Bab 3

5.7K 376 12
                                    

Jam duabelas tepat. Biasanya aku menjemput Zahra di sekolah, tapi hari ini aku tak bisa. Terpaksa meminta tolong pada Mbak Ayu, tetangga kontrakan yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri.

Beberapa pesan telah kukirimkan untuk Mbak Ayu tadi. Dia tak keberatan, bahkan sangat senang, karena sampai sekarang Mbak Ayu belum dikaruniai seorang anak, padahal sudah hampir tujuh tahun menikah.

Aku masih berkutat dengan ponsel di sudut dapur. Saat suara deheman terdengar tak jauh dariku.

"Jadi seperti ini cara kerjamu?!"

Aku segera menoleh. Lalu menunduk dalam ketika langkahnya terdengar mendekat. Semakin dekat, hingga jaraknya hanya sejengkal dari tubuhku.

"Lihat aku!" Lagi dia membentak. Spontan aku mendongak menatapnya dengan dada debar tak karuan. Sorot matanya tajam seolah menusuk jantungku.

"Kenapa malah di sini!"

Sejenak aku melihat sekeliling. Tak ada yang peduli denganku saat ini. Padahal ada dua chef dan beberapa asistennya di sini. Tak biasanya mereka cuek denganku. Apa ini karena dia?

"Ma-maaf, Pak. Sa-saya hanya ...."

"Jadi selama ini kerjamu hanya bermain ponsel?" Dia berdecak sambil berkacak pinggang. "Tidak becus! Padahal ada banyak pelanggan. Bagaimana kamu ini!"

"Maaf, Pak. Ma-maaf ...."

"Cukup! Selesaikan kerjamu."

Tubuhnya berbalik, akan melangkah, tapi dia menoleh padaku. Padahal aku baru saja ingin menghirup udara, lega. Namun, aku salah.

"Sebelum resto tutup. Kamu harus ke ruangan saya."

Aku tak menjawab. Malah pikiran bertanya-tanya. Apa aku akan dipecat? Lalu bagaimana dengan biaya hidupku dan Zahra jika aku tak bekerja lagi? Atau dia akan mempertanyakan masa lalu? Masa lalu ....

.

Pelan aku mengetuk pintu ruangan yang berbahan dasar kayu jati di depanku. Dengan dada berdebar aku berusaha meredam dentaman yang seolah akan terdengar olehnya nanti. Aku harus siap bertemu dengannya.

"Permisi, Pak."

Aku masuk, membuka pintu dan menutupnya kembali. Baru pertama kali aku memasuki ruangan ini selama dua bulan bekerja. Ruangan dengan pernak-pernik khas Italia ini terlihat sangat nyaman. Hanya ada satu sofa panjang, dan meja kayu berukiran daun merambat.

Meski tak ada jawaban dari seseorang. Namun, aku tahu, laki-laki itu menyadari kedatanganku, walau dia hanya berdiri menghadap jendela kaca besar. Tangan kirinya terbenam di saku celana, sedang tangan kanannya, terlihat dari belakang sedang memegang rokok di sela jari.

Dahiku mengernyit. Sejak kapan dia merokok? Padahal dulu dia tak pernah melakukan hal itu.

Hening beberapa saat. Aku pun tak berani mengucapkan sepatah kata pun.

"Apa kabar?" Tubuhnya berbalik, tepat saat aku juga melihatnya. Perlahan laki-laki dengan kemeja abu-abu yang digulung sampai siku itu mendekat, setelah mematikan rokok di asbak.

"Ba-baik, Kak. Eh ... ma-maaf, Pak." Aku menunduk.

Langkahnya terdengar jelas. Dia berdiri tepat di hadapanku. Jaraknya pun sangat dekat. Hingga aku bisa merasakan dengkusan napasnya di kepalaku.

"Oh, jadi kamu masih ingat aku, Din?"

Kupejamkan mata serapat mungkin. Menahan gejolak rasa, yang entah apa ini namanya. Merasakan sentuhan tangannya di pipiku. Ingin menghindar, tapi tubuh terasa kaku.

Ayah Untuk AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang