Bab 4

5K 356 14
                                    

Sarapan sederhana telah tersaji. Tak banyak yang kuhidangkan. Hanya nasi goreng kecap dan telur dadar kesukaan Zahra.

Pagi ini aku tak terlalu bersemangat, mungkin karena semalam aku tak bisa tidur. Atau mungkin karena hari ini aku harus bertemu lagi dengan Gavin?

"Bunda ...." Suara kecil Zahra mebuyarkan lamunanku.

"Ah, iya, Sayang."

"Aya udah selesai." Kulihat piring Zahra sudah kosong.

Zahra dari bangun tadi pagi, dia tampak ceria hari ini. Biasanya dia bersikap biasa saja, tak berlebihan. Mungkin ada yang membuat perasaannya senang.

"Aya kok seneng banget, sih. Ada apa, nih?" Aku mengambil piring bekas makannya dan menumpuknya dengan piring kosong yang ada di hadapan.

"Nanti bakal ketemu sama Om lagi. Ups! Yaah ...."

Dahiku mengernyit, saat menatapnya. Siapa yang dia maksud?

"Om siapa?"

"Eh, bukan siapa-siapa, Bunda." Zahra menggeleng beberapa kali.

"Hayo, ngaku!" ucapku, pura-pura marah, menggodanya.

Aku tak pernah mengajari Zahra berbohong. Namun, sepertinya dia menyembunyikan sesuatu dariku.

"Om itu, Bunda."

"Om siapa, sih? Suaminya Tante Ayu?"

"Bukan, Bunda. Aya lupa, nggak tanya namanya."

"Bukan orang jahat, kan? Jangan sembarangan ngobrol sama orang asing ya, Sayang," ucapku sambil mengusap rambutnya yang dikuncir dua.

"Siap, Bunda. Omnya baik, kok. Nggak jahat."

Aku bergegas membereskan meja makan, meski masih penasaran dengan seseorang yang Zahra ceritakan barusan. Mungkin nanti jika aku pulang akan kutanya lagi siapa om yang dia maksud.

Sudah hampir jam delapan saat kulihat benda bulat yang menempel di dinding itu. Lalu, aku bersiap mengantar Zahra ke sekolah. Sekalian juga berangkat ke resto.

.

Pagi ini, resto masih terlihat sepi. Ya, memang belum waktunya buka. Masih sekitar satu jam lagi.

"Buongiorno, Tesoro." (Selamat pagi, Sayang.)

Seperti biasa, Mas Bisma selalu menyapaku dengan senyumannya itu. Aku hanya menganggapnya sebagai candaan yang memang dia tunjukkan setiap hari. Karena aku tahu, ada seseorang yang sudah mengisi hatinya. Mas Bisma pernah bercerita jika sudah mempunyai orang yang sangat dia cintai. Namun, dia tak pernah menjelaskan siapa wanita itu. Pasti sangat beruntung jika dicintai Mas Bisma.

Semoga Mas Bisma bisa segera meresmikan hubungannya dengan wanita yang dia cintai itu. Aku akan senang jika melihatnya. Dua orang saling mencintai bisa bersatu dalam mahligai rumah tangga. Sungguh sebuah kebahagiaan yang luar biasa bukan?

Bukan seperti diriku, yang sampai saat ini masih tersesat dalam mencari nahkoda untuk berlayar menjalani bahtera rumah tangga. Bukannya miris, hanya mungkin aku belum menemukan yang benar-benar tulus menerimaku saja. Mungkin aku harus lebih banyak bersabar perihal masalah ini. Aku tak ingin terburu-buru mengambil keputusan yang akan membuatku menyesal nanti.

"Pagi juga, Mas."

"Hai fatto colazione?" (Sudah sarapan?)

"Sì certo." (Sudah pastinya)

Wajahnya tampak murung. Seperti kecewa. "Mangiare cosa?" (Makan apa?)

"Riso Fritto." (Nasi goreng.)

"Kok, aku nggak dimasakin juga?" Kali ini wajahnya dibuat semelas mungkin. Membuatku tersenyum sesaat.

"Mas, mau nasi goreng kecap kesukaannya Zahra?" tanyaku pelan, sedikit berbisik di telinganya.

"Iihh ... nggak jadilah," jawabnya, membuatku terkikik geli.

Aku tahu Mas Bisma tak suka dengan kecap. Sedikit pun dia tak bisa memakannya. Entah karena apa, aneh memang.

"Aku ke belakang dulu, Mas."

Mas Bisma tak menjawab. Hanya mengangguk sambil menyunggingkan senyumnya lagi. Setelah menaruh tas dalam loker. Aku segera memakai rompi warna hitam, seragam pelayan di sini. Mengikat rambut agar lebih rapi. Meski masih ada beberapa helaian yang tak bisa ikut terikat, tapi menurutku itu tak apa.

Pukul sembilan lebih tiga puluh menit. Resto dibuka.

Sambil merapikan meja dan kursi, aku memperhatikan jalanan di luar jendela. Dari sini bisa kulihat lalu-lalang kendaraan tak pernah sepi, bahkan bisa dibilang ramai setiap waktu. Letak resto ini sangat strategis, dekat dengan pusat perbelanjaan, rumah sakit, sekolahan juga perkantoran. Makanya di sini tak pernah sepi pembeli. Apalagi jika sudah masuk waktu makan siang, resto akan ramai pengunjung.

Suasana resto ini sangat romantis menurutku. Jadi, sampai malam pun masih ramai. Sempat beberapa pengunjung yang meminta bantuan pelayan membuatkan sesuatu yang spesial untuk hari kebahagiaannya. Ya, sering sekali resto ini menjadi tempat untuk melamar kekasihnya. Beberapa pelayan sempat terharu melihatnya, begitupun aku. Bahkan ada yang sampai menangis melihatnya.

Alunan musik terdengar di penjuru ruangan. Aku suka lagu ini. Suka sekali.

Chiudo gli occhi e penso a lei
Il profumo dolce della pelle sua
È una voce dentro che mi sta portando dove nasce il sole
Sole sono le parole
Ma se vanno scritte tutto può cambiare
Senza più timore te lo voglio urlare questo grande amore

Lagu Il Volo-Grande Amore, menurutku lagu romantis. Aku terhanyut, sampai memejamkan mata. Mendengarkan bait demi bait lagu itu.

Lalu ....

Ciit ... brak!

Terdengar decitan rem dan suatu benda yang menabrak dengan sangat keras. Hingga aku yang di dalam ruangan pun ikut kaget.

Beberapa pegawai keluar resto, tak terkecuali aku dan Mas Bisma. Sesaat kami saling pandang.

Siapa yang mengalami kecelakaan?

Setelah menembus kerumunan, baru aku bisa melihat. Sebuah mobil yang kapnya terbuka dan mengeluarkan asap. Jendela kaca pecah, meski sang pengemudi sudah berada di luar. Namun, terlihat diam. Dia hanya duduk tak bergerak, tapi meremas dadanya, seperti sesak napas.

Satu hal yang pasti, aku teringat sesuatu yang pernah dia alami sebelumnya.

"Kak Gavin!"

Aku berlari mendekat. Berjongkok menyejajarkan tubuhku dengannya.

"Mana? Mana obatnya?!" Aku berteriak sambil merogoh saku jasnya. Sementara dia masih diam, tatapannya kosong.

Tak kutemukan. Di mana obat itu? Di mana dia menaruhnya? Tuhan ....

Cepat, aku mendekati mobil meski beberapa orang menghalangi, mungkin takut jika akan meledak atau hal buruk terjadi padaku.

Tas, di tas itu. Kuambil cepat, lalu berlari lagi menghampiri Gavin. Kubuka, kutumpahkan semua isi tas.

Dapat.

Dua pil kuambil dari dalam botol khusus dan memberikan padanya. Lalu, dia menelannya dengan cepat. Napasnya masih terengah, meski sudah terlihat sedikit tenang daripada tadi.

"Sudah, nggak ada apa-apa sekarang," ucapku sambil menepuk-nepuk bahunya beberapa kali, memberikan senyum setulus mungkin, agar dia bisa menguatkan.

Kak Gavin menatapku. Mungkin, dia sudah tersadar. Lalu, memelukku erat dalam keadaan masih duduk di pinggir jalan. Perlahan aku mengusap punggungnya yang lebar.

Aku tahu dia trauma. Bayangan kelam yang pernah dia lalui, mungkin sekarang dialaminya lagi. Keadaan seperti ini membuatnya sesak napas dan kepanikan yang luar biasa. Kecelakaan yang menewaskan orang yang paling dia cintai. Sang ibu.

"Jangan tinggalin aku. Jangan ...."

Hatiku bergetar mendengar ucapannya itu. Rasa bersalah, kini semakin membayangiku. Bayangan masa lalu pun kembali berputar dalam pikiran.

.

Next

Ayah Untuk AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang