Bab 7

4.7K 297 9
                                    


Sudah lima belas menit berlalu, pria yang tadi kubukakan pintu itu, rela menunggu Gavin lama di ruang tamu. Beliau duduk di sofa tak jauh dari tempatku duduk.

Nyala TV seolah tak dihiraukannya. Teh yang kepulan asapnya tak lagi terlihat di meja depannya juga tak tersentuh. Aku bisa merasakan tatapannya hanya mengarah padaku. Sementara, aku hanya duduk kaku. Sesekali melirik Tuan Agung, lalu kembali menunduk. Tanpa terasa, aku memilin ujung baju demi meredam kegugupan yang luar biasa.

Ini bukan yang pertama kali aku bertemu dengan Tuan Agung. Beberapa bulan sebelum bapak meninggal karena memang sudah sakit-sakitan lama, aku sudah mengenal beliau dan Gavin. Aku sering mengantar bapak ke rumah Tuan Agung untuk bekerja dan itu hampir setiap hari. Bapak adalah tukang kebun di rumah Tuan Agung yang mewah itu.

Namun, aku tak habis pikir, sifat Tuan Agung begitu arogan padaku. Padahal jika dengan bapak, beliau bersikap wajar dan semestinya.

"Dinar, jangan terlalu dekat dengan Tuan muda Gavin, ya." Bapak yang sedang berbaring di ranjang sempit itu pernah menasehatiku.

"Kenapa, Pak? Aku dan Kak Gavin hanya berteman saja. Dia baik sama aku."

"Ingat, Din. Kita itu berbeda dengan mereka. Dan ...." Ucapan Bapak terhenti.

"Dan apa, Pak?"

"Ah, sudahlah, Din. Kita ini bukan apa-apa di mata mereka. Jadi kita harus tau diri."

Sebenarnya banyak pertanyaan yang ada dalam benakku saat itu. Namun, urung kunyatakan pada Bapak. Melihat kondisinya yang begitu memperihatinkan, aku tak ingin membuat keadaan Bapak menjadi lebih buruk lagi.

Satu hal yang membuatku yakin dengan Gavin dan menerima perhatian juga kasih sayangnya adalah ketulusan hatinya. Aku merasakan ketulusan pada dirinya. Bahkan, aku mau menjalin hubungan diam-diam dengannya.

Ceklek.

Suara pintu terbuka membuyarkan lamunanku tentang Bapak. Spontan, aku dan Tuan Agung melihat Gavin keluar kamar dengan masih bertelanjang dada, membuat Gavin terperanjat. Namun, dia terlihat tetap berusaha tenang.

"Pa, ada perlu apa ke sini?" Gavin menghentikan usapan handuknya di kepala.

"Apa salah papa mengunjungi anak sendiri?"

Gavin hanya tersenyum miring. Tanpa berkata apa pun, Gavin berlalu ke kamar lagi.

Debar jantungku masih tak bisa kukendalikan. Melihat Tuan Agung memberikan tatapan tajamnya padaku. Terasa tanganku basah karena keluar keringat.

"Aku lagi sibuk, Pa," ucap Gavin ketus, setelah keluar dari kamar lagi. Penampilannya terlihat santai mengenakan kaus dan juga celana jeans selutut. Lalu duduk di sebelahku.

"Sibuk pacaran dengan gadis tak tahu malu itu?!"

Sakit. Namun, aku masih diam, menahan air mata yang ingin keluar. Bagaimana bisa pertanyaan itu dia ucapkan dengan mudahnya? Apa harga diriku sebegitu rendah di matanya?

Semakin kutundukkan kepala saat kurasakan Gavin semakin merapatkan duduknya padaku. Lalu, meraih tanganku dan digenggamnya erat.

"Apa maksud Papa? Jangan menghina orang seenaknya!" Suara keras Gavin membuatku menegakkan kepala, melihatnya menahan amarah.

Tatapanku dan Gavin bertemu. Aku menggeleng pelan, agar dia tak lagi berbicara tak sopan pada papanya sendiri.

"Memang seperti itu, kan, kenyataaannya? Kenapa kamu masih saja bersama dengan dia? Jangan-jangan kamu kena guna-guna?" Tuan Agung menyilangkan tangan di dada. Badannya bersandar pada sofa, lalu, satu kakinya terangkat, bertumpu pada kaki lainnya.

Aku bisa melihat keangkuhan dalam setiap kalimatnya. Sorot matanya tersirat bahwa Tuan Agung benar-benar membenciku. Padahal, selama ini aku tak pernah berbuat jahat pada siapa pun, bahkan padanya.

"Perempuan yang tak jelas asal-usulnya seperti dia itu hanya mengganggu masa depanmu, Vin. Dia hanya butuh hartamu."

Terasa bagai petir menyambar hatiku saat ini. Perempuan tak jelas asal-usulnya? Satu kalimat itu terngiang berulang kali di telingaku.

"Dinar nggak seperti itu, Pa. Dia gadis baik-baik. Aku cinta sama Dinar."

"Cinta, cinta, apa itu cinta? Yang kamu butuhkan hanyalah gadis yang sepadan denganmu, dengan kita, Vin. Bukan seperti dia."

"Please, Pa! Aku lagi nggak mau ribut sama Papa. Aku capek."

Brak!

Suara gebrakan di meja mengaketkanku. Tuan Agung berdiri sambil berkacak pinggang.

"Pokoknya sampai kapan pun, papa nggak akan merestui hubungan kalian."

Lalu, beliau pergi begitu saja. Meninggalkan suara gedebam pintu yang terdengar jelas.

Beberapa saat suasana hening. Namun, Gavin masih menggenggam erat jemariku.

Sejenak aku terdiam. Lalu, memutuskan untuk mulai berbicara pada Gavin. "Kak, aku nggak mau bikin kamu jadi anak durhaka. Apa sebaiknya kita berhenti di sini saja?"

Sadar diri siapa aku sebenarnya. Hanya anak pungut dari keluarga sederhana, yang jauh dari kemewahan. Ya, aku ternyata bukan anak kandung Bapak atau pun Ibu yang selama ini merawatku. Aku baru mengetahuinya setelah Ibu mengatakannya beberapa waktu lalu.

Kenyataan yang begitu pahit, bukan? Terkadang aku merasa bahwa hidupku mengenaskan. Kepergian kedua orang tua angkatku itu membuat hati ini hancur.

Padahal, aku sangat bahagia berada di antara mereka. Dan satu hal yang paling membuat hati ini sakit, yaitu dengan lancangnya aku jatuh cinta pada Gavin. Lelaki sempurna dari keluarga kaya, dikelilingi banyak gadis yang setara dengannya. Meski masih berusia dua puluh empat tahun. Usahanya yang dibantu Tuan Agung pun perkembangannya melesat.

Tiba-tiba Gavin berlutut di hadapan, membuyarkan lamunanku. Wajahnya mendongak menatapku, kemudian tangannya terulur membelai pipi ini yang ternyata sudah basah. Ah, bahkan aku tak menyadarinya. Sejak kapan aku menangis?

"Aku sayang sama kamu, Din. Cuma kamu yang mendukung semua keinginanku, cita-cita yang ingin kuraih."

Gavin menarik napas sebentar. "Aku udah nggak punya mama, Din. Sebelum kamu ada di kehidupanku, cuma mama yang suport aku. Sekarang aku butuh dukunganmu. Aku butuh kamu Din."

Aku tahu, Gavin sangat menyayangi mamanya. Bahkan, sampai saat ini.

"Tapi, Kak. Aku nggak pantas buat kamu. Aku ...." Aku tak sanggup lagi meneruskannya. Terasa sesak, hingga tenggorokan pun seakan tak bisa mengeluarkan suara.

"Dinar, jangan seperti ini. Jangan menangis, Din. Hatiku sakit." Suara Gavin mulai serak. "Bisakah kita selalu bersama? Bisakah kamu selalu menemaniku, Din?"

Lagi, air mata ini tak bisa kutahan. Kini jatuhnya lebih deras daripada tadi. Aku cinta Gavin, aku benar-benar menginginkan dia.

"Menangislah sepuasmu di sini. Aku nggak akan melarang kali ini." Gavin memelukku erat. Sesekali mengecil pucuk kepalaku, meski aku tak membalas pelukkannya. "Tapi kamu janji sama aku. Hanya hari aja kamu boleh nangis. Besok, lusa, besoknya lagi, dan seterusnya kamu nggak boleh menangis, Din. Kamu nggak boleh nangis."

Kami sama-sama tersakiti atas hubungan ini. Dia meminta agar tetap bersama, mendengar kalimat itu, hatiku bertambah sesak. Bagaimana tidak, aku dan dia jelas-jelas sangat berbeda.

Aku hanya diam, tak bisa membalas ucapannya sekarang. Pikiranku tak jelas. Berbagai bayangan masa depan memenuhi benakku.

Aku pikir, mungkin perpisahan akan lebih baik untukku dan Gavin. Bukankah cinta yang sehat itu adalah cinta yang tak pernah saling menyakiti?

.

Next

Ayah Untuk AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang