Seharian ini, aku tak melihat Gavin di resto. Aku bersyukur, kemarin dia tak memaksaku untuk menjawab pertanyaan tentang siapa Zahra.Dari kaca jendela besar ini, aku bisa melihat ramainya lalu-lalang kendaraan di jalan sana. Sore ini terlihat memang begitu padat, terkadang bisa macet sekali. Senja yang indah menurutku. Warna awan dan langit begitu cantik. Sangat sempurna jika bisa dinikmati bersama pasangan. Pasangan? Ah entahlah, pikiranku sepertinya perlu dicuci agar gak lagi bercabang ke mana-mana. Dan lagi ... kenapa pada akhirnya selalu menyangkut tentang Gavin? Harusnya aku senang kami tak bertemu hari ini. Tapi ternyata, baru sehari saja tak bertemu, pikiran tertuju padanya.
Aku mengembuskan napas sedikit lelah. Setelah tadi dihadapkan dengan beberapa pengunjung yang komplain, kini aku bisa sedikit menikmati jeda rehat. Tak terlalu banyak pengunjung di sore ini. Biasanya sebentar lagi atau menjelang malam, resto akan penuh.
"Din, ngelamun aja!" Tepukan lelang di bahu membuatku terlonjak.
"Eh, apa, Mas?"
"Aku panggil dari tadi kaga denger. Mikir apa, sih? Boleh nggak mas cakep ini tau?"
"Dih, cakep dari mana coba?"
"Ya, dari mana aja. Liat nih, dari depan, samping sampai dari belakang pun udah bisa kelihatan cakepnya." Mas Bisma berucap sambil menunjukkan wajahnya itu, membuatku mengulum senyum.
Ah, Mas Bisma, sesederhana itu dia bisa membuatku kembali menyunggingkan senyum. Bagiku dia terbaik.
"Din, ayolah cerita sama aku. Biar aku juga ikut merasakan apa yang kamu rasakan. Entah sakit, entah bahagianya." Mas Bisma menepuk-beluk dadanya sendiri.
"Halaah, Mas suka bocor nggak mulutnya?"
"Kamu itu. Udah berapa rahasia aja yang udah aku pegang, Din. Tentang Zahra pun aku nggak pernah bilang sama siapa aja."
Ya, aku tahu, Mas Bisma bukan tipe orang yang lemes, ember bocor atau menyebarkan rahasia. Makanya aku memilihnya sebagai teman curhat.
Namun, untuk kali ini. Aku tak berniat mengatakannya dulu. Mungkin besok atau lusa. Entah, aku belum siap untuk menceritakan tentang kejadian kemarin di rumah bersama Gavin.
"Iya, Mas Bisma yang katanya cakep kalo dilihat pake sedotan es dawet. Ntar aja, aku belum siaplah."
"Enak aja, sedotan es dawet. Kamu ngatain aku?!" Mas Bisma terlihat marah, tapi aku tahu itu hanya pura-pura. "Kamu tuh!"
Derai tawa Mas Bisma membuatku ikut tertawa juga. Bersama Mas Bisma, aku merasa nyaman dan terlindungi. Ya, seperti kakak sendiri.
Aku berharap apa yang dikatakan Gavin beberapa hari lalu di rumah sakit tentang Mas Bisma itu salah. Aku tak ingin merusak persahabatan dengan Mas Bisma hanya karena sebuah rasa cinta yang berbeda.
🍂
Tiga hari berlalu tanpa ada Gavin. Entah, ke mana dia, aku pun tak berniat untuk menanyakan keberadaannya saat ini. Mungkin dia kecewa dengan apa yang aku katakan tempo hari saat di rumah. Atau mungkin dia bosan karena aku selalu berusaha mengabaikan keberadaannya.
Malam ini aku pulang kerja seperti biasanya. Sendiri melewati satu gang sempit yang lumayan sepi. Memang pulang kerja beberapa hari ini bertambah malam karena resto menambah jam buka. Baru melakukan percobaan beberapa menu baru dan ternyata berhasil memikat lebih banyak pengunjung. Pada akhirnya bisa ramai sekali. Bahkan, ada yang rela mengantre atau sekadar booking meja terlebih dulu.
Akhirnya, aku sampai di area kontrakan. Namun, dari jarak beberapa langkah dari rumah, aku berhenti. Memperhatikan sosok yang tengah duduk sendiri di teras.
Postur tubuh orang itu sangat kukenali. Dia tak asing bagiku, karena memang beberapa bulan lalu dia membersamaiku.
Dia menoleh ke arahku. Lalu, bangkit, melihatku yang hanya terdiam mengamati.
"Din?"
Aku mengusap dada sebentar, demi meredam gejolak yang ada. Langkahku perlahan menuju teras rumah. Berusaha untuk bersikap biasa saja. Tak ingin menunjukkan kekesalan yang dulu pernah kurasakan.
"Din, maaf."
Biasanya jika aku pulang, masih ada beberapa tetangga yang masih mengobrol di teras rumah mereka masing-masing. Namun, entah malam ini, tak ada satu pun orang yang berada di luar rumah.
Sedangkan Zahra, aku yakin pasti dia sudah tertidur di rumah Mbak Ayu. Malam ini memang dia ingin tidur di sana, karena besok hari libur. Sempat beberapa kali juga menanyakan Gavin yang hilang entah ke mana. Tanpa kabar, tanpa memberitahu terlebih dylu. Ah, bagaimana aku bisa berharap dia mengabariku sebelumnya? Harusnya aku tak peduli akan hal itu.
"Untuk apa?" Sesaat aku bertanya setelah mengempaskan badan di kursi depan. Aku memang tak berniat untuk menyuruhnya masuk ke rumah.
"Maaf," ucapnya lagi.
Sekilas bisa kulihat dia tak seperti saat terakhir kali bertemu. Wajahnya tampak sayu tak terurus. Badannya pun sedikit kurus. Rambutnya yang dulu tertata rapi, malam ini terlihat sedikit panjang.
"Maafkan aku, Din. Dulu aku nggak bermaksud untuk nggak mendengarkan penjelasanmu."
"Aku sudah memaafkanmu, dari semenjak kamu ninggalin aku."
"Kalau begitu, bisakah kita kembali menata masa depan bersama? Aku aka menerimamu apa adanya, Din. Ternyata aku nggak bisa jika tanpamu. Aku ... aku selalu mikirin kamu."
Di saat seperti ini, Mas Krisna ingin kembali seperti dulu? Mana bisa dengan mudah aku menerima kembali? Keadaan sudah berbeda. Bukan karena kecewa, tapi karena memang aku tak berniat untuk menjalin hubungan apa pun dengan lelaki.
"Kenapa, Din?" Lagi dia bertanya, seolah harus sekarang aku menjawabnya.
"Aku nggak tahu apa maksud kedatanganmu ke sini, Mas. Jika hanya untuk meminta maaf, aku sudah memaafkanmu dari dulu. Tapi kalau hanya untuk kembali, aku nggak bisa. Maaf."
"Din, percayalah padaku. Aku sudah tahu semua tentang Zahra. Aku ...."
"Sudahlah, Mas Krisna. Kamu sebenarnya mau gimana? Ini sudah malam. Aku nggak enak sama tetangga. Kalau hanya itu saja. Mungkin cukup. Terima kasih." Aku beranjak dari kursi. Membuka tas salempang kecil yang kubawa, mencari-cari kunci rumah.
Baru aku akan membuka pintu ....
"Aku tahu, siapa sebenarnya Zahra, Din."
Aku berbalik menatapnya. "Bohong!"
"Aku nggak bohong, Din. Aku selama ini mencari tahu tentang Zahra, Din. Kenapa kamu nggak bilang dari dulu."
"Kalau sudah tahu, pulanglah, Mas."
Aku masuk rumah dan langsung mengunci pintu. Tak peduli dengan Mas Krisna yang tiba-tiba datang lagi. Bahkan, katanya yang sudah mengetahui kebenarannya. Tentang siapa Zahra, atau bagaimana masa laluku. Aku benar-benar tak ingin mengungkit masa lalu lagi.
Bagiku, Mas Krisna hanya bagian dari masa lalu. Bersamanya aku pernah merasa nyaman. Bersamanya juga aku merasa berarti meski itu tak berlangsung lama.
Ketukan pintu berulang kali kudengar, namaku pun disebutnya terus-menerus. Namun, kuabaikan. Biarlah. Biar dia pergi saja sekarang.
Aku butuh waktu untuk memikirkan semua masalah yang ada. Mungkin, untuk saat ini hanya diam yang bisa kulakukan.
Tubuhku terasa lemas, hingga luruh ke lantai yang dingin ini. Sebenarnya aku tak bermaksud untuk menyakitkan Krisna, hanya saja aku tak ingin untuk menambah beban pikiran baginya.
Mungkin dulu aku tak pernah memikirkan lebih jauh tentang perasaanku terhadap Mas Krisna, atau sebaliknya. Namun, sekali lagi, untuk saat ini, aku benar-benar tak bisa berpikir jernih untuk masalah kehidupan percintaanku.
Mas Krisna ... maafkan aku.
.Next
Jangan lupa vote, yak!
Satu part lagi bakal end
😉
Tapi nanti insya Allah bakal dinovelkan.
Tapi tenang ada extra part, jadi jangan marah ya kalo merasa dipehapein 🙏Aku doain kelen lancar rezeki, biar bisa beli novel keseayangan kelen 😘
Salim
😍
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah Untuk Anakku
General FictionMemperjuangkan kehidupan malaikat kecil di sisiku adalah yang selama ini aku lakukan. Enam tahun terakhir ini aku tak mempedulikan perkataan orang di sekitar. "Perempuan nggak tahu malu." "Perempuan kotor!" "Dasar pezina!" "Pasti anak itu hasil hub...