Haani merengek, air matanya membanjiri pipi, memohon-mohon pada Galuh untuk mendengarkan penjelasannya. Panas di matanya bercampur, karena menangis dan panas demamnya.
"Udah lah Ni, lagian dari waktu itu kan lo emang pengen pisah kan?"
"Nggak.. dengerin dulu. Luuh, saya mohon. Kamu salah paham. K-kak Galang tau hubungan kita. S-saya pergi sama Kak Galang untuk nyiapin.. ulang tahun kamu."
"Ni." Galuh melepas genggaman tangan Haani, "Udah. Gue udah gak bisa percaya lagi. Maaf. Gue coba selama ini positive thinking ke elo, tapi hasilnya sama aja Ni. Sekarang lo mau buat alesan, ya buat ulang tahun gue atau apa, gue udah gak bisa lagi Ni."
"Luh.. maaf.. maaf.."
"Kita pisah aja Ni, makasih delapan bulannya."
"Luh..." genggam Haani sekali lagi di tangan Galuh. Lebih kuat dari sebelum-sebelumnya. Badannya membungkuk, makin dalam.
"Haani, lo kenapa?"
Galuh menahan sakit di dadanya yang terasa makin sesak, mendengar suara Galang yang bertanya pada Haani. Ia merasakan tangannya juga makin kuat di genggaman Haani, bahkan tangisan Haani di telinganya sudah berubah jadi rintihan.
"Ni? Haani?!"
Galuh baru menoleh, menemukan Haani sudah membungkuk dalam memegangi perutnya. "Ni?"
"S-sa-sakit..."
"Ni? Kita ke Rumah Sakit ya?" Galang menahan bahu Haani agar tidak ambruk. Niatnya baik, hanya mau menolong Haani, tapi Haani menangkis tangannya. "N-ni..?"
"Luh..." Haani malah merintih pada Galuh, menggenggam tangannya makin erat.
Galuh menarik napas panjang, mendorong Galang untuk menjauh dan langsung membopong Haani, "Kita ke Rumah Sakit, oke?" Haani hanya menjawab dengan anggukan, Galuh membawanya untuk duduk di sofa dulu selagi Galuh kembali ke kamar Haani untuk mengambil dompet dan jaket Haani.
Tanpa Galang, Galuh langsung membawa Haani ke Rumah Sakit. Sepanjang jalan Haani merintih memegangi perutnya, buat Galuh makin panik. Sesekali ia melihat Haani di jok belakang, masih menangis merintih kesakitan.
Di Rumah Sakit, Haani langsung dibawa ke IGD, ia didorong oleh para perawat sedangkan Galuh masih harus parkir mobilnya dulu. Dari parkiran Galuh langsung berlari menuju IGD, mencari bilik dengan Haani di dalamnya.
"Ni?"
Haani sudah lebih tenang, tidak merintih lagi, tapi matanya masih merah bekas menangis, tubuhnya juga masih panas karena demam. Galuh hanya mengelus-elus kepalanya. "Maaf.."
"Kita omongin nanti lagi ya?"
Kepalanya mengangguk, "Sini aja.. jangan tinggalin saya."
"Gue disini, gue tungguin lo."
Biliknya dibuka, seorang dokter dan satu suster datang, mengatakan kalau Haani terlalu stres dan kelelahan, buat asam lambungnya naik dan berakhir membuat Haani jadi merasa sakit di perutnya. Sudah gitu Haani memang sedang demam. Dokter menyarankan untuk lebih banyak istirahat, tapi dokter juga menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih, dengan USG atau rontgen.
"E-emang temen saya kenapa Dok?"
"Saya ngerasain ada benjolan kecil di daerah perutnya, untuk lebih jelasnya bisa diperiksakan dengan USG atau rontgen."
"Bisa sekarang?"
"Bisa, nanti biar suster ini yang ngebantu. Saya permisi dulu."
Galuh mengangguk, tangannya digenggam erat oleh Haani, Galuh menoleh, melihat ekspresi takut Haani. "Lo bakal baik-baik aja Ni."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Escape Way (BL 18+) [COMPLETE]
Novela JuvenilGaluh seorang mahasiswa dan Haani animator di sebuah studio game. Sudah enam bulan mereka pacaran, tapi justru setelah pacaran masalah kehidupan mereka seperti bertambah, tidak sama seperti saat masih menjabat sebagai teman akrab. Ini cerita tentang...