Bab 2

6.1K 370 8
                                    

Pernah ada yang bilang bahwa hidup tanpa cinta itu akan jadi hampa. Apa lagi tanpa cinta dari seorang pendamping hidup. Aku pernah berpikir, jika nanti aku akan menikah dengan seseorang yang tulus mencintaiku dan Zahra, dengan ikhlas. Namun, untuk saat ini kuurungkan lagi niat itu. Banyak yang harus dipikirkan terlebih dahulu  sebelum aku memulai membuka hati kembali.

Setelah mengakhiri hubungan dengan Mas Krisna beberapa hari lalu, terasa ada sesuatu yang hilang dari dalam hati. Sakit memang, tapi aku mencoba untuk tetap berpikir positif. Bahwa ternyata Mas Krisna bukan jodohku, bukan yang terbaik juga untuk Zahra.

.

Pagi menyapa. Setelah mengantar sekolah Zahra, aku bergegas menuju ke resto, tempat kerjaku. Hanya beberapa menit dari sekolahan Zahra, makanya aku lebih sering berjalan kaki. Lagi pula aku juga tak memiliki kendaraan.

Akhirnya, aku sampai juga di depan bangunan klasik ini. Dari halaman bisa dirasakan suasana romantis dan nyaman saat berada di sini. Beberapa tanaman hias menggantung di bagian depan. Lalu, bunga berwarna-warni juga mekar, menambah kesan tersendiri bagi pengunjung.

Resto dengan ciri khas menu Italia ini baru dibuka satu tahun lalu. Dan aku baru bekerja dua bulan ini sebagai pelayan. Aku bersyukur bisa diterima bekerja di sini dengan mudah. Padahal di luar sana, banyak yang ingin menjadi pegawai di resto ini.

"Buongiorno, bellissimo." (Selamat pagi, cantik)

Aku baru saja masuk. Mas Bisma sudah menyambutku dengan senyuman jailnya di depan meja kasir.

"Buongiorno anche a te, Mas Bisma." (Selamat pagi juga, Mas Bisma)

Pegawai di sini memang terbiasa dengan bahasa Italia. Pak Zildan--manager resto ini--mengatakan, kalau harus bisa menggunakan bahasa Italia untuk menyapa pelanggan. Untuk itu, beberapa lama aku harus berguru pada Mas Bisma yang sudah setahun lebih belerja di sini.

"Semangat!"

Aku hanya tersenyum menanggapinya.

Mas Bisma, dia yang menurutku paling ramah. Meski semua pegawai di sini baik padaku, tapi hanya Mas Bismalah yang tahu tentang Zahra yang sebenarnya. Bisa dianggap teman curhat, bisa juga sebagai kakak bagiku. Walau kadang dia ceplas-ceplos, tapi bisa jaga rahasia.

"Oh iya, Din. Nanti ada pemilik resto ke sini. Layani dengan baik, ya."

"Iyakah, Mas? Galak ya orangnya?"

Semenjak kerja di sini memang aku belum pernah bertemu dengan pemilik resto. Hanya mendengar bahwa dia seorang yang arogan, tak ramah dan masih banyak lagi hal negatif lainnya.

"Nggak juga, sih. Cuman ya, emang jarang senyum aja orangnya. Yang aku tahu dia baik kok."

"Namanya siapa, Mas?"

"Pak Gavin, dia baru saja pulang dari Italia, Din."

Deg!

Gavin, nama itu? Ah, bisa saja namanya sama, tapi orangnya berbeda. Siapa pun berhak memakai nama itu bukan?

Aku menggeleng cepat, menepis beberapa pertanyaan yang sempat hinggap di kepala.

"Ooh, oke. Aku ke belakang naruh tas, dulu, Mas."

"Dipersilakan, cantik ...."

Tepat pukul sepuluh, resto buka. Para pegawai sudah berjejer rapi dengan seragam khas resto ini di depan meja berbentuk bar. Beberapa pegawai terlihat sedikit tegang, ada juga yang saling berbisik. Entah apa yang mereka bicarakan. Apa semua karena pemilik resto ini akan datang?

"Ehm ...." Suara bariton terdengar bersamaan dengan langkahnya semakin mendekat.

Para pegawai hanya menunduk, tak terkecuali aku. Ada sedikit rasa gugup memang, karena baru pertama aku bertemu.

Ayah Untuk AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang