali. Pria yang menurut logikanya tidak boleh dia percayai begitu saja namun tidak dengan hatinya. Hatinya mempercayai Awan. Awan membuatnya merasa nyaman, walau sangat menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scouring The Past (TAMAT - REVISI)
Misteri / ThrillerAdalah Iva Rahma seorang wanita karir yang selalu menghadapi teror aneh di sepanjang hidupnya. Terlebih setelah perceraian orangtuanya terjadi. Teror yang tidak dia sangka adalah kematian sang ibu. Kematian akibat sebuah racun yang sengaja dimasukan...