Delapan

2.1K 82 1
                                    

Bandung, tujuh tahun yang lalu.

"Aku tunggu kamu di depan rumah ya!" ucap Anna di telepon yang ia tempelkan di telinga kanannya. "Hati-hati ya, Rei!" Ia akan berangkat belajar kelompok di rumah Siska, teman satu kelasnya dan Reihan, pacarnya akan menjemputnya.

Anna meraih tasnya dan segera beranjak dari kamarnya.

"Mbak, aku berangkat dulu ya!" pamit Anna kepada Mbak Yani, perempuan yang bekerja di rumah Anna. Sejak mamanya pergi ke Surabaya dua minggu yang lalu, Anna hanya tinggal di rumah bersama Mbak Yani. Baru saja Anna akan meninggalkan rumah, Mbak Yani memanggilnya.

"Neng Anna, ada telepon dari Surabaya," kata Mbak Yani.

Anna segera memutar badannya dan meraih gagang telepon tersebut. "Ini Anna, Om. Ada apa?" ia mendengar suara Oomnya bergetar dan dengan hati-hati laki-laki itu mengatakan sesuatu yang kemudian membuat Anna terjatuh di lantai.

"Ada apa, Neng?" tanya Mbak Yani. Perempuan itu kemudian meraih gagang telepon kembali dan berbicara dengan Oom Anna di telepon. Ia juga tak kalah kaget mendengarnya. Ia ikut duduk di samping Anna dan memeluk gadis itu. Ia membiarkan gadis itu menangis dalam pelukannya.

Nurma meninggal baru saja di rumah sakit. Sebenarnya selama ini dia menderita kanker rahim, tapi dia menyembunyikannya dari Anna. Saya sudah memesankan tiket pesawat untuk Anna, jadi minta dia untuk bersiap-siap.

Tanpa membawa banyak barang, Yani mengantar Anna ke bandara dan melepaskan gadis itu meninggalkan Bandung menuju Surabaya seorang diri.

***

Surabaya, empat hari setelah kematian mamanya.

Anna hanya diam di kamar tanpa melakukan apapun kecuali memandangi potret mamanya yang ia simpan di dompetnya. Ia tidak mengerti mengapa mamanya meninggalkannya seperti ini. Padahal mamanya tahu ia hanya memiliki mamanya. Anna memandang wajah mamanya yang ada di potret tersebut dengan air mata mengalir di pipinya. Ia sudah lupa berapa lama dirinya menangis, meski matanya sudah bengkak tapi ia tidak bisa melakukan apapun selain menangis.

Ia ingin mamanya kembali.

"Na, makan siang dulu," tantenya memanggil di depan pintu kamar Anna. Anna hanya dipanggil untuk makan dan keluar beberapa saat setelah itu. Ia seperti tidak memiliki tujuan hidup selanjutnya, kehilangan mamanya seperti membuatnya kehilangan segalanya.

Oomnya mengatakan sudah mengurus kepindahannya dari Bandung dan Anna hanya perlu menunggu di Surabaya. Sebeneranya Anna keberatan untuk pindah dari Bandung, namun Oomnya tidak mengizinkan Anna tinggal di Bandung seorang diri. Ia harus tinggal di Surabaya.

Anna bangkit dari tempat tidur, namun tas gendong yang ada di atas meja menarik perhatiannya. Ia ingat ponselnya yang ada di dalam tas. Anna meraih tasnya dan mengeluarkan ponsel yang ditelantarkannya selama empat hari itu. Ponselnya kehabisan daya, jadi untuk menghidupkannya Anna harus mengecharge terlebih dahulu.

"Na, kamu sudah ditunggu!" ia kembali mendengar suara tantenya.

"Iya, Tante."

Anna meninggalkan kamar dan menuju ruang makan. Setelah makan siang selesai, Anna kembali ke kamar dan memeriksa ponselnya. Ada 20 pesan masuk ke ponselnya. Ahhh, pasti banyak yang mempertanyakan kepergiannya.

Ia membuka satu per satu dan ketika membukanya, matanya terbelalak. Ia melupakan sesuatu.

Na, lo dimana sih? Reihan mengalami kecelakaan saat akan menjemputmu dan sekarang dirawat di rumah sakit.

Ia membaca sms lainnya.

Lo dimana, Na? Reihan kecewa banget sama lo. Kalo lo baca sms ini, hubungi Reihan secepatnya.

Tanpa membuka sms lainnya, Anna mencari nomor Reihan dan memanggilnya. Ia menunggu Reihan menjawab teleponnya, namun dia tidak mengangkatnya sampai terdengar suara operator. Anna menelpon Reihan kembali, namun ia tidak juga menjawabnya. Anna terus menelponnya, namun Reihan menon-aktifkan ponselnya.

Anna mendesah panjang dan terduduk di sana.

Apa yang harus kulakukan?

***

Siang itu Anna menelpon Siska, temannya dan menceritakan semua, begitu pula sebaliknya. Siska menceritakan semua yang terjadi pada Reihan, tapi setiap kali ada yang membahas Anna, Reihan langsung menghentikannya. Reihan tidak ingin mendengar apapun tentang Anna.

Anna meminta bantuan ke Siska untuk menjelaskannya kepada Reihan karena Anna sudah mencoba menghubunginya tapi tidak bisa.

Keesokan harinya Siska menghubunginya dan mengatakan Reihan tidak mau mendengarkan apapun yang berhubungan dengan Anna. Anna tidak menyerah, ia mencoba menghubungi cowok itu kembali. Setelah beberapa kali menelpon, akhirnya Reihan mengangkatnya.

"Rei...."

"Kita putus, Na dan jangan menghubungi aku lagi," belum sampai Anna mengatakannya, Reihan sudah memotong dan memutuskan sambungan telepon.

Anna memejamkan matanya dan air matanya mengalir begitu saja. Setelah kematian mamanya, kenapa ada kejadian seperti ini? Ia mencengkeram ponselnya dan menyebut nama Reihan. Ia tidak tahu sesuatu telah terjadi pada Reihan, bahkan untuk menghubunginya saja ia sampai lupa. Saat itu ia benar-benar terpukul dengan kepergian mamanya yang secara tiba-tiba.

Andai beberapa hari yang lalu dia menghubungi Reihan, mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Ia masih mencintai Reihan dan ia tidak ingin kehilangannya.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Sms dari Reihan.

Lupakan semua hal tentang aku dan anggap kita nggak pernah kenal.

Jangan menghubungi aku lagi.

Hapus nomorku!

Air mata mengalir semakin deras dari matanya, melewati pipinya dan jatuh ke lantai. Anna terisak-isak karena sms tersebut dan seprai yang menutupi kasurnya menjadi korban cengkeram tangannya. Ia tidak ingin kehilangan Reihan. Setelah kehilangan mamanya, ia tidak mungkin jika harus kehilangan Reihan. Tapi ia tidak bisa apa-apa karena Reihan sudah meminta Anna menghapus nomornya. Anna hanya bisa menangis dan berbisik lirih dengan mata menatap sms dari Reihan: aku mencintaimu, Rei!

Antagonis (21+) (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang