Prolog

595 36 18
                                    

Dari kecil semenjak ayah masih hidup dan kami tinggal di Bandung aku paling suka menikmati malam diatas balkon rumah, menikmati kilauan lampu jalanan kota Bandung sambil menyesap aroma kopi dan suara radio jadul peninggalan kakek. Katanya radio ini adalah radio yang dibelikan almarhum nenek ketika masih hidup. Dan khusus diberikan kepadaku selaku cucu kesayangannya, hebatkan? Disaat yang lain sudah meninggalkan radio dan beralih ke gadget aku masih menggunakannya untuk mengusir lelah saat seharian menghabiskan waktu di sekolah.

"hai guys balik lagi bareng gue Lekat Fajar Bidawan, malam ini gue bakal bahas tema tentang Dosen killer. Namun sebelum itu gue ingetin kalian bisa kirim lagu special untuk orang tersayang........"

Adalah dia alasanku duduk ditepi malam, seorang mahasiswa ekonomi yang sering kudengar suaranya lewat radio Delta FM, sebuah saluran yang membahas tema social yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Ngomong-ngomong a Fajar (biasa aku memanggilnya) adalah lelaki tertampan sepanjang perjalananku mengenal banyak lelaki disekolah. Dia tampan tentu saja, pintar dalam segala pelajaran dan popular dikalangan kampusnya. Itu yang selalu membuatku bangga tiap jalan bareng a Fajar. Ya, dia adalah kakakku satu-satunya yang paling keren. Bahkan seringkali pernah beberapa teman perempuaku menyatakan rasa sukanya pada a Fajar. Aku selaku adiknya tentu saja merasa sangat bahagia meski semua temanku akan berakhir patah hati. A fajar memang sejak SMA sudah berkomitmen untuk tidak pacaran karena dia salah satu jenis lelaki berlebel ikhwan yang sering nongkrong dimesjid kampus ketimbang kongkow di kafe selepas kuliah. Tepatnya setelah dia ikutan pesantren kilat sewaktu Ramadhan diakhir masa SMAnya. Setelah itu dia berubah drastis, ngomongnya terkadang kearab-araban kalau diskusi bareng temen kampusnya

"antum laah.. ana laah.. afwan laah.." tapi yang pasti aku semakin sayang banget sama a Fajar apalagi semenjak  ayah meninggal dan seluruh tanggung jawab dipikul a Fajar dan mama. Dari yang awalnya kami hidup bergelimang harta mendadak harus mulai hidup sederhana. Itulah alasan mama untuk pindah ke Depok dan menyewakan rumah masa kecil kami di Bandung pada suami istri dan seorang anaknya yang seumuran a Fajar. Namun karena a Fajar harus kuliah di Bandung maka tinggalah ia bersama keluarga Harianto Tjang, seorang pembisnis China yang bergerak dibidang property. Meski awalnya mama sempat khawatir karena perbedaan agama dengan keluarga Cek Anto namun a Fajar sendiri yang meyakinkan mengingat keluarga Cek Anto sendiri adalah sahabat almarhum papa.

Maka semenjak aku dan mama pindah kesebuah perumahan kecil di daerah Margonda Depok, aku semakin belajar hidup prihatin, a Fajar sendiri sudah menerapkannya semenjak awal papa meninggal yaitu dengan tidak pernah meminta uang jajan pada mama, apalagi semenjak dia mendapatkan beasiswa pendidikan gratis di kampusnya.

Maka kehidupanku dimulai pada saat itu.

Pelabuhan Terakhir (Proses Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang