EXTRA PART

72 9 3
                                    

EXTRA PART

POV Aldwin (mengejar cinta)

Kata Firman dan Farhan, jodoh itu ditentukan oleh kebiasaan kita sendiri. Diibaratkan kalau mau dapat yang sholehah ya kita harus jadi sholeh dulu biar imbang. Tapi harus dibuktikan dengan usaha, gak mungkin kan suka sama satu akhwat tapi gak ada start buat memilikinya. Emang puas hanya menjadi pengagum rahasianya dalam do'a saja?

Tentu saja kata istilah "mengejar" tidak akan cocok untukku, lagi pula siapa yang akan ku kejar cintanya? Toh sang pujaan hati sudah hidup bahagia bersama suaminya. Ya, kalian tahu sendiri setelah proses pelarianku yang berujung penyesalan, aku belum bisa membuka hatiku untuk yang lain. Kecuali belajar dan bekerja tanpa lelah, setidaknya dengan begitu aku tidak lagi melulu berfikir tentang kemalangan nasibku yang tak berjodoh dengannya.

Jadi tahun-tahun terakhirku, kupakai untuk menyelesaikan thesis dan bekerja di salah satu perusahaan Oslo Academic Solution, yaitu perusahaan yang bergerak di bidang higher web education marketing. Menjalankan hari-hariku dengan penuh semangat dan syukur, setelah kepulanganku dari Indonesia terakhir kali, aku tak pernah lagi pulang ke Indonesia, termasuk di hari libur semester dan libur lebaran juga natal. Bahkan aku mengabaikan tangisan mommy yang menyuruhku segera pulang. Entah mengapa rasanya hati ini belum siap mencium udara dan tanah Indonesia. Jadi selama 4 tahun terakhir kugunakan hanya untuk belajar dan bekerja.

Menikmati udara musim dingin Oslo juga ditemani Seagull egg, yaitu telur rebus yang disajikan diatas roti lapis bersama mentega cair diatasnya. Tak ketinggalan secangkir coffee panas yang masih mengeluarkan asap putih. Itu sudan menjadi kenikmatan tersediri bagiku. Menyaksikan pemandangan salju putih didalam kamarku dilantai 6 sebuah apartemen yang telah kutempati sekitar 2 tahun ini.

Dari atas gedung kulihat Tiffany, teman satu kantorku yang baru turun dari taxi membawa banyak barang bawaan. Tubuhnya nyaris tak terlihat karena dibalut jaket tebal dan juga syal yang hampir menenggelamkan lehernya, sementara kepalanya dia tutup dengan beani hat scraft, benar-benar cuaca yang ekstrem namun dia masih berani keluar buat belanja. Untungnya pekerjaanku bisa WFH, jadi tidak perlu keluar rumah.

"Hi Tiffany, Are you okay?

Do you need my help?" aku berteriak dari lantai 6 kearahnya yang masih sibuk membawa barang, dia menoleh dan melambaikan sebelah tangannya kearahku.

"I'm okay, No thanks Aldwin..."

Tiffany bergegas masuk kedalam gedung setelah membayar sejumlah uang pada supir taxi, namun aku tak tega juga membiarkannya membawa banyak barang. Akhirnya aku memutuskan turun ke bawah dan menemuinya di lantai satu. Ternyata benar, dia nampak kelelahan membawa dan setengah menyeret barang-barang yang dibawanya.

"sorry to trouble you"

Aku membawa sebagian barangnya dan berjalan menuju lift, di dalam lift ada seorang lelaki tua setengah baya dengan pakaian lengkap musim dingin, juga seorang perempuan muda yang kalau tidak salah tinggal di lantai 10. Aku mengetahuinya karena sempat beberapakali bertemu di lantai 10 saat mengunjungi kamar Fiqri, teman ngajiku di KBRI. Kalau lelaki tua tersebut, aku tak yakin betul mengenalnya, atau mungkin ini adalah kali pertama aku melihatnya di gedung blue Skovveien (nama gedung apartemenku).

"thank you for your help.

Hmm... want to come into my room to drink coffee?"

Aku menggelengkan kepalaku saat tiba didepan kamarnya, ya kali masuk ke room cewek berduaan saat cuaca dingin begini. Meski itu lumrah terjadi disini.

Setelah pamit aku kembali turun ke lantai 6 untuk menghabiskan sisa kopi dan makan siangku yang tertunda. Saat asik menggigit potongan roti, bunyi notifikasi dari handphone membuyarkan kenikmatanku. Sebuah pesan dari mommy yang otomatis membuatku lemas seketika. Papa masuk rumah sakit karena jatuh dari kamar mandi, kepalanya terbentur dan ada pembekuan darah di kepalanya, yang berbahaya bisa menyebabkan stroke bahkan kematian.

Pelabuhan Terakhir (Proses Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang