Bab 16

1.5K 112 11
                                    

Aku menceritakan semua yang telah terjadi antara aku dan Gavin selama ini. Di mulai dari saat itu ....

🍂

Hujan lebat mengguyur malam ini. Sejak dua jam lalu, aku berniat ingin pulang, tapi selalu dicegah olehnya. Dari jendela kaca besar apartemen aku hanya berdiri memandang derasnya air yang turun. Dingin rasanya.

"Minum dulu, Din."

Gavin berdiri tepat di sampingku, lalu memberikan secangkir minuman. Hangat terasa saat aku menerima cangkir yang berisi cokelat itu. Aku memang suka cokelat, dan Gavin pun tahu itu.

"Makasih, Kak."

Pandanganku kembali lurus ke depan. Lalu-lalang kendaraan bermotor tak seramai tadi sore saat jam pulang kerja. Bisa kulihat dari atas sini. Gedung-gedung di sekitar apartemen pun kini mulai menggelap. Lampu-lampu yang biasanya masih menyala di jam seperti ini, kini sudah tak ada.

"Kak? Apa nggak bisa nganter aku pulang sekarang?" Aku bertanya sesaat setelah menoleh ke samping kanan.

"Hujannya lebat banget, Din."

"Tapi aku takut nanti bapak sama ibu jadi khawatir."

"Udah, tenang aja. Untuk malam ini, kamu menginap di sini dulu, ya."

"Kalau bapak dan ibu tahu aku di sini, pasti mereka nggak bakal mengizinkan, Kak." Ada rasa gelisah yang membuat hatiku tak nyaman. Aku tak biasa berbohong kepada Bapak dan Ibu. Namun, jika aku nekat pulang sendiri sekarang, aku juga tak berani.

Gavin meraih cangkir yang kugenggam, lalu menaruhnya di meja kecil tak jauh dari tempatnya berdiri. Sementara, aku masih menatap pemandangan ke luar jendela.

"Kak?"

Tangan kekar itu dengan mudah berhasil menyelip di antara pinggangku. Rengkuhannya terasa hangat saat ini. Lebih hangat dari cokelat yang tadi dia berikan padaku.

"Gini aja, Din. Aku kangen kamu. Aku ingin seperti ini selamanya sama kamu."

Kubiarkan kami dalam posisi seperti ini. Sama-sama diam. Sama-sama menikmati malam dalam kesunyian.

"Din?"

Gavin memanggil pelan, hingga napas hangatnya bisa kurasakan di telinga. Dia membalikkan badanku dengan perlahan. Mata kami bertemu. Ada sesuatu yang terpancar dari kedua bola matanya itu.

Dengan pasti Gavin meniadakan jarak. Jemarinya mengusap pipiku dengan lembut. Membuatku memejamkan mata sejenak. Setelahnya, kening kami bertemu. Gavin tersenyum lembut, lalu menyentuh bibirku kembali.

Tanpa ada kata, aku mengikuti perlakuan lembut darinya. Entah apa ini namanya, tubuhku serasa melayang di udara. Malam ini, menjadi malam yang tak bisa kulupakan seumur hidup.

"Terima kasih, Sayang. Aku akan ada untukmu sampai nanti. Aku berjanji." Gavin berucap setelah beberapa lama kami menyelami indahnya dosa.

🥀

Perlahan kubuka mata. Pegal terasa saat badan kupaksa untuk duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Pandangan ini menyapu seisi kamar yang baru pertama kali aku tiduri. Beberapa helai pakaian yang sebelumnya kukenakan terlihat berserakan di lantai.

Selimut tebal masih melekat membalut tubuhku. Aku masih terdiam, saat seseorang menggeliat di sampingku. Tangannya bergerak, seolah mencari sesuatu yang seharusnya masih dipeluknya dari semalam.

Dia ... dia yang sudah kuberikan mahkota berharga ini. Kini membuka mata dan menatapku sedikit mendongak, lalu memberikan senyum pertama di hari ini. Aku tak membalas senyumannya itu. Aku masih sibuk dengan pikiran yang sudah kacau ini.

Ayah Untuk AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang