Pagi menjadi tidak sama lagi. Iva menatap kosong pada cangkir kopi yang sedang dipegangnya. Cangkir berwarna kuning yang telah kosong itu, diputarnya perlahan, seakan sedang mencari sesuatu. Iva menghela nafas panjang dan meletakan cangkir kopi berwarna kuning dengan gambar bebek itu di atas meja makan. Ruang makan yang biasanya riuh dengan percakapan dua orang yang saling mencintai dan saling mengisi itu telah kosong, sepi hanya ada sunyi dan kerinduan.
Hari ini Iva hanya akan pergi sebentar ke kantor. Dia akan menyelesaikan beberapa dokumen yang memerlukan tanda tangan dan persetujuannya. Iva juga berencana membuat surat kuasa untuk memindahkan tanggung jawab sementara selama dia cuti dari rutinitas kerja. Dia masih ingin berduka, masih ingin menyerap dan memahami semua kejadian yang bagaikan puzzle ini.
Malas, rasa malas menghampirinya setiap kali dia membuat rencana untuk menghibur diri. Membebaskan sejenak pikirannya dari logika yang tidak dapat dia terima. Akhirnya dengan segenap keyakinan, dia dapat mengendalikan tubuhnya untuk bangun dan pergi, menyelesaikan tanggung jawabnya yang tertunda itu. Iva telah siap, dia mengenakan pakaian yang santai dan cukup nyaman untuknya. Kemeja kotak-kotak berwarna abu-abu dengan garis lengan berwarna biru tua dipadukan dengan celana jeans yang berwarna biru terang.
Si putih melaju di lalu lintas kota Balikpapan yang cukup lengang. Iva berusaha fokus, namun tetap saja pikiran-pikirannya kembali bekerja, memilah setiap kejadian dan informasi yang diperolehnya belakangan ini "Dokter Danu!!" serunya tiba-tiba, Iva menepi, meraih handphone dan mencari nama Dokter Danu dalam kontaknya.
"Siang," suara berat itu langsung menyapa.
"Siang, dengan Dokter Danu?"
"Ya, saya sendiri, maaf dengan siapa saya bicara?"
"Dok, ini Iva, Dokter ingat?"
"Iva?"
"Oh, Iya Mbak Iva. Baru saja saya akan menghubungi Pak Visnu untuk menanyakan kontak ke Mbak Iva, ternyata Mbak sudah menelpon lebih dulu"
"Iya pak, saya mau bicara soal hal kemarin, bisa kita bertemu?"
"Bisa Mbak!"
"Hari ini?" tanya Iva kemudian.
"Bisa, pukul 1 siang ini, di Rumah Sakit"
"Oke Dok, sampai bertemu di sana"
Iva bersiap dan memutar balik arah laju si putih dan menuju ke Rumah Sakit. Jantungnya berdegup kencang, banyak hal yang ingin dia tanyakan kepada Dokter Danu perihal kematian Mamanya yang sangat tidak masuk akal baginya itu. Dia sudah mempersiapkan sebuah tempat untuk puzzle baru yang akan dia terima hari ini.
#
Suasana serba putih mendominasi gedung rumah sakit itu. Iva menunggu di salah satu lorongr rumah sakit, tepat di depan ruang dengan papan bertuliskan nama Dokter Danu. Sesampainya tadi di rumah sakit, Iva menelpon kembali sang Dokter, untuk memastikan tempat mereka bertemu kelak. Dokter tersebut meminta menunggunya di depan ruangannya, karena ada pertemuan mendadak dengan Direktur rumah sakit tersebut.
Iva menggoyang-goyangkan kakinya tanda gugup dan tidak sabar. Suasana lorong rumah sakit ini cukup sepi, sesekali ada perawat yang sedang mendorong pasien di rumah sakit itu menggunakan kursi roda, perawat yang mengenakan seragam biru muda dengan kombinasi putih juga terlihat mondar mandir keluar dari ruangan-ruangan yang ada di lorong tersebut. Ruangan Dokter Danu terletak di ujung lorong.
"Mbak Iva!" sebuah suara berat tiba-tiba membuat perhatian Iva seutuhnya tertuju ke arah suara itu berasal.
"Dokter Danu ... Akhirnya!" bergegas dia berdiri menyambut sang Dokter.
"Maaf ya Mbak Iva, lama menunggu. Tadi tiba-tiba ada rapat dadakan ... jadi ya ... Ayo, kita masuk," Dokter tersebut membuka ruangannya dan mempersilahkan Iva masuk dan duduk.
Wanita dengan wajah kemayu yang memiliki bibir kecil itu duduk, dia siap mendengarkan.
"Sebelumnya ... saya akan bertanya lebih dulu kepada Mbak Iva ... Apakah Mama anda mengkonsumsi obat-obatan tertentu?" Tanya Dokter Danu memulai percakapan serius mereka.
"Setahu saya tidak, Dok. Mama jarang sekali sakit, beliau malah lebih bugar dari saya sendiri"
"Hmm ... saya sudah melakukan pemeriksaan lebih lanjut Mbak, dan hasilnya sudah saya dapatkan"
Iva diam, dia mendengarkan dan merekam sebaik-baiknya apa yang akan disampaikan oleh Dokter. Dia berharap, benar-benar berharap di dalam hatinya bahwa apa yang dipikirkannya beberapa hari ini sejak kematian Mamanya adalah kesalahan, hanya imajinasi buruk yang menghantui akibat kejadian aneh yang dia alami belakangan ini.
Dokter Danu kemudian membuka laci dari meja kerjanya. Iva memperhatikan setiap gerak gerik sang Dokter, dia tegang setengah mati. Kaki nya terus saja bergoyang.
"Ini laporannya," Dokter Danu membuka amplop cokelat yang diambilnya dari laci tadi. Kemudian dia melirik ke arah Iva yang memperhatikannya dengan tegang.
"Mbak siap?" tanya nya kemudian.
Iva hanya mengangguk yakin. Tidak bersuara sama sekali, sesekali digigitnya bibir bagian bawahnya agar gugupnya sedikit hilang namun, hal itu sia-sia dilakukannya.
#
Tatapannya kosong. Digenggam erat setir mobilnya itu. Marah, bingung, sedih dan kesal menjadi satu berkecamuk dalam dirinya. Tidak mampu dia jelaskan apa yang tengah dia rasakan sekarang. Iva kemudian tersandar air matanya kembali mengalir di ujung matanya yang kecil. Masih di dalam mobilnya, dia memandang amplop cokelat pemberian Dokter Danu tadi padanya yang diletakkan di sampingnya itu. Belum juga dia akan beranjak pergi dari parkiran rumah sakit itu sebuah pesan masuk dari handphone miliknya. Pesan dari kantor tempat dia bekerja.
Iva kemudian menghidupkan mesin mobilnya dan pergi keluar dari parkiran rumah sakit. Pikirannya kacau tak menentu, tapi dia bertekad harus menyelesaikan tujuan awalnya keluar rumah hari ini. Tanggung jawabnya harus didahulukan sebagai pimpinan.
Iva tiba di kantor tempat dia bekerja, kemudian disambut oleh rekan-rekan kerja yang menanyakan kabarnya. Mereka semua tampak khawatir terhadap rekan sekaligus atasan mereka itu. Sebisa mungkin dia terlihat tegar, tapi ya, memang dia sangat tegar mungkin lebih tepatnya dia sedang bertekad untuk terlihat baik-baik saja. Iva tidak suka rasa kasihan dari orang lain, hal itu sungguh mengganggunya.
Saat Iva pamit untuk pulang, Ayu menghentikannya.
"Va, kalau ada yang kamu butuhkan jangan segan-segan bilang ya, kamu tuh kebiasaan gak mau nyusahin orang lain, kan jadinya aku makin khawatir!"
"Iya" Jawabnya enggan tertunduk menghindari tatapan sahabatnya itu.
"Jangan cuma iya iya aja kamu, Va" Ayu menghela nafas panjang seraya berkecak pinggang. Wanita dengan tubuh mungil yang mengenakan rok cokelat dengan kemeja warna senada itu terlihat memperingatinya.
Iva tersenyum kecil, ada raut bahagia yang sedikit terpancar dari wajahnya, rasa syukur karena memiliki sahabat sebaik Ayu.
"Iya bawel,"
"Aku udah gak kenapa-kenapa kok. Kalau sedih ya ... sudah pasti. Mama itu satu-satunya keluarga yang aku punya di sini bahkan di dunia ini. Pastinya aku kehilangan banget, Yu ... bahkan sampai hari ini aku masih gak percaya Mama udah pergi ninggalin aku sendirian begini, semuanya tiba-tiba banget," tatapan Iva kembali kosong, Ayu memeluk sahabatnya itu dengan erat. Ayu tahu betul Iva sangat sulit mengungkapkan rasa sedihnya di depan orang-orang. Dia lebih suka menangis sendiri, dia tak suka dikasihani.
"O ya, sebelum aku lupa nih," Lanjut Ayu.
"Kemarin ada yang nyari kamu, nanyain kontak kamu, tapi gak aku kasih."
"Siapa?"
"Aku sempat minta kontak dia sih, bentar!" Ayu berlari menuju meja kerjanya mencari sesuatu dari laci kerjanya yang terlihat berantakan. Ayu kemudian kembali mendekat setelah berhasil menemukan apa yang dicarinya. Dia terlihat membawa sebuah kartu nama dan memberikannya kepada Iva.
"Namanya ... Indra"
___

KAMU SEDANG MEMBACA
Scouring The Past (TAMAT - REVISI)
Mystère / ThrillerAdalah Iva Rahma seorang wanita karir yang selalu menghadapi teror aneh di sepanjang hidupnya. Terlebih setelah perceraian orangtuanya terjadi. Teror yang tidak dia sangka adalah kematian sang ibu. Kematian akibat sebuah racun yang sengaja dimasukan...