Another Pain

10K 1.1K 189
                                    

Author POV

Vio dan Renjun berhasil turun dari lantai dua dengan cara lompat dari balkon. Renjun menepati janjinya untuk menangkap Vio yang lompat belakangan agar tubuhnya tak jatuh ke tanah.

Saat hendak keluar melewati pagar, mereka dikagetkan oleh dua orang pria paruh baya yang tergeletak tak bernyawa di tanah dengan keadaan leher tersayat. Mereka berdua adalah penjaga villa.

Vio langsung mengeratkan pegangan tangannya pada tangan Renjun. Dia ketakutan setengah mati, kedua kakinya makin melemas karena pemandangan mengerikan ini.

Renjun langsung nutup mata Vio pake tangannya, "Kita harus lari secepat mungkin!" Bisik Renjun,

Sesaat kemudian dia narik tangan Vio.

Tanpa mempedulikan kedua pergelangan kakinya yang terasa amat sakit, Renjun terus berlari sekuat tenaga sambil menarik tangan kanan Vio.

Mereka terus berlari memasuki hutan dengan pepohonan lebat. Tanpa tau arah dan tujuan. Intinya mereka pergi menjauh dari villa.

"Renjun stop!!" Pekik Vio sambil melepas tangannya dari genggaman Renjun,

Renjun menghentikan langkahnya, dia mengatur nafas dan memutar badannya menghadap Vio.

"Gimana bisa kita ninggalin mama, papa dan yang lain?!" Tanya Vio sambil nangis,

"Terus kita harus gimana? Balik lagi ke villa dan ngehadapin para pembunuh itu berdua? Itu pembunuhan Vi! Pembunuhan! Lo denger kan suara orang-orang tadi?!" Tanya Renjun dengan nafasnya yang terengah-engah,

Vio langsung terduduk di tanah, dia nangis tersedu-sedu. Posisi dia dan Renjun memang serba salah.

Renjun jongkok di depan Vio dan megang kedua pundak Vio erat,

"Terserah lo mau nganggap gua pengecut, penakut, payah, atau apa! Yang jelas, gua bakal lebih ngerasa bersalah kalo gak bawa lo pergi dari sana. Kita gak akan bisa ngehadapin orang-orang itu berdua, satu-satunya cara adalah ... Kita harus selamat dan pastiin orang-orang itu ditangkap buat tanggung jawab atas semua ini!" Renjun juga nangis,

Gak mungkin dia gak ngerasa bersalah karena ninggalin papa dan sodara-sodaranya di sana. Tapi dia gak punya pilihan lain.

Mereka lanjut lari memasuki hutan makin dalam. Walaupun sama-sama bawa hp, mereka gak bisa memanfaatkan cahaya senter dari hp buat nerangin jalan.

Bisa bahaya kalau para pembunuh tadi ngejar mereka dan liat cahaya dari senter hp yang mereka bawa.

Setelah berlari sangat jauh, Renjun dan Vio memutuskan untuk duduk sebelahan di balik batu yang berukuran sangat besar.

Vio memeluk kedua lututnya dan masih nangis karena ketakutan, sedangkan Renjun memeriksa hpnya.

"Kita harus telfon polisi, tapi hp gua gak ada sinyal." Bisik Renjun,

Vio merogoh saku baju tidurnya dan mengambil hpnya,

"Hp gua juga gak ada sinyal ..." Bisik Vio, bahkan suaranya terdengar gemetar karena takut.

Akhirnya mereka berdua pasrah, mereka cuma bisa duduk bersebelahan dan memeluk lutut masing-masing. Sambil berdoa dan berharap pertolongan akan datang secepatnya.

"Renjun ... Lo ... Muka lo ... Kenapa pucet banget gini?" Tanya Vio kaget,

Pas liat muka Renjun pucet banget kaya mayat hidup. Keringat dingin bercucuran dari wajahnya. Dia juga keliatan menggigil.

"Kaki gua sakit." Ringisnya sambil memegangi kedua pergelangan kakinya,

Bahkan dari suaranya, Vio bisa bayangin betapa kesakitannya Renjun. Mungkin pergelangan kakinya terkilir karena tadi dia lompat dari lantai dua, mana nangkap Vio yang lompat belakangan.

Step Brothers ft. NCT Dream✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang