Aku pikir trauma yang dia miliki sudah hilang, ternyata belum. Melihatnya seperti itu lagi, hatiku ikut sakit.Setelah tadi minum obat yang kuberi, sekarang Gavin sudah bisa istirahat. Di ruang kerjanya ada sebuah kamar khusus. Tak terlalu besar, hanya ada satu ranjang dan meja kecil di sampingnya.
Sejak tadi tangan Gavin tak mau melepas genggamannya. Bahkan, sampai dia terlelap pun tangan kami masih bertautan.
"Kalau nanti Pak Gavin sudah bangun, segera panggil aku, ya, Din." Pak Zildan yang sedari tadi menemaniku di ruangan ini pun akhirnya keluar.
"Iya, Pak."
Lalu, di sini hanya ada aku dan dia. Hatiku berdesir, saat memperhatikan wajahnya dari dekat. Dia terlihat semakin dewasa, meski tak bisa lepas dari traumanya. Takut akan kecelakaan.
Matanya terpejam sempurna. Hidung, alis, dan rambutnya yang hitam itu .... Ah, kenapa ini? Aku menggeleng cepat, lalu memejamkan mata.
"Jangan tinggalin aku ...." Dia bergumam. Genggamannya semakin erat membuatku meringis.
Matanya mulai terbuka.
"Pak Gavin mau minum?" Aku ingin berdiri dari ranjang. Namun, terasa genggamannya menahanku untuk tak beranjak.
"Aku ingin kamu, Din." Suaranya parau. Tatapan matanya seolah membiusku agar diam di tempat.
"Pak, saya lanjut kerja, dulu." Aku berusaha untuk mengalihkan tatapannya itu. Namun, dia masih diam dengan genggamannya yang tak ingin lepas.
"Aku butuh kamu."
"Ta-tapi, Pak ...." Ucapanku terhenti saat tiba-tiba dia bangun dan memelukku lagi, meski aku tak membalas pelukannya.
"Aku kangen, Din. Aku ingin kita seperti dulu."
"Tapi, Kak. Aku ...." Aku tak bisa meneruskan kata-kata lagi. Lidahku kelu.
"Apa kamu sudah menikah?" Dia melepas pelukan. Menatapku dengan intens, seperti mencari kejujuran dari sorot mataku.
Aku tak tahan. Aku takut terjebak dalam rasa yang seharusnya sudah berakhir lama. Cepat aku berdiri lalu berjalan menuju pintu keluar.
Kututup pintu ruangannya. Tangan berada di dada, terasa debar seperti dulu. Kenapa harus ada lagi?
Setelah melayani pengunjung, aku kembali ke dapur untuk mengambil pesanan selanjutnya. Terdengar bisik beberapa pegawai. Mungkin ini karena tindakanku yang spontan tadi.
Aku tak memedulikannya. Hanya fokus dengan kerja. Biarlah mereka menatapku dengan aneh.
Sampai jam pulang tiba. Aku mengambil tas di loker pegawai. Saat itu pula Mas Bisma menghampiriku.
"Din? Emmm ...." Mas Bisma terlihat kikuk. Biasanya dia santai saja berbicara denganku. Aku bisa menebak apa yang akan dia tanyakan saat ini.
"Ya, Mas? Mau tahu tentang kejadian tadi?"
Mas Bisma mengangguk, sambil menyunggingkan senyum yang terlihat dipaksakan.
"Teman lama, Mas."
"Hanya teman?"
"Hu um, emang kenapa? Aneh?"
"Iya. Sampai tahu kebiasaan Pak Gavin, juga tentang apa yang dideritanya."
"Udah cerita lama, Mas. Sekarang aku fokus sama kerjaan aja."
Mas Bisma terdiam sesaat. Seperti memikirkan sesuatu.
"Udah ah, Mas. Itu masa lalu. Aku hidup untuk masa depan," ucapku sambil mengunci loker. Berbalik, melangkah meninggalkan Mas Bisma yang masih mematung di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah Untuk Anakku
General FictionMemperjuangkan kehidupan malaikat kecil di sisiku adalah yang selama ini aku lakukan. Enam tahun terakhir ini aku tak mempedulikan perkataan orang di sekitar. "Perempuan nggak tahu malu." "Perempuan kotor!" "Dasar pezina!" "Pasti anak itu hasil hub...