Setelah lulus SMA, aku tak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi lagi. Kata Bapak, memang belum ada biaya untuk kuliah, jadi mau tak mau aku harus menurut. Bapak dan Ibu tak pernah memanjakanku, mereka selalu mengatakan jika aku harus mandiri. Tidak boleh bergantung kepada orang lain selagi masih bisa sendiri.Dari kecil, Bapak dan Ibu selalu mengajarkanku untuk bisa melakukan apa pun. Bahkan, sewaktu sekolah aku membantu Ibu menjualkan dagangannya. Menitipkan apa yang Ibu masak ke warung atau kantin sekolah.
Hingga saat ini, aku bekerja membantu tetangga di sebuah toko kelontong tak jauh dari rumah. Pemiliknya lumayan baik, tak segan menegur jika aku berbuat kesalahan.
Pagi ini, aku berangkat bekerja seperti biasa. Sepeda tua yang kubeli setahun lalu ini, memang lumayan bagus kondisinya, jadi bisa kuandalkan untuk sekadar berangkat dan pulang kerja. Tak harus berjalan, meski jarak toko dan rumah hanya 700 meter.
"Pagi, Bu." Aku menyapa Bu Ratmi, saat baru saja masuk ke toko.
"Tumben agak siang, Din?"
"Iya, Bu. Maaf, tadi perutnya nggak enak."
"Sekarang gimana? Udah baikan belum? Jangan sampe sakit, lho. Nanti ganggu kerja." Wanita setengah baya yang mengenakan gelang entah berapa jumlahnya itu mengkhawatirkanku.
"Iya, Bu."
Dari pagi sampai sekarang jam setengah sebelas siang, pembeli tak pernah sepi. Para pekerja sibuk, termasuk aku. Belum beristirahat, bahkan duduk saja tak sempat.
Sedikit terasa pusing, tanganku berpegangan pada salah satu tiang. Gemetar.
"Din, kamu kenapa?" Sentuhan pelan di pundak membuatku menoleh. Bu Ratmi menghampiri. "Kamu pucet. Kamu sakit?"
Aku menggeleng, tapi terasa keringat dingin banyak yang keluar dari pori-pori tubuhku. Lemas. Hingga aku tak ingat lagi selain teriakan Bu Ratmi yang memanggil namaku.
"Din? Dinar?!"
🍂
Pertama yang kucium adalah bau obat-obatan. Mulai kubuka mata, melihat sekeliling hanya gorden berwarna hijau muda yang menyekat menjadi ruang sempit ini. Tak ada siapa pun.
Untuk beberapa saat, aku hanya bisa menatap nanar langit-langit ruangan ini. Lalu, terdengar suara gorden yang tersibak. Ada tiga orang yang sangat kukenal di sana. Bapak, Ibu, dan Bu Ratmi.
Ibu mendekatiku, mengusap sebentar puncak kepala ini. Aku bisa melihat kesedihan di raut wajahnya.
Tak lama, Ibu memalingkan wajah. Sekilas bisa kulihat, punggung tangannya menyeka sudut matanya.
"Bu? Kenapa?"
"Apa yang sudah kamu lakukan, Din?!" Suara Bapak meninggi, dari ujung ranjang tempatku berbaring, aku menatap Bapak dengan pandangan tak mengerti. "Dengan siapa?"
"Ada apa, Pak?" Aku benar-benar tak mengerti. Bapak marah.
"Dengan siapa kamu berbuat?"
Berbuat apa? Apa yang dimaksud Bapak sekarang? Aku Kembali menoleh, Ibu terisak. Air matanya bisa kulihat jelas mengalir di pipi keriputnya.
"Bapak kecewa, Din."
"Dinar nggak ngerti apa yang Bapak maksud? Kecewa karena apa, Pak?"
Semua terdiam. Bu Ratmi yang biasanya banyak bicara, kini hanya diam. Sambil sesekali mengusap lengan Ibu yang berada di sampingnya.
"Ibu kenapa menangis? Apa yang terjadi padaku?"
"Si-siapa ayah dari janin yang ada di perutmu, Dinar?" Kembali Ibu bertanya
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah Untuk Anakku
General FictionMemperjuangkan kehidupan malaikat kecil di sisiku adalah yang selama ini aku lakukan. Enam tahun terakhir ini aku tak mempedulikan perkataan orang di sekitar. "Perempuan nggak tahu malu." "Perempuan kotor!" "Dasar pezina!" "Pasti anak itu hasil hub...