Bagian 2

217 24 3
                                    

Pov Fajar: masa lalu

4 tahun sudah berlalu semenjak papa pergi meninggalkan kami semua, tak ada yang lebih menyedihkan daripada menyaksikan mama dan adikku satu-satunya menangis dipusaran terakhir papa. Pada saat itu secara otomatis aku sudah memegang ribuan beban kehidupan tanpa diminta yaitu menjaga dan memenuhi keinginan mereka apalagi saat tahu kematian papa menyimpan banyak rahasia yang baru kami tahu saat pak Supriadi Eka selaku pengacara papa datang kerumah setelah 3 hari kematian papa. Papa ditipu rekan bisnisnya namun menyembunyikan semuanya dari kami. Semua asset perusahaan disita pihak bank tanpa kami tahu. Namun diakhir kematiannya dia masih terlihat tenang dan bahagia bahkan masih sempat kami berempat berlibur ke Lombok merayakan ulangtahun pernikahan mereka.

Perusahaan yang sudah dirintis papa semenjak kuliah diambang kebangkrutan sudah, aku selaku anak laki-laki satu-satunya mulai berfikir bagaimana caranya menyelamatkan perusahaan tersebut tanpa menjual semua sahamnya. Sudah ribuan kali papa ceritakan kepada kami saat kumpul dihari minggu bahwa butuh banyak perjuangan untuk papa membangun perusahaan tersebut, maka aku bertekad bagaimapun caranya aku harus menyelamatkan perusahaan tersebut titik.

Semua kulakukan dari mulai mencari investor baru sampai meyakinkan pada investor lama untuk tidak mencabut sahamnya. Meski semuanya nyaris gagal, yang tersisa hanyalah semangatku yang hampir padam. Inilah titik dimana aku harus berjuang seperti apa yang dilakukan papa puluhan tahun lalu.

Disaat kepercayaan diriku mulai hilang pak Supriadi Eka memperkenalkanku pada salah satu rekan bisnis papa yang sekaligus teman masa kuliahnya dulu, yaitu cak Anto seorang pembisnis china yang baru membuka cabang perusahaannya di Bandung. Beliau sangat bersimpatik mendengar penjelasanku mengenai keadaan perusahaan kami ditambah papa dan cak Anto memang mempunyai hubungan yang lumayan dekat sejak dulu, hanya saja kematian papa yang tiba-tiba tidak sampai ketelinga cak Anto yang pada saat itu tengah melakukan perjalanan bisnis ke Hongkong dan baru tahu seminggu setelahnya.

Setelah melakukan berbagai pertimbangan maka setujulah cak Anto menjadi investor perusahaan kami dengen beberapa jaminan asset yang tersisa, pada saat itu tentu saja aku sangat bersyukur karena aku tahu keputusan ini sangat beresiko untuk perusahaannya. Siapa yang mau berinvestasi pada sebuah perusahaan yang berada diambang kebangkrutan? Namun aku yakin seperti yang beliau ketakan, tidak ada yang mustahil terjadi jika mau bergerak merubah keadaan.

Maka saat itu aku harus berjuang langsung diperusahaan selain menyelesaikan tugas akhirku yang hampir terbengkalai, cak Anto akhirnya tinggal dirumah kami dulu untuk mempermudahnya melakukan pekerjaan ketimbang harus bolak balik Bandung-Jakarta. Tinggal dirumah yang sama dengan keluarganya membuatku risih untuk pertamakalinya dalam beribadah, untung beliau toleran dalam hal agama. meski tidak ada yang lebih nyaman selain tinggal bersama keluarga yang satu agama dengan kita.

Adalah Aldwin putra semata wayang cak Anto yang menemaniku selama weekend di rumah, dia yang perlahan membuka wawasanku tentang agama. bagaimana caranya menjawab pertanyaan akan tuhan yang perlahan membuatku sadar betapa pentingnya belajar agama lebih dalam. Meski senang karena Aldwin menunjukan ketertarikannya akan islam, namun disatu sisi aku takut akan kepercayaan cak Anto kepadaku. Meski aku tahu hidayah bisa datang dimana saja dan kapan saja tanpa kenal waktu dan tempat, namun justu disinilah keimananku diuji. Karena aku masih menunjukan rasa takut kehilangan terhadap sesuatu yang menjadi harapanku dan keluargaku, yaitu perusahaan kami.

Maka hari itu aku memutuskan untuk termenung sendiri di depan aula kampus setelah mengisi acara seminar yang diadakan organisasi internal kampus, membiarkan saja mendung sore itu mengundang semilir angin yang menerbangkan daun daun yang berjatuhan dipinggir aula. Didepan gedung Farmasi kulihat beberapa anak ikhwan tengah bermain basket dengan ring yang ditempel disebuah pohon bringin besar, tempat parkiran yang semula penuh dengan kendaraan saat menjelang maghrib begini beralih fungsi menjadi tempat main basket dadakan Karena sebagian besar mahasiswa sudah pulang sejak sore. Aku hanya tersenyum sesaat menyaksikan sebagian besar mahasiswa baru tersebut bermain bersama para senior mereka. Dulu akupun seperti itu saat semester awal, menginjak semester 3 keatas saat mulai banyak tugas yang menumpuk dan organisasi mana sempat buat main basket, apalagi ditempat illegal seperti parkiran tadi, kalau ketahuan penjaga kampus bisa dapat kuliah gratis selama satu jam.

Pelabuhan Terakhir (Proses Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang