"Bukannya hari ini kamu kerja? Kenapa di sini?" Mbak ayu ikut duduk di samping kiriku.Aku tersenyum kecil sambil mengangguk, saat wanita yang berumur lima tahun di atasku itu duduk di samping. Wajahnya kali ini terlihat seperti kelelahan. Ada banyak keringat di dahinya.
Segera kuusap air mata yang membasahi pipi, meski mungkin, Mbak Ayu sudah tahu, jika aku sedang menangis. "Mbak Ayu dari mana?"
Mbak Ayu mengibas-ngibaskan telapak tangan ke wajahnya yang sedikit pucat. "Dari rumah teman, Din. Jalan kaki, capek aku."
"Kamu kenapa?"
"Emang jauh, Mbak?" Aku mengalihkan pembicaraan.
"Nggak juga, sih. Makanya aku coba buat jalan kaki aja. Sekalian biar ngurangin berat badan," ucapnya, kemudian tertawa sendiri. "Yang kemarin itu siapa?'
"Pemilik resto tempatku kerja, Mbak."
"Apa dia orangnya?"
Aku menoleh, melihat wajah Mbak Ayu dari sisi kanannya. Pandangannya lurus ke depan, mungkin sedang melihat anak-anak balita yang sedang asyik bermain bersama keluarganya, atau entah sedang meperhatikan apa. Sekali lagi kuperhatikan raut teduh Mbak Ayu yang sesekali tersenyum kecil.
Memang aku pernah menceritakan Gavin pada Mbak Ayu. Tentang bagaimana sosok Gavin di mataku. Tentang sosok papanya yang tak merestui hubunganku dengan Gavin hanya karena asal-usulku tak jelas dan dari keluarga miskin.
Kuembuskan napas pelan, saat memalingkan wajah darinya. Ikut memandang ke depan. Namun, pikiranku tertuju pada Gavin.
Aku mengangguk. "Dia masa lalu, Mbak."
Ya, Gavin memang hanya masa lalu yang tiba-tiba datang kembali. Dan entah kenapa bayang-bayang kenangan saat aku dan dia muncul kembali.
"Yang bikin kamu jadi sekarang ini, apa dia juga?"
Aku hanya mengangguk samar.
"Apa dia tahu tentang Zahra?"
"Aku belum berniat untuk menceritakannya kepada siapa pun untuk saat ini, Mbak. Hanya Mbak Ayu dan Mas Bisma, teman kerjaku saja yang tahu tentang Zahra."
Mbak Ayu menepuk pelan bahuku. "Ya, aku tahu ini semua nggak akan mudah, Din. Posisi kamu sulit. Semua berbalik lagi padamu. Yang bisa menentukan masa depanmu dan Zahra, ya, hanya kalian."
"Iya, Mbak. Aku masih belum siap, Mbak."
"Semua hanya tergantung padamu, Din. Tapi satu hal yang harus kamu ingat. Jangan pernah membohongi dirimu sendiri."
Kalimat terakhir Mbak Ayu membuatku tersentak. Aku tak bermaksud untuk membohongi diri sendiri atau orang lain. Tapi, aku hanya belum sanggup untuk memberihukan hal yang sebenarnya.
Beberapa lama kami terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Pikiranku melayang pada Gavin. Apa ini waktu yang tepat untukku berbicara padanya?
"Sudah siang, Din. Aku mau pulang, ya. Jangan terlalu dipikirkan, mungkin dia bertindak seperti itu karena dia hanya ingin kamu jujur sama dia. Bukan berarti memaksa kehendakmu."
Apa yang dikatakan Mbak Ayu memang benar. Harusnya aku tidak terpancing dengan pertanyaannya yang menuntut tadi.
"Udah, ya, Din." Mbak Ayu beranjak. "Kamu juga harus kerja, kan?"
"Iya, Mbak. Hati-hati di jalan. Terima kasih."
Mbak Ayu hanya mengangguk, lalu pergi meninggalkanku di sini. Sejenak kupejamkan mata, lalu menengadah, merasakan terik yang semakin menusuk kulit wajah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah Untuk Anakku
General FictionMemperjuangkan kehidupan malaikat kecil di sisiku adalah yang selama ini aku lakukan. Enam tahun terakhir ini aku tak mempedulikan perkataan orang di sekitar. "Perempuan nggak tahu malu." "Perempuan kotor!" "Dasar pezina!" "Pasti anak itu hasil hub...