Bab 11

5.1K 348 21
                                    


Menit demi menit terasa sangat lama sekali. Aku dan dia hanya duduk terdiam. Entah, rasa apa ini, tiba-tiba hati menjadi tak keruan. Sejenak aku menutup mata, demi meredam apa yang terasa di hati.

Aku mengembuskan napas pelan. Di meja ada bubur yang berkurang sedikit tadi, kini hanya teronggok tak disentuh lagi. Tak bisa lagi mulut ini dipaksa untuk menelannya. Pahit.

Tuhan, percepat saja pergantian waktu ini, agar aku tak terjebak dalam kediaman bersamanya. Ingin berucap, tapi mulutku terasa terkunci rapat.

Aku hanya sesekali meliriknya yang dari tadi menatapku tak berpaling. Aku bisa merasakan tatapan itu. Namun, aku tak mampu memintanya berpaling.

"Din, maafkan aku," ucapnya sambil menggenggam jemariku. "Aku nggak bermaksud lancang sama kamu. Aku ... aku hanya mendengar hal negatif tanpa mencari tahu yang sebenarnya terjadi padamu."

Sungguh, aku tak bisa mengucap satu patah kata pun saat ini. Ada rasa bersalah menyusup dalam hati, tapi ada rasa tak ingin jika sesuatu yang buruk terjadi lagi. Gavin, dia masa laluku. Dia yang pernah membuatku merasa melayang karena kasih sayangnya yang berlebihan. Namun, Gavin juga pernah menorehkan sebuah rasa yang begitu menyesakkan.

"Tanganmu panas, Din." Tatapan Gavin lembut ke arahku. Sorot matanya sendu. Namun, malah membuat debar tak menentu di hatiku saat berdekatan lagi dengannya.

Aku masih diam. Beberapa kali dia mengusap punggung tanganku. Sedikit gemetar saat mengusapnya.

"Ke rumah sakit sekarang. Aku antar ya, Din."

"Nggak usah, Pak," ucapku pelan. "Bapak pulang saja."

"Kamu ngusir aku?"

"Pak ...."

"Aku nggak mau pulang sebelum kamu jawab pertanyaanku, Din," ucapnya seperti memohon dengan tulus, tapi setengah memaksa.

Terkadang aku menganggap dia masih sama seperti dulu. Tentang keras kepalanya, tentang pendiriannya, dan tentang sikapnya terhadapku.

"Apa?"

"Aku masih sayang kamu, Dinar. Selama ini aku nyari kamu. Apa kamu masih punya perasaan yang sama denganku? Setelah kita berpisah lama?"

Tuhan ... aku harus bagaimana ini? Bisakah aku mengendalikan perasaan ini sendiri? Atau terus berlarut dalam perseteruan hati? Aku ingin lepas dari jerat masa lalu. Namun, juga tak ingin membuatnya merasakan kesakitan lagi.

"Dinar, bisakah kita memulainya dari awal?"

Mataku membeliak menatapnya. Apa yang dia ucapkan? Ini terlalu tiba-tiba untukku. Padahal saat ini aku ingin menata hati untuk tidak berhubungan dengan laki-laki dulu. Entah siapa pun itu.

"Ma-maksud Bapak apa?"

"Din, aku masih sayang kamu. Perasaanku masih sama seperti dulu."

"Ta-tapi ...." Ucapanku terhenti ketika satu jarinya menunjukkan isyarat agar aku diam.

"Aku nggak peduli siapa Zahra atau masa lalu kamu bagaimana setelah perpisahan kita dulu. Yang aku mau cuma kamu, Din." Tatapannya mengiba. "Aku cuma ingin kamu bersamaku lagi."

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan lewat mulut. Mempersiapkan apa yang akan kuucapkan padanya.

"Pak, dari dulu sudah kukatakan, kita ini berbeda. Strata sosial kita sangat jauh berbeda. Aku cuma nggak ingin mengulang kesalahan yang sama. Apalagi sekarang ada Zahra." Aku menunduk dalam. Aku tak ingin melihat lagi wajahnya yang kecewa itu.

Hening beberapa saat. Aku tahu, Gavin sedang memikirkan sesuatu. Mungkin, dia akan melakukan sesuatu hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Genggaman tangannya menguat. "Aku akan berusaha agar kita tetap bersama, Din. Aku yakin kita bisa."

"Tapi, Pak ...," ucapku terhenti saat kurasakan lembut kecupan di punggung tangan. Detak jantung kini tak bisa kukendalikan. Namun, aku tak bisa berbuat banyak, tubuh terasa lemas saat ini.

"Aku nggak akan berhenti memintamu, Din. Kamu tahu? Selama ini aku nggak pernah benar-benar dekat dengan wanita lain."

Apa? Tak pernah dekat? Lalu, bagaimana dengan wanita kemarin itu? Apa yang mereka lakukan sebelum keluar kamar dengan baju yang sedikit terbuka itu?

Aku masih mencoba untuk mencerna kata-katanya. Rasanya kepalaku mau pecah sekarang, sakit sekali. Rasanya sudah tak kuat lagi.

"Pak, bisakah tinggalin aku sendiri sekarang? Aku mau istirahat," pintaku dengan sedikit mendesak, karena kepala benar-benar terasa sakit.

Ingin kutegakkan badan saat ini, tapi terasa berat. Dengan susah payah, akhirnya aku bisa berdiri. Aku terhuyung saat dua langkah menjauhinya.

"Din, mau ke mana? Din ...."

Tubuhku terasa tak bertulang, lemas sekali. Pandanganku pun mengabur, samar masih kudengar dia menyebut namaku beberapa kali, sampai akhirnya pandanganku menggelap.

🍃

Entah sudah berapa lama aku tertidur. Perlahan kubuka mata. Mengerjap beberapa kali, demi bisa melihat dengan jelas. Bau yang tak kusuka seketika menyeruak hidung. Ya, aku tak suka bau obat, apalagi mengonsumsinya.

Ruangan dengan tembok bercat biru muda ini mengingatkanku tentang kejadian buruk beberapa tahun lalu. Selama itu, aku sebenarnya tak pernah ingin memasuki ruangan yang seperti ini lagi. Rasa sakit itu masih kurasakan. Rasa sakit itu masih bisa kuingat.

Kepala masih terasa sakit, sampai aku harus memegangnya. Ada sedikit nyeri di tangan saat kulihat selang infus menancap. Aku masih berbaring dengan rasa yang tak keruan. Tak ada siapa pun di sini sekarang.

"Kamu sudah sadar, Din?"

Suara orang yang kukenal mengagetkanku. Dari arah pintu, terlihat seseorang yang mengenakan kemeja warna putih itu mendekat dengan membawa satu bungkusan di tangan kanannya.

"Kamu sakit apa sebenernya? Sampai seperti ini?" Dia mengusap pelan kepalaku.

Sementara, aku hanya tersenyum tipis menanggapinya.

Lalu, dia duduk di kursi dekat ranjang tempatku berbaring. Menggenggam jemariku lembut sambil menyunggingkan senyum seperti biasa.

"Apa yang kamu rasain saat ini, Din?" tanyanya. Tatapannya begitu lembut mengkhawatirkanku.

"Nggak apa-apa, kok. Cuma pusing aja."

"Kamu memikirkan sesuatu?"

Aku menggeleng. "Nggak, kok. Mungkin kecapekkan aja." Namun, aku tahu dia tak sepenuhnya percaya begitu saja dengan ucapanku.

"Yakin?"

"Iya, aku yakin."

Sejenak dia diam melihatku dengan tatapan sendu. Wajahnya tampak lelah, tak seperti yang biasa kulihat.

Tenggorokanku terasa kering sekali saat ini. Aku menoleh ke arah meja kecil samping ranjang, ada segelas air di sana.

Seolah dia mengerti, lalu bertanya. "Kamu mau minum, Din?"

Tak ada kata dariku, tapi mataku berkedip memberi jawaban 'iya'.

Cepat dia meraih gelas itu dan membantuku untuk minum. Beberapa teguk saja yang berhasil melewati tenggorokanku. Pahit rasanya teh hangat itu.

"Pahit, ya?"

"Iya."

"Kamu banyakin minum, ya. Biar cepat sembuh." Kembali dia mengusap kepalaku pelan, lalu membaringkanku lagi di ranjang.

Dia kembali menatapku, kali ini dengan jarak yang lumayan dekat. "Aku tahu apa yang udah kamu lalui selama ini. Kamu itu kuat, Din. Sakit seperti ini nggak akan membuatmu lemah, kan?"

Aku sudah melewati fase terberat dalam hidup, mempertahankan Zahra agar tetap di sampingku itu tidak mudah. Berbagai masalah datang silih berganti, sampai akhirnya memutuskan untuk tak peduli lagi dengan caci-maki semua orang. Karena aku tahu kebaikan akan dibalas dengan kebaikan suatu saat nanti.

Dan aku percaya itu.

.

Next

Ayah Untuk AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang