Bab 12

4.9K 328 25
                                    


"Makasih. Aku kuat, kok, kan ada Mas Bisma yang nemenin aku."

Ya, tentu saja, Mas Bisma datang dengan membawa buah kesukaanku yang diletakkan di meja dekat ranjang saat duduk. Tanpa meminta pun, Mas Bisma sudah memberikan perhatiannya padaku.

"Aku tahu itu, Din. Tapi, kenapa tadi Pak Gavin yang membawamu ke sini?"

"Oh, itu. Kebetulan dia pas di rumah."

Hening sesaat.

"Din, apa Pak Gavin adalah orang itu?"

Aku tersenyum tipis, lalu mengangguk tanpa menjawab pertanyaannya. Tak kusangka, Mas Bisma malah ikut tersenyum juga. Kukira dia akan kaget dengan apa yang kusampaikan barusan.

"Aku sudah menduganya, Din. Dari awal Pak Gavin ke resto, juga kejadian saat kecelakaan yang hampir menimpanya beberapa waktu lalu. Kalian terlihat berbeda."

Malah aku yang dibuat kaget olehnya. Betapa tidak, Mas Bisma ternyata memperhatikanku sedetil itu. Mas Bisma selalu bisa membuatku lebih tenang dan nyaman. Mungkin karena interaksi yang sering. Atau mungkin karena aku tak pernah mendapat perhatian dari saudara.

"Kamu masih ada perasaan dengan Pak Gavin, kan?"

Seketika kupalingkan wajah dari tatapan serius Mas Bisma. Kenapa pertanyaan seperti itu yang dia lontarkan padaku? Apa aku terlalu berlebihan menanggapi setiap apa yang dilakukan Gavin?

"Ah, nggak perlu kamu jawab, Din. Sepertinya aku sudah tahu."

Kurasakan usapan lembut di kepala, membuatku menoleh lagi ke arah Mas Bisma yang sudah berdiri sambil tersenyum lagi.

"Kamu butuh istirahat yang banyak, Din. Oh, iya, hampir aja aku lupa. Maaf, tadi aku lancang angkat telepon dari ponselmu. Ada telepon dari Mbak Ayu, nyari kamu. Tapi aku udah bilang kalau kamu lagi ada di sini. Dia khawatir banget sama kamu, tapi harus jagain Zahra di rumah, jadi Mbak Ayu belum bisa ke sini buat jenguk."

Ah, aku hampir saja terlupa. Aku sudah berapa lama di sini? Sudah jam berapa ini? Kulihat jam di dinding, menunjukkan pukul 13.45 pantas saja Mbak Ayu mencariku.

Belum sempat aku menanggapi ucapan Mas Bisma. Ada yang membuatku terkejut lagi.

"Ini ponselnya." Suara bariton itu lagi-lagi kudengar mendekat. Sambil membawa ponselku yang berada dalam genggamannya.

Aku dan Mas Bisma melihat dia berjalan semakin dekat. Tak ada senyum yang dia perlihatkan saat ini. Datar dan dingin.

"Emm, kalau gitu, aku balik kerja dulu, ya, Din." Sekali lagi, Mas Bisma mengusap rambutku, detik kemudian berlalu meninggalkanku dengan Gavin di sini.

Sejenak hening. Hanya detak jarum jam yang terdengar sekarang. Gavin terlihat diam, tapi tetap menatapku dengan dingin. Berbeda sekali dengan tadi pagi.

"Kamu ada hubungan apa sama Bisma?" Gavin bertanya seraya menyerahkan ponselku.

"Hanya teman, Pak," jawabku sambil menerima ponsel darinya.

"Yakin?"

Aku mengangguk. "Kenapa?"

"Hanya terlihat berbeda."

"Apa?" Dahiku mengernyit. Tak paham dengan arah ucapannya saat ini.

"Bisma suka sama kamu," ucapnya tegas. "Apa kamu nggak sadar itu?"

Mas Bisma? Suka sama aku? Mana mungkin. Bukankah dia selalu bilang jika sudah mempunyai pujaan hati? Mas Bisma selalu cerita padaku tentang hal itu.

"Nggak, Pak. Mas Bisma sudah punya seseorang yang spesial."

"Kamu tahu itu siapa?"

Aku menggeleng.

"Itu kamu."

Tak mungkin hal itu terjadi. Aku percaya bahwa Mas Bisma menganggapku seperti adiknya sendiri.

"Tapi, Pak. Mas Bisma sudah saya anggap seperti kakak sendiri. Nggak lebih."

Lalu, suasana kembali hening. Untuk beberapa saat aku dan Gavin terdiam. Saat berdua seperti ini, yang terbayang hanya masa lalu. Nostalgia indah dan ... menyesakkan.

Apa yang lebih menyakitkan daripada dua orang saling mencintai, tapi tak bisa bersatu karena restu?

Ah, sudahlah. Kupejamkan mata sebentar, lalu membukanya pelan. Lelaki yang dulu sempat menjadi orang yang kucinta itu terlihat memikirkan sesuatu. Dia hanya duduk terdiam, menatapku yang kubalas dengan tatapan tak mengerti. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Sorot matanya itu, menyiratkan sesuatu, entah apa.

🍃

Perlahan jarum jam berputar, kini sudah menunjukkan pukul 20.30. Tadi aku sudah menghubungi Mbak Ayu, menitipkan Zahra untuk semalam di rumahnya. Dengan senang hati, Mbak Ayu menyetujui.

Berkali-kali kutahan untuk tidak menguap. Tapi tak bisa. Aku mulai mengantuk, mungkin ini efek obat yang kuminum tadi. Ya, obat harus kutelan paksa, meski aku tak suka.

Lalu, tentang Gavin, dia masih di sini menungguku. Masih tak beranjak dari kursi samping ranjang. Sempat membantuku untuk makan dan minum obat. Meski wajahnya terlihat datar, tapi bisa kurasakan dia peduli padaku.

"Kalau ngantuk tidur aja. Aku yang jaga kamu malam ini."

"Apa nggak sebaiknya Pak Gavin pulang saja. Nanti ada perawat, kok yang bisa bantu kalau ada apa-apa." Aku berusaha menolak dengan halus, sebisa mungkin tak menyinggung perasaannya.

"Tidak! Em ... maksudku, nggak apa-apa. Aku yang bertanggungjawab atas kamu sekarang. Jadi nggak usah protes lagi."

Aku tak bisa menolak jika dia seperti itu. Akan sangat susah bila harus berdebat dengannya. Lagi pula aku sedang malas untuk berbicara banyak.

"Satu lagi, kenapa kamu masih panggil aku dengan sebutan Pak?"

"Bapak atasanku."

"Itu kalau di resto saja. Aku ingin kamu panggil aku Kak, seperti dulu." Gavin berucap lirih, tapi aku masih bisa mendengarnya. "Kalau di luar aja."

Bahkan dia ingin agar aku memanggilnya dengan sebutan Kak lagi? Apa maksudnya?

Tak kujawab lagi ucapannya itu. Rasa kantuk ini semakin menyerang, hingga aku sesekali memejamkan mata saat ingin tetap melihatnya.

🍃

Entah, sudah jam berapa ini, kurasakan lengan melingkar di perut rataku. Sedikit berat. Aku mengerjap beberapa kali, agar dapat melihat dengan jelas. Akhirnya bisa kubuka mata dengan sempurna.

Aku tak bisa bergerak saat ini, ranjang rumah sakit yang biasanya hanya cukup untuk satu pasien kini terisi dua orang. Kuhela napas pelan, dia tertidur dengan lelapnya. Mendekap erat tubuhku yang terbaring, seperti tak ingin kehilangan.

Perlahan kuusap rambut hitam tebalnya dengan tangan kanan. Lembut, masih sama seperti dulu. Gavin sama sekali tak bergerak sedikit pun, mungkin dia merasa nyaman saat ini.

Gavin, apa kamu masih ingat? Dulu diam-diam aku sering melakukan ini saat kamu tidur di meja, demi mengerjakan tugas kampus. Bahkan, aku melakukan hal yang sama denganmu saat itu. Menyandarkan kepala di meja dengan menatap wajahmu dari dekat. Sudah membuatku tersenyum kala itu.

Aku mengakui bahwa rasa yang dulu sebenarnya masih tersisa. Tapi untuk memupuknya kembali, aku rasa itu mustahil. Itu tak mungkin kulakukan.

Aku pernah merasakan sangat bahagia bersamamu, merasa berarti dalam hidupmu. Namun, aku juga pernah merasakan kesakitan yang teramat dalam karenamu ... karena keadaan kita.

Gavin.

.

Next

Ayah Untuk AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang