Bab 15

6.5K 431 72
                                    

Aku pernah melakukan kesalahan. Ya, kesalahan yang sangat fatal, hingga berujung penyesalan yang luar biasa parahnya. Bahkan, kejadian yang tak kusangka bertubi-tubi datang menghampiriku. Hingga keterpurukan sempat melanda hidupku.

Tak hanya aku, tapi orang tuaku pun menerima imbas dari kesalahan di masa lalu. Membuat hati mereka kecewa begitu dalam. Namun, semua itu sudah terlanjur. Dan mereka hanya bisa menerima apa yang ada.

Sebisa mungkin, aku berhati-hati. Menjaga hati dan diri, agar tak melakukan hal yang sama seperti dulu. Memulihkan rasa itu, bagiku tak mudah. Bahkan, aku harus membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sembuh, meski tak sepenuhnya bisa. Sampai saat ini.

Sungguh, aku tak ingin. Rasanya sakit sekali.

Pagi. Kusibakkan tirai yang menutup jendela kamar, agar sinar mentari masuk melewatinya. Kuhirup dalam-dalam udara pagi ini. Jejak-jejak embun masih terlihat di dedaunan di samping rumah milik tetangga.

Hari liburku bertepatan juga dengan hari libur Zahra. Dia masih belum pulang, dari semalam tidur di rumah Mbak Ayu. Aku bisa sedikit santai hari ini. Tak ada rencana apa pun. Biasanya aku menghabiskan waktu libur untuk menemani Zahra bermain. Lebih seringnya bermain di rumah saja.

Suara ketukan pintu terdengar jelas. Rambutku yang masih tergerai, kini kuikat asal. Merapikan sebentar baju tidur yang kusut, lalu keluar kamar.

"Ya, sebentar." Aku berucap karena ketukan terus berulang tanpa henti.

Siapa yang bertamu sepagi ini?

Pintu akhirnya kubuka. Mata ini mengerjap beberapa kali demi memperjelas siapa yang ada di hadapan. Rasanya tak percaya bahwa seseorang ini datang ke rumah. Namun, aku yakin dengan kuasanya, pasti bisa dengan mudah menemukanku di mana saja.

Aku masih bergeming, menatap nanar sosoknya. Banyak perubahan yang ada pada dirinya sekarang. Tak seperti dulu saat terakhir bertemu.

"Dinar?"

Hening untuk beberapa saat. Kami masih terpaku pada pikiran masing-masing.

"Maafkan aku. Tolong maafkan kesalahanku."

Masih tak ada jawaban yang keluar dari mulutku. Kelebatan masa lalu muncul kembali. Potongan-potongan kejadian yang tak berurutan membuatku sedikit pusing.

Ini ... terlalu tiba-tiba untukku.

"Aku menyesal, Dinar. Tolong maafkan aku. Aku hanya menginginkan yang terbaik. Tapi ternyata aku salah. Aku mengambil keputusan yang tidak benar."

Wajah yang selalu kuingat jelas dari dulu itu kini menunduk, bahkan sekarang berlutut, membuatku menarik langkah mundur. Di mana kesombongannya dulu? Di mana keangkuhannya yang pernah memintaku untuk enyah dari hadapannya?

Maaf. Satu kata yang sederhana, tapi terkadang sulit untuk diucapkan. Dari yang memang merasa bersalah, atau hanya sekadar kata pembuka agar tak menyinggung seseorang yang akan diajak bicara.

Bagiku, kata maaf adalah kata ajaib. Sesuatu yang bisa meleburkan semua rasa keburukan yang pernah ada. Satu kata yang mampu menciptakan senyuman dan kelegaan hati.

"Sudah, Tuan. Jangan seperti ini." Aku mundur selangkah demi menghindari tangannya yang ingin menyentuh kakiku. Aku tak ingin seperti ini.

Aku meraih lengannya, lalu membantu beliau berdiri. Pria setengah baya yang kini terlihat lebih tua dari usianya itu, kini mendongak menatapku, lalu berdiri dengan susah payah. Sepertinya fisik beliau sudah lemah.

"Mari, silakan masuk." Aku berucap setelah membuka pintu lebar-lebar.

Bagaimanapun perlakuannya dulu terhadapku, beliau tetap orang tua yang harus dihormati. Sebenarnya, aku tak ada dendam padanya, hanya pernah merasakan sakit hati dan kecewa luar biasa. Meski banyak yang sudah aku relakan. Rela melepas Gavin, ikhlas dicaci maki, hingga satu hal yang membuatku kehilangan kedua orang tua.

Ayah Untuk AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang