Satu bulan kemudian.
Anna mengotak-atik ponselnya mencoba menghubungi Reihan yang sejak kemarin nomornya tidak aktif.
"Masih nggak bisa?" tanya Anggun.
Anna menggeleng dengan lemah.
"Coba lo hubungi kantor polisi tempat dia bekerja," saran Anggun.
Anna baru saja akan mengubungi kantor polisi, namun Fern sudah menghampirinya terlebih dahulu. "Na, Briptu Reihan..."
Anna langsung memandang Fern dengan antusias. "Kenapa dengan Reihan?" tanyanya penasaran. Apa jangan-jangan terjadi sesuatu dengan Reihan?
"Kamu tahu kalo Reihan ke Wina hari ini?" tanya Fern.
Mendengar hal itu, Anna langsung menggeleng. "Wina?"
"Iya. Aku denger dari Briptu Galang kalo hari ini Briptu Reihan ke Wina karena dia lolos beasiswa S2 di sana. Briptu Reihan nggak bilang sama kamu?" jelas Fern.
Anna menggeleng pelan.
Fern memeriksa jam tangannya. "Briptu Galang bilang pesawatnya berangkat jam 11, berarti masih ada setengah jam buat kamu ke bandara."
Tanpa tunggu lama, Anna segera menyambar tasnya dan berlari ke luar kantor setelah sebelumnya ia mengucapkan terima kasih kepada Fern. Anna memanggil taksi di depan kantor dan meminta supir mengantarnya ke bandara.
Anna berlari ke memasuki bandara mencari keberaan Reihan. Anna mencoba menenangkan dirinya. Hal pertama yang harus ia lakukan adalah mencari tempat menunggu penumpang ke Wina. Anna bertanya kepada petugas bandara dan petugas tersebut menunjukan ke arah kanan. Dulu, Anna pernah melihat adegan seperti ini dalam film Ada Apa Dengan Cinta dan saat ia mengalaminya sendiri, seolah ia bisa merasakan apa yang Cinta rasakan pada saat itu.
Rasa takut kehilangan.
Rasa rindu.
Semua bersatu padu menjadi satu.
Anna berhenti di depan pintu masuk tujuan luar negeri. Anna melihat ke sekelilingnya dan ia tak menemukan sosok itu. Ia berjalan modar-mandir mencari keberadaan Reihan, tapi tak satupun laki-laki yang ada di sana yang memiliki ciri-ciri seperti Reihan.
Sampai akhirnya seorang perempuan muda hampir menabraknya dan tepat di belakang perempuan itu ia melihat Reihan.
"Rei," Anna langsung lari ke pelukan Reihan. "Jangan pergi!" ia memohon.
Namun Reihan melepaskan pelukan Anna dan menggelengkan kepala. "Maaf, aku harus pergi."
Perempuan yang tadi hampir menabraknya memandang Reihan. "Siapa, Rei?" tanyanya.
Reihan tersenyum kepada perempuan itu dan beralih memandang Anna. "Ini Anna, temanku saat SMA," jawabnya. "Anna, ini Sandra, calon istriku," kali ini Reihan mengenalkan perempuan itu kepada Anna.
Anna seketika membelalakan matanya. "Apa maksudnya, Rei?" tanyanya.
Reihan yang ditanya malah menaikan alisnya. "Aku dan Sandra akan ke Wina bareng. Kami sama-sama melanjutkan S2 di sana," jelasnya.
Deg. Rasanya seperti ada yang memukul jantung Anna dengan sangat keras. "Lalu... Kita..." ucapnya dengan lirih.
Reihan hanya tersenyum. Ia dekatkan mulutnya ke telinga Anna. "Maaf," bisiknya. Lalu ia gandeng tangan perempuan bernama Sandra tersebut meninggalkan Anna yang masih mematung.
Saat itu Anna tak merasakan matanya panas atau matanya berkaca-kaca. Sama sekali tidak. Ia bahkan tak merasakan adanya getaran di jantungnya. Ia hanya merasakan seluruh tubuhnya kaku. Ia tidak bisa merasakan apa-apa. Bahkan rasa sakit yang harusnya kali ini membuncah di hatinya, saat ini tidak ia rasakan. Oh, mungkin ini yang dinamakan mati rasa. Hanya saja, tak lama setelah Reihan dan Sandra meninggalkan Anna, Anna merasakan tubuhnya sangat lemah dan seketika tubuhnya terkapar di lantai.
***
Anna membuka matanya perlahan dan melihat sekelilingnya dipenuhi oleh warna putih, mulai dari langit-langit ruangan sampai dinding. Ia menggerakan tangannya dan mendapati selang infus tertancap di sana. Anna mencoba bangkit, namun tubuhnya terasa lemah.
Ia mencoba mengingat apa yang baru saja ia alami dan ingatannya mengarah ke tempat dimana Reihan meninggalkannya. Anna mendesah. Ia pasti pinsan setelah Reihan pergi.
"Sudah sadar?" tanya dokter wanita yang menghampiri Anna. "Apa yang Ibu Anna rasakan?" tanya Dokter tersebut dengan menyebutkan nama Anna. Awalnya Anna heran bagaimana Dokter tersebut tahu namanya, tapi Anna teringat KTP Anna yang ada di dalam tas, pasti Dokter itu tahu dari sana.
Anna memandang dokter tersebut dan mencoba merasakan apa yang terjadi pada tubuhnya. Ia memegang perutnya yang terasa sedikit kram.
"Perut saya kram, Dok."
Dokter itu tersenyum. "Itu karena Ibu Anna kelelahan. Itu sering terjadi pada ibu hamil, terutama hamil muda," jelas dokter tersebut yang disambut Anna dengan mengangguk-anggukan kepala. Namun ketika Anna menyadari kalimat terakhir dokter itu, Anna membelalakan matanya.
"Apa tadi kata, Dokter? Ha...mil?"
Dokter itu memandang Anna dengan heran. "Lho, Anda belum tahu kalau Anda sedang hamil?" tanyanya.
Tubuh Anna kembali terasa lemas. Mendadak, ia merasakan ribuan perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Ia mencengkeram dadanya dengan kuat dan air mata yang tadi tak mampu keluar saat Reihan pergi begitu saja, kali ini terjatuh perlahan dari pelupuk matanya.
"Bu Anna baik-baik saja?" tanya Dokter itu.
Anna mengangguk pelan, kemudian menggeleng.
Dengan penuh keramahan, Dokter wanita tersebut menepuk pundak Anna mencoba menenangkannya. "Saya juga menangis saat pertama mendengar saya hamil, hampir semua wanita mengalaminya," ucapnya.
Anna menarik napas dan mengusap air matanya. "Kandungan saya berapa usianya, Dok?" tanyanya dengan ragu.
"Mmm," gumam Dokter. "Sekitar lima minggu atau lebih."
Anna menggigit bibirnya dan perlahan ia pegang perutnya. Ia membayangkan wajah Reihan di ujung matanya, kemudian tersenyum kecut. Jika ini balas dendam atas apa yang pernah Anna lakukan kepada Reihan, ini benar-benar kejam.
![](https://img.wattpad.com/cover/208138455-288-k831527.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis (21+) (SELESAI)
RomanceZivanna Nadia terjebak nostalgia. Ia masih mencintai Reihan, mantannya saat SMA yang membencinya karena Anna pergi begitu saja. Lalu seetelah 7 tahun berlalu, Anna kembali bertemu dengan Reihan dan ia ingin menjelaskan ke Reihan bahwa ia bukan tokoh...