Aku ingin memundurkan langkah, tapi terasa tangan kanannya berada di pinggangku. Tubuhnya semakin meniadakan jarak, tapi segera kutahan dengan kepalan tangan di dadanya.
"Kenapa?" Suaranya tiba-tiba menjadi lembut. Sementara tangan kirinya perlahan menyelipkan helaian rambut ke belakang telingaku.
Jangan ditanya bagaimana perasaanku sekarang. Ini terasa sangat kacau sekali. Degupnya tak beraturan, terasa jantung ingin melompat keluar.
"Lepas, Pak." Aku berusaha meronta sekuat tenaga, tapi tetap tak bisa terlepas.
Beberapa kali aku berusaha menunduk, demi mengalihkan tatapannya yang terasa menghujam di dada. Namun, ternyata sia-sia. Dia selalu membuatku menatapnya dengan tangan yang kini berada di dagu.
Entah berapa lama kami dalam posisi seperti ini.
"Aku cuma ingin tahu perasaan kamu sekarang, Din."
"A-apa?"
Sekilas kulihat Gavin tersenyum miring. "Tapi sepertinya aku sudah tahu jawabannya tanpa kamu ucapkan."
Gavin sedikit menunduk, mendekatkan wajahnya, seperti ingin menciumku. Sampai embusan napasnya saja bisa kurasakan.
"Le-lepas, Pak."
"Aku juga ingin seperti orang yang sudah mencicipimu, Din. Biarkan aku juga merasakan bagaimana nikmatnya tubuhmu."
Apa yang dia katakan? Bagaimana bisa dia mengucapkan kalimat itu? Napasku memburu, hatiku terasa dibakar oleh api yang menyala besar. Teganya dia! Apa yang dia pikirkan sebenarnya.
Plak!
Satu tamparan mendarat di pipi kirinya, membuat tanganku panas seketika. Mataku memanas, tak lama kemudian satu tetes air mata keluar tak tertahankan.
Tanganku menunjuk wajahnya saat ini. Dengan keberanian yang tak seberapa, aku berusaha untuk membela harga diriku sendiri. "Aku bukan seperti orang yang ada dalam otakmu, Gavin. Aku bukan perempuan bayaran seperti wanita tadi."
"Bukankah selama ini kamu memang seperti itu?"
"Jaga ucapanmu!"
"Lalu, siapa ayah kandung Zahra sebenarnya?" Gavin menatapku dalam, sambil satu tangan di pinggangnya.
"Itu bukan urusanmu!"
Aku memutar badan, ingin pergi dari sini. Namun, langkahku terhenti saat itu juga. Terasa cekalan tangan begitu kuat di lengan kiriku. Tubuhku sampai berbalik lagi menghadapnya.
"Katakan padaku yang sebenarnya, Dinar!"
Ingin melepaskan diri, tapi cengkeramannya terlalu kuat, sampai aku meringis kesakitan. Dia berubah. Dia bukan Gavin yang kukenal dulu.
"Sakit."
Apa! Apa yang telah membuatnya jadi seperti ini? Tubuhku melemah, terasa tak ada tulang untuk menyangganya. Hingga aku terduduk, menunduk dan terisak, membuat cengkeramannya terlepas begitu saja.
Meski tak kulihat, tapi aku bisa merasakan Gavin ikut duduk berhadapan denganku di lantai. Suasana berubah menjadi hening. Tak ada suara selain detak jam dinding di ujung sana.
"Apa salah aku?" Lirih aku bertanya pada diriku sendiri, sambil memukul-mukul dada berulang kali demi meredam sesak yang ada. "Kenapa hidupku semenyedihkan ini?"
Kurasakan rengkuhannya lagi, tapi kini berbeda. Terasa usapan lembut dipunggungku, meski aku tak membalas pelukannya. Kami saling diam untuk beberapa saat, sampai dia mengatakan sesuatu yang tak kalah lirihnya padaku. Sangat lirih serupa angin yang berembus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah Untuk Anakku
General FictionMemperjuangkan kehidupan malaikat kecil di sisiku adalah yang selama ini aku lakukan. Enam tahun terakhir ini aku tak mempedulikan perkataan orang di sekitar. "Perempuan nggak tahu malu." "Perempuan kotor!" "Dasar pezina!" "Pasti anak itu hasil hub...