Dear Name

70 9 0
                                    

Dear Name

Karya Dandeliona

******

Malam yang panjang, gelap, dan sunyi. Seusai pemakaman itu aku masih setia duduk di sini. Entah apa yang ku tunggu. Aku hanya meratapi segalanya. Tak lama aku mendengar seseorang berbicara dari luar.
"Nona belum keluar dari tadi. Aku jadi khawatir."
"Kematian ayahnya pasti membuatnya syok," ucap yang lainnya.
Aku paham mereka sangat mengkhawatirkan aku. Tapi, pahamkah mereka kalau aku ingin sendiri dulu. Di kamar ini, kamar yang menjadi saksi bisu bagaimana ayah melewati penyakitnya seorang diri. Kami semua sangat sedih ketika mengetahui bahwa ayah mengidap kangker getah bening. Tapi, aku lebih tahu, ayah pasti lebih sedih, dan menderita mengetahui hal itu. Aku tidak pernah menunjukkan rasa sedihku pada ayah. Aku memang di kenal sebagai gadis yang ceria. Sampai kematiannya ayah tidak tahu bahwa aku telah mengetahui penyakit yang telah merenggut hidupnya itu.
Karena, aku selalu bersikap seolah-olah aku bahagia saat melihat ayah. Padahal hatiku sangat hancur saat mengetahui jika ayah harus berjuang mati-matian untuk kesembuhan dirinya. Tapi, tidak sedikitpun aku menunjukkannya pada ayah. Tidak seperti kerabat ayah yang lainnya. Terutama ibu, hampir setiap hari ia menangis jika melihat ayah terbaring lemah tak berdaya. Saat ibu seperti itu aku hanya menghiburnya dengan mengucapkan, "Sudalah bu jangan menangis terus. Ayah pasi sembuh."
Ayah hanya tersenyum saat aku mengatakan hal itu pada Ibu.
Aku membuka mataku setelah mengingat masa-masa itu. Aku jadi merasa bersalah. Akhirnya, aku mengalah untuk keluar dari kamar almarhum ayah.
"Nona..." Mereka semua memanggilku saat aku keluar dari kamar ayah.
Aku tidak memperdulikan mereka, dan berlalu saja dengan wajah dingin ini. Tidak perduli seberapa khawatirnya mereka padaku.
"Sekar," panggil Ibu.
Aku menghentikan langkahku. Tanpa menoleh aku berkata, "Aku baik-baik saja bu, ibu lebih baik beristirahat. Ibu pasti lelah setelah melalui semuanya."
"Sekar..."
Aku mendengar suara Ibu yang memanggilku sekali lagi dengan suara paraunya itu. Aku tahu ibu pasti sangat kehilangan. Akupun juga. Aku mencoba untuk mengacuhkan ibu. Walaupun itu sangat berat. Aku ingin ibu tegar untuk melalui semuanya.
Aku mencoba untuk menutup mataku sebenarnya aku tidak ingin tidur. Tapi, mata, dan tubuhku butuh istirahat. Karena semalaman bergadang untuk mengurus ayah yang tadi pagi telah di makamkan.
Aku berada di taman bermain, dan aku melihat anak kecil yang menagis seorang diri. Ketika aku mendekatinya, dan mengulurkan tanganku. Tapi, anak kecil itu malah lari. Aku terbangun dari tidurku. Ternyata itu cuman mimpi. Suara petir membangunkanku. Nampaknya hujan deras di luar sana. Aku melihat jam menunjukan pukul 03.00 biasanya ayah akan membangunkanku pada jam segini untuk shalat tahajud. Aku menyadari tidak ada lagi sosok seperti itu yang akan membangunkanku di setiap sepertiga malam ini. Aku menenggelamkan wajahku diatara dua kaki yang sedikit ku tekuk. Dalam diam aku menangis. Air mata yang tidak ingin aku tunjukkan pada ayah, pada akhirnya harus tumpah di saat aku mengenangnya. Malam ini masih panjang. Tapi, aku tak bisa tidur lagi. Tak lama kemudian seseorang membuka pintu kamarku.
"Sekar... Tahajud dulu sayang."
"Iya, bu ini sekara baru bangun," ucapku tanpa bergerak dari posisiku tadi.
Ibu mengelus kepalaku. Air mataku kian menetes lebih deras. Bahkan hampir terisak. Aku menahannya agar ibu tidak mendengarnya.
"Sekar nangis? Kangen sama Ayah ya?" Ucap ibu
Aku tidak menggubrisnya, aku langsung bergegas mengambil air Wudhu,dan shalat.
Seusai shalat. Aku lihat ibu masih memanjatkan doa. Mungkin untuk ayah. Mata ibu yang mengadah keatas menyiratkan harapan yang kian sirna. Di balik manik mata yang sendu itu. Ayah mungkin juga sedih karena meninggalkan kita semua di sini. Namun, apa mau di kata. Tuhan lebih menginginkan ayah kembali kepangkuannya. Ibu telah usai berdoa, kemudian ia menoleh kearahku, dan dengan sigap menghapus air matanya. Aku berlalri memeluknya.
"Ibu tidak sendiri, ada aku. Mari melewati ini bersama bu," ucapku setegar mungkin.
Ibu hanya membalas memelukku, dan kami menangis bersama.
Tak terasa sudah seminggu kepergian ayah. Aku melihat perubahan pada diri ibu. Ibu sudah mulai bersikap biasa saja. Bahkan sudah bisa tersenyum. Namun, aku juga agak sedih. Sedih karena aku takut ibu akan melupakan ayah.
Sebulan telah berlalu, aku telah menyelesaikan kuliahku dengan baik, dan akan di wisuda bulan depan. Sudah lama juga aku tidak menggujungi makam ayah karena sibuk merevisi skripsi.
Pada saat di pemakaman aku terkejut karena makam ayah seperti tidak terurus. Aku membersihkannya sejenak. Batu nisannyapun hampir di tutupi oleh semak belukar. Pada saat aku melihat nama ayah. Aku menyadari ia perlahan telah di lupakan. Entah kapan terakhir kali ada yang mengunjungi makamnya. Aku bercerita sejenak. Tentang ujianku tadi, dan tentang aku akan di wisuda bulan depan. Tapi entah mengapa tiba-tiba saja aku teringat. Waktu ayah masih hidup. Detik-detik setelah ayah mengetahui penyakitnya. Raut wajahnya menunjukkan jika, harapannya sirna. Entah apa yang ia pikirkan. Mungkin memikirkan aku atau Ibu.
"Ayah... Aku di sini sudah berhasil menyelesaikan kuliahku. Sejak kau pergi semuanya terasa sirna, dan orang-orang sudah mulai melupakanmu juga. Tapi, jangan khawatir ayah. Aku akan selalu mengenangmu. Kau adalah seorang pria terbaik yang pernah aku kenal. Jika nanti kita bertemu lagi. Mari kita melihat sinar di ujung senja, seperti dulu."
Aku meninggalkan makam ayah dengan perasaan lega. Awalnya terasa sangat berat menghadapi kenyataan pahit. Tapi, setelah kita bisa menerima, dan berdamai dengan diri sendiri. Lambat laun. Pssti kita akan bisa menghadapinya.

Tamat.

Antologi KETIGA KCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang