"Bunda, salim," ucap Zahra, membuatku tersadar dari lamunan. Tangannya terulur ingin bersalaman denganku."Iya, Sayang." Padaku menunduk demi melihat lagi wajah cantik Zahra. "Nanti siang mau dijemput bunda atau Tante Ayu?"
"Emm ...." Zahra seperti berpikir untuk menjawab pertanyaanku. Mungkin bingung harus menjawab apa?
"Kalau pengen dijemput sama Om Gavin, boleh nggak, Bun?"
Aku sedikit terkaget. Bagaimana bisa Zahra malah memilih Gavin? Aku menoleh sedikit mendongak, melihat Gavin sekilas. Dia terlihat menahan senyum kali ini.
"Tapi, Om Gavin kan harus kerja, Sayang." Aku berusaha menjelaskan.
"Bunda juga kerja, tapi bisa jemput Aya sekolah."
"Zahra, pinter ya, jawabnya. Anak siapa, sih, ini?" Gavin tiba-tiba meraih Zahra dan mengangkat tubuh kecil itu sedikit ke atas, lalu menggendongnya.
Jika orang lain melihat, adegan ini persis seperti seorang ayah dan anak sedang bercanda. Ah, terasa nyeri lagi hati ini. Miris dengan apa yang Zahra alami dari semenjak bayi.
Aku tak pernah melihat Gavin menyukai anak-anak seperti ini. Dari interaksi Gavin dan Zahra, aku bisa merasakan suatu ikatan yang tak terlihat.
"Om mau nggak jemput Aya nanti?" Zahra kembali bertanya.
"Kita lihat nanti, ya, Sayang. Om banyak kerja soalnya." Gavin menjelaskan juga dengan cara yang lembut. Disertai dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya.
"Yaah, gitu. Ya udah, deh."
"Kalau om ada waktu, nanti kita bisa main bareng, deh." Gavin menurunkan Zahra dari gendongan. Jari kelingkingnya mengacung di wajah kecil itu.
"Janji, ya?"vZahra mengaitkan jari kelingkingnya juga agar bisa bertautan dengan Gavin. Kulihat matanya berbinar, menyiratkan banyak harapan di sana.
Memang, aku jarang mengajaknya untuk sekadar jalan ke luar rumah. Aku tahu, Zahra pasti juga ingin seperti teman-temannya, bermain di taman atau di Mall. Mau bagaimana lagi, keadaan yang mengharuskanku untuk tak memanjakan dia. Ya, seperti aku dulu, harus bisa mandiri sejak kecil.
"Iya, Sayang."
Sekali lagi, kulihat Gavin mencium pipi Zahra dengan gemas. Membuat gadisku itu terkikik geli.
Setelah mereka bersalaman, Zahra masuk ke halaman sekolah, disambut pengajar yang memang sudah menunggu para murid di sana.
Aku kembali berjalan pelan meninggalkan area sekolah. Diikuti Gavin yang sedari tadi mengimbangiku berjalan. Padahal, jika ingin, dia bisa saja telepon supir pribadinya itu. Namun, entah kenapa, dia malah ikut bersamaku seperti ini.
Pagi ini terasa berbeda. Jalan yang kulalui terasa sangat jauh, padahal setiap hari aku melewatinya dengan berjalan kaki. Biasanya aku sangat suka menghirup aroma bunga angsana yang tumbuh di trotoar ini.
"Setiap hari kamu seperti ini?"
Sekilas aku menoleh, lelaki yang semalam menginap di rumah itu masih mengenakan baju yang sama. Kami melangkah beriringan menikmati udara dan sorot mentari pagi.
"Iya," jawabku singkat. Lalu, pandanganku beralih pada bunga-bunga warna yang berjatuhan. Berserak di tanah bagai kisah kasih masa lalu. Aku memilih untuk meninggalkan seseorang yang memang seharusnya, dia tak bisa kuperjuangkan. Sekuat apa pun usahaku untuk tetap bersamanya, pasti akan sia-sia.
Penghalang yang tinggi menjulang, seolah tak bisa kutembus. Tak bisa kulalui, tak bisa kuhancurkan dengan mudahnya.
Harusnya sebelum rasa yang dulu ada, aku bisa memikirkan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Bukannya malah terjerumus dalam kubangan asa yang tak bisa kuraih. Bukan juga malah terjerembab dalam kesalahan yang membuat pikiran selalu terbebani.
Menyesal?
Entahlah, aku pun ragu untuk menjawab pertanyaanku sendiri.
"Din?"
Langkahku terhenti saat tangan kirinya menggenggam erat jemariku. Terasa detak jantung semakin cepat. Mungkin, jika dua langkah saja dia mendekatiku, pasti akan terdengar dentamannya.
"Aku hanya ingin tahu, apa alasan kamu ninggalin aku?"
Aku menghirup dalam-dalam udara yang tadi tiba-tiba terasa sedikit sesak saat mendengar pertanyaannya. Apa aku harus jujur jika yang terjadi ada campur tangan papanya? Apa aku harus mengatakan juga tentang siapa Zahra sebenarnya? Tentang bagaimana bisa dia ada dalam hidupku?
"Apa masih perlu aku jawab, Pak?" Aku mencoba untuk masih bersikap sesantai mungkin.
Gavin berdecak, kemudian melepas genggamannya, berganti dengan tangan yang berada di pinggangnya sendiri. "Kamu itu, masih sama aja."
Dahiku mengernyit, melihat dia tersenyum sambil sesekali menggelengkan kepala. Kurasa perkataan tadi tak ada yang lucu, kenapa dia bisa tersenyum?
"Jangan jawab pertanyaan dengan balik bertanya, Din."
Aku baru tersadar. Kenapa juga tadi aku malah bertanya? Bukankah menjawab 'tak ada' begitu saja sudah cukup?
Gavin mendekat lagi, tepat berdiri di hadapanku. Namun, aku masih tetap menunduk, tak mampu menatap wajahnya itu.
Waktu seolah berhenti seketika. Tubuh ini meremang, saat kurasakan kedua tangannya berada di lenganku. Jujur saja, ini membuatku tak nyaman.
"Din, aku hanya ingin kamu jujur padaku. Tentang masa lalu. Kenapa kamu tega pergi saat aku butuh kamu? Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Ng-nggak ada, Pak. A-aku hanya ada urusan yang lebih penting."
"Apa itu?!"
"Aahh ...." Cengkeramannya begitu sakit di lengan, membuatku mendongak melihatnya.
"Apa yang lebih penting selain aku! Katakan Dinar!"
Suasana seolah sepi. Hanya ada aku dan Gavin di sini. Bahkan, angin tak sedikit pun berembus. Kutatap lekat wajahnya. Mata itu, terlihat penuh amarah, tapi menyimpan banyak luka. Seperti ada sesuatu yang dia pendam sendiri.
"Lalu, siapa Zahra sebenarnya? Apa kamu sudah menikah?"
Aku tak menjawab.
"Jawab!"
"Be-belum," ucapku terbata. Gavin kenapa sikapnya berubah-ubah seperti ini?
"Apa Zahra itu anak haram? Apa dia anak dari hasil hubunganmu dengan lelaki lain? Jawab, Din! Apa tebakanku benar? Hah?!"
Serentetan pertanyaannya membuat pikiranku kacau. Kelebatan potongan kilasan masa lalu membuatku tak tahan. Terasa ada sesuatu yang akan meledak saat ini, jika tak kulakukan sesuatu untuk menghentikannya.
Plak!
Satu tamparan keras dan tiba-tiba membuatnya terkejut. Sangat terkejut, hingga terlihat darah di sudut bibirnya.
"Jaga ucapanmu?! Kamu nggak tahu apa-apa tentang Zahra!" Suaraku tak kalah tinggi dengannya. Entah, keberanian dari mana ini, tiba-tiba saja datang menghampiriku.
Kulihat telapak tanganku memerah. Aaarrgghh! Apa yang kulakukan? Apa?!
"Dinar!"
Aku menarik beberapa langkah mundur. Sekilas kutatap wajahnya lagi, lalu berpaling. Aku tak tahan. Sekuat tenaga kaki ini berlari cepat menjauh darinya.
Saat kurasa sedikit lelah, langkahku terhenti. Bersandar di pohon besar dekat taman. Lalu, duduk di bawahnya, aku memejamkan mata sejenak, menghirup lagi udara sedalam yang kumau. Seolah telah terlepas dari sesak yang kurasa.
Ada luka lagi yang terbuka. Rasa itu luar biasa sakitnya. Apa kesabaranku untuk mendapatkan penawar selama ini sia-sia?
Tuhan, tak bisakah Kau menggantikan cobaan ini dengan yang lain?
"Dinar?"
Aku tersentak, saat melihat siapa yang memanggilku. Seketika kututup mulut dengan kedua tangan. Terasa satu tetes air jatuh dari mata. Kenapa lagi denganku ini?
Aku masih menatapnya, meski tak bersuara. Dia yang masih berdiri di hadapan memandangi dengan tatapan aneh dan juga khawatir.
Padanya aku tak bisa menyembunyikan kebohongan.
.
Next
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah Untuk Anakku
General FictionMemperjuangkan kehidupan malaikat kecil di sisiku adalah yang selama ini aku lakukan. Enam tahun terakhir ini aku tak mempedulikan perkataan orang di sekitar. "Perempuan nggak tahu malu." "Perempuan kotor!" "Dasar pezina!" "Pasti anak itu hasil hub...