Bagian 13 (Dua lelaki yang patah hati)

81 11 7
                                    

POV Fajar

Malam ini, dibawah cahaya bulan, aku melihatnya menangis, kali ini aku semakin yakin jika aku adalah lelaki terjahat dalam hidupnya. Bagaimana tidak? Setelah apa yang telah kulakukan padanya selama ini, dia harus mengetahui fakta tentang diriku, dan juga wasiat ayah.

Aku tak akan menyalahkan ayah dan mama untuk ini, tapi boleh kah aku bahagia dengan janji yang mereka buat puluhan tahun lalu sebelum Rani lahir. Jujur aku bisa saja membujuk mama dan membayar kafarat nazar yang tak akan menghabiskan puluhan juta untuk itu, hanya saja salah satu jiwaku memberontak.

Apalagi saat Rani ternyata menolak tawaran untuk membayar nazar. Dia terlalu baik untuk menolak wasiat ayah. Dan dia terlalu rapuh untuk itu. Baginya, melihat mama bahagia sudah cukup, tak peduli dengan perasaannya yang mungkin terluka. Dan aku, menjadi lelaki terjahat berkali-kali lipat karena ini.

"ma, neng setuju untuk menikah dengan a Fajar..

Mama cepat sembuh ya"

Rani mencium kening mama dengan perasaan lembut,

Aku yang berdiri disampingnya masih diam, aku tak berani bersuara sejak tadi. Lebih tepatnya aku merasa tak pantas untuk bicara meski hanya beberapa kalimat.

"Fajar, nak tolong kamu urus ya persiapan pernikahannya. Biar nanti mama yang menghubungi uwa dan bibi di Bandung, juga kerabat almarhum ayah"

"ma, gak usah pake pesta ya...

Akad nikah saja sudah cukup"

Rani mencoba membujuk mama yang masih terbaring di ranjang rumah sakit

"harus ada pesta meskipun hanya kecil-kecilan, biar orang tahu. Apalagi selama ini banyak yang tahu kalau Fajar dan Rani anak mama. Kalau tidak ada pesta mama tidak bisa menjelaskan pada orang-orang"

Aku mengelus pundak Rani dengan halus, aku yakin dia paham dengan kodeku. Lagipula apa yang dikatakan mama memang benar.

Akhirnya Rani mengangguk dan memeluk mama dengan erat, aku lebih memilih keluar meninggalkan mereka berdua. Rencananya, setelah ini aku akan mulai mencari jasa WO yang cocok dengan selera Rani dan mama.

Semalam mama bilang, jika dia ingin menikahkan aku dan Rani bulan ini juga. Jadi aku harus ekstra cepat mencari perlengkapan pernikahan. Entah mengapa aku merasa jika mama terus menginginkan sesuatu yang cepat. Seakan dia sudah tak punya hari untuk melanjutkan hidupnya.

Sikap mama mengingatkanku akan sikap ayah beberapa hari sebelum meninggal. Ayahpun melakukan hal yang sama, banyak hal yang dia minta dan suruh sebelum ajalnya menjemput. Saat itu aku belum terlalu paham, jadi tak semua keinginannya bisa aku penuhi.

Namun kali ini, aku ingin mengabulkan semua permintaan mama untuk yang terakhir kalinya. Aku ingin mengucapkan terima kasihku dengan tulus dan sebenar-benarnya karena telah sudi merawatku selama ini.

Jadi beberapa hari ini aku hanya ke rumah sakit untuk membawakan baju ganti untuk Rani dan mama, selebihnya aku bolak balik ke rumah dan kantor WO untuk memilih dan negoisasi terkait gedung dan juga catering, sedikit di bantu uwa Jojo dan anak perempuannya yang kebetulan tinggal di daerah Bekasi.

"Hatur nuhun wa sudah mau bantu" (terima kasih wa )

Uwa Jojo mengelus pundaku dengan lembut, aku tahu dia sama sedihnya denganku saat ini, apalagi mengetahui fakta tentang kondisi mama yang masih belum membaik.

"kamu istirahat dulu, uwa mau berkunjung ke RS, mau tahu keadaan mamamu saat ini, kalau memungkinkan uwa bisa gantian jagain mamamu. Biar Rani tidur dirumah dengan benar"

Pelabuhan Terakhir (Proses Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang