Semalam aku di sini, terlelap bersama Gavin. Menghabiskan waktu hanya berdua, meski tak banyak berbicara.Lalu, pagi ini saat bangun lagi, aku tak melihatnya. Tak ada pesan yang ditinggalkannya. Mungkinkah dia jenuh saat menungguku semalaman? Atau mungkin dia tak betah bersamaku?
Ketukan pintu terdengar, lalu terbuka pelan. Saat dia berjalan mendekat, senyumku mengembang, sosok kecil itu terlihat cantik mengenakan gaun berwarna soft pink. Dia pun turut tersenyum.
"Bunda ...." Zahra memanggil sambil menggenggam satu tangkai bunga mawar merah di tangan kanannya. Lalu, memberikannya padaku. "Cepet sehat, ya, Bunda. Aya kangen, pengen bobo sama Bunda di rumah."
"Terima kasih, Sayang. Bunganya cantik, seperti kamu. Siapa yang dandanan, sih?"
"Tante Ayu, Bun."
"Mana Tante Ayu, Sayang? Kok nggak kelihatan." Aku berusaha untuk duduk. Meski masih terasa berat, tapi aku bisa melakukannya.
"Aya nggak sama Tante Ayu, kok."
Suara langkah terdengar jelas mendekat. Meski aku tak menatapnya, tapi aku yakin dia adalah Gavin.
"Kenapa nggak sama Tante Ayu?" tanyaku, tak menghiraukan Gavin yang sudah berada tepat di belakang Zahra.
"Aku yang memintanya, Din. Kamu nggak keberatan, kan?"
Aku menatapnya sekilas. Baju yang dia kenakan sudah berbeda dari kemarin. Sekarang dia terlihat lebih santai, dengan kaus berkerah dan celana jeans panjang.
"Lain kali, sama Tante Ayu aja, ya, Sayang." Lagi, aku tak menatapnya sama sekali. Hanya memandang Zahra yang tampak sangat cantik bak putri dalam dongeng.
"Tapi Aya maunya sama Om aja."
Aku mengembuskan napas pelan. Kalau sudah begini mau bagaimana lagi, Zahra tipe anak yang pemilih. Sebenarnya dia tak mudah akrab dengan orang asing. Bahkan, Mas Bisma pun membutuhkan waktu yang lama untuk sekadar mendekati Zahra. Namun, entah jika dengan Gavin. Zahra seperti sudah mengenal lama.
Gavin berlutut sambil mengusap kepala Zahra pelan. Terlihat menyunggingkan senyum ramah pada gadis kecilku itu. Lalu, membisikkan sesuatu di telinga Zahra. Entah apa, aku tak bisa mendengarnya. Yang kulihat sesaat kemudian adalah mata Zahra yang membulat seraya mengangguk berulang kali sambil terkikik.
"Ada apa?" tanyaku heran, saat mereka berdua selesai mengobrol yang tak terdengar olehku.
"Ah, enggak. Ini, Aya mau bilang sesuatu sama kamu." Gavin menjawab pertanyaanku dengan sedikit aneh. Tangannya menggaruk leher bagian belakang, seperti saat dia sedang menunjukkan sikap groginya dulu.
"Bunda, Aya punya hadiah buat Bunda. Tapi tutup mata dulu."
"Hadiah apa? Hari ini, kan, bukan ulang tahun bunda."
"Udah tutup mata aja. Nurut apa kata Aya." Gavin menyahut.
Beberapa lama aku menutup mata. Hanya terdengar bisik-bisik lagi yang tak jelas di sampingku.
"Ini, Bunda." Zahra mengulurkan kotak beludru berwarna merah yang terbuka. Berisi satu cincin yang bentuknya sederhana, tapi terlihat sangat mahal karena ada batu permata di atasnya. "Bunda, boleh nggak kalo Aya panggil Om Gavin itu Ayah?"
Aku sedikit terkejut mendengar kata-kata Zahra. Menggeleng beberapa kali, apa ini bentuk pernyataan rasa Gavin padaku? Apa ini yang mereka bicarakan tadi?
"Tapi, kan, Aya masih punya ...." Ucapanku terhenti, mengingat ada suatu rahasia besar yang harus kusembunyikan saat ini. Lalu, menutup mulut dengan satu tangan agar tak ada kata yang keluar lagi dariku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah Untuk Anakku
General FictionMemperjuangkan kehidupan malaikat kecil di sisiku adalah yang selama ini aku lakukan. Enam tahun terakhir ini aku tak mempedulikan perkataan orang di sekitar. "Perempuan nggak tahu malu." "Perempuan kotor!" "Dasar pezina!" "Pasti anak itu hasil hub...