Bab 6

4.9K 318 6
                                    


Mataku mengerjap beberapa kali demi melihat sekeliling. Zahra masih terlelap di sampingku. Sudah jam setengah enam ternyata, saat aku melihat di ponsel.

Tunggu! Seingatku, semalam ketiduran di sofa. Bagaimana aku bisa ada di kamar? Apa dia yang membawaku ke sini?

Cepat aku bangkit, kemudian keluar kamar, mencari keberadaannya. Tepat saat menutup pintu, aku mendengar suara mengaduh di dapur. Segera aku menghampirinya.

Benar saja, laki-laki yang masih memakai kemeja kusut dengan celana bahan dari kemarin itu ternyata di sana. Sedang apa dia? Terlihat dia mengibas-ngibaskan tangannya seperti kepanasan.

"Ehm ... Pak?" Aku mendekat.

Dia menoleh. Lalu, memberikan senyum padaku. "Maaf, aku lancang, Din. Aku udah masak buat sarapan kita." Gavin melanjutkan aktivitasnya tanpa menoleh lagi.

Sejenak aku terdiam, kita? Maksudnya aku dan dia? Kembali hatiku berdebar. Kenapa secepat ini? Ada apa denganku?

"Kok, diem aja? Bangunin Aya!"

"Ah, i-iya, Pak."

Entah apa yang membuatku menurut begitu saja. Hingga aku benar-benar membangunkan Zahra di kamar. Aku tak mengerti apa yang sudah direncanakan Gavin saat ini. Jika sebelumnya dia seperti penasran dengan Zahra, tapi sekarang malah seolah ingin mendekatkan diri dengan Zahra.

Apa aku harus jujur saja dengan Gavin tentang siapa Zahra sebenarnya? Akan timbul masalah lagi atau tidak?

Aarrghhh! Ada apa denganku? Semenjak bertemu dengan Gavin, kenapa pikiranku selalu tertuju padanya?

Aku kembali ke kamar. Lalu, duduk di ranjang, di samping Zahra meringkuk.

"Aya, bangun, Sayang. Udah pagi, nanti berangkat sekolah, kan?"

Zahra terlihat menggeliat, tapi masih memekakkan mata. Hanya merubah posisi, lalu memeluk guling lagi.

"Sayang, bangun, yuk. Keburu siang ini." Aku mencoba menggoyangkan badannya pelan.

Zahra akhirnya terbangun, mengerjap lucu dengan bulu mata lentiknya. Membuatku gemas segera meraupnya ke dalam pelukan. Menepuk punggungnya beberapa kali.

"Bunda, apa Om Gavin masih di sini?"

Satu pertanyaannya membuatku melepas pelukan. Baru saja bangun, kenapa dia langsung bertanya keberadaan Gavin? Apa ada ikatan batin di antara mereka? Ck, lagi-lagi dia. Kenapa harus ada Gavin saat ini?

"Bunda, kok diem aja?"

"Eh, apa, Sayang?"

"Om Gavin apa masih ada di sini?"

"Aya, om masih di sini." Suara Gavin terdengar sangat dekat. Saat aku menoleh ternyata dia sudah ada di depan pintu kamar yang terbuka.

"Om Gavin ...." Dengan tak sabar, Zahra turun dari ranjang, menghambur ke dalam pelukan Gavin di luar kamar.

Aku hanya melihat mereka dalam diam. Aku pikir mereka terlihat mirip jika sedang berdekatan seperti ini. Dari garis wajah, hingga mata mereka yang sipit. Dan ... satu lagi, lesung pipi mereka sama.

Tak ingin pikiranku berlarut dalam prasangka yang tak tahu akan kebenarannya, maka kuenyahkan saja. Apa sebaiknya aku mulai mencari keberadaan ayahnya Zahra saja? Bagaimanapun juga, Zahra harus tahu jika dia masih punya ayah yang selalu dia tanyakan setiap hari.

"Hmm ... Aya bau acem, mandi dulu, gih sama Bunda. Sekalian ajakin Bunda mandi, ya. Biar wangi."

Terdengar mereka saling tertawa kecil, membuatku ikut tersenyum. Bagaimana bisa Zahra dengan mudah akrab dengan orang lain? Satu pertanyaan itu terus berulang dalam benakku. Namun, aku enggan jika harus bertanya dengan Gavin perihal kedekatan mereka sebelum ini.

🌺

"Spagetinya enak, Om. Aya suka."

Di dapur yang sangat sempit ini, kami bertiga menikmati sarapan. Ehm ... lebih tepatnya Gavin dan Zahra. Gadis kecilku itu yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya, lebih memilih duduk di pangkuan Gavin daripada aku. Ya, memang di sini hanya ada dua kursi saja, karena keterbatasan tempat yang tak luas.

"Benarkah itu? Aya mau dimasakin om lagi?"

"Emang Om mau?"

"Kalau Aya mau makan banyak, om mau masakin apa aja buat Aya." Wajah Zahra berbinar. Sementara kecupan Gavin mendarat berulang-ulang di pucuk kepala Zahra.

"Aya mau makan banyak, kok, Om."

"Baiklah, lain kali kita main ke resto om, ya. Biar nanti Aya bisa milih makanan apa yang Aya suka di sana."

"Waah, beneran, Om? Asyiikkk ...." Aya terlihat sangat bahagia pagi ini. Senyum merekah berkali-kali didapati.

Nyaman sekali melihatnya. Lagi, hatiku berdesir, memperhatikan kedekatan di antara mereka. Cocok sekali mereka itu. Apa ini pertanda jika Gavin ...?

Cukup, Din! Kamu tak boleh berharap sesuatu yang berlebihan untuk saat ini! Dia hanya masa lalu yang mungkin sedang tersesat di masa sekarang.

Hati dan pikiranku seolah tak sinkron. Seperti saling beradu satu sama lain. Memperdebatkan tentang satu orang yang entah apa maksudnya dia kembali dalam kehidupanku.

"Bunda, kok nggak dimakan spagetinya? Enak banget, Bun. Aya suka." Ucapan Zahra membuyarkan lamunanku.

"I-iya, Sayang. Ini Bunda makan, kok." Aku baru mulai memakan spageti buatan Gavin. Pertama kali mencecapnya, terasa juga kilasan masa lalu ....

🍂🍂

"Enak nggak, Din?" Lelaki berkaus abu-abu dengan celana jeans selutut itu memperhatikanku yang sedang menyuapkan makanan ke mulut.

"Hu um," jawabku sambil mengangguk-angguk.

Siang ini, aku menikmati masakan Gavin untuk kesekian kalinya. Semenjak berpacaran dengannya, aku sering menjadi kelinci percobaannya. Ya, apa lagi kalau bukan untuk menyicipi setiap masakannya. Dia bercita-cita untuk menjadi chef yang mempunyai restoran sendiri. Dan aku mendukung itu, selama dia bahagia dan nyaman menjalaninya.

Di apartement ini, Gavin hanya tinggal sendiri. Dia sering membawaku ke sini. Kesepian katanya, salah satu alasan klise yang dengan mudahnya aku mengiyakan setiap ajakannya. Aneh memang. Mungkin aku sedang buta. Hanya ada satu asisten yang bertugas untuk membersihkan setiap dua hari sekali.

"Habiskan, ya. Aku mandi dulu." Gavin berdiri setelah mengacak rambutku hingga kusut.

Aku hanya mengangguk lagi. Karena mulut penuh dengan spageti paling enak yang pernah aku rasakan. Dia, benar-benar membuatku jatuh cinta dengan masakannya.

Setelah selesai makan, aku membereskan meja dan mencuci piring bekas makan tadi. Belum juga selesai, bell pintu berbunyi.

Siapa yang datang weekend seperti ini, ya?

Tak ingin tamu itu menunggu lama di luar, aku menuju pintu, setelah mengeringkan tangan dengan lap.

Tanpa melihat siapa yang datang, pintu kubuka lebar. Seseorang yang kukenal berdiri dengan tegap di hadapan. Pria setengah baya, dengan setelan jas dan celana berwarna abu-abu itu terdiam sesaat. Rambutnya mulai memutih di bagian sisi kanan dan kirinya itu menatapku tajam, membuatku tak bergerak sama sekali di sini. Tatapannya serupa paku yang dengan mudah menusuk jantungku.

"Kenapa kamu di sini?!"

Suara itu tegas dan keras hingga membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku merasa bahwa seolah waktu berhenti saat ini. Bagaimana bisa kedatangannya bertepatan dengan adanya aku di sini?

Tuhan, kuatkan aku ... kuatkan aku. Aku tak punya nyali, sungguh .... aku tak punya.

.

Next

Ayah Untuk AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang