Sebelas

2K 81 1
                                    

"Na, ada paket buat lo!" teriak Anggun ketika Anna baru saja selesai mandi. Seraya mengeringkan rambut dengan handuk, Anna keluar dan mendapati seorang laki-laki separuh baya di depan rumahnya.

"Paket buat saya, Pak?" tanyanya.

"Neng Zivanna Nadia?" bapak itu balik bertanya dan langsung disambut dengan anggukan Anna. Bapak itu menyerahkan sebuah bingkisan yang cukup besar, bahkan bapak itu seperti keberatan membawa benda tersebut. "Silahkan tanda tangan, Neng!" pinta bapak itu.

Anna segera tanda tangan dan setelah bapak itu pergi, ia membawa masuk bingkisan tersebut.

"Paket apaan, Na?" tanya Anggun. "Gede banget."

Anna menatap bingkisan tersebut, sebelum akhirnya merobeknya. Dan ketika ia melihat isi bingkisan itu, Anna langsung membelalakan matanya. Tangannya yang tadi menyentuh bingkisan tersebut, kini menggantung di udara. Dan ia membisu. Tidak tahu harus berkata apa.

"Bukannya ini peralatan melukis ya?" tanya Anggun heran saat melihat isi bingkisan itu. "Emang sejak kapan lo suka ngelukis, Na?" tanya Anggun dengan tersenyum. Selama ia mengenal Anna ia tidak pernah melihat gadis itu menggambar atau melukis, jadi ketika ia mengetahui temannya tersebut mendapat kiriman peralatan melukis Anggun merasa itu sedikit ganjil.

Anna menarik napas panjang. Ia bisa menebak siapa mengirim bingkisan ini. Jadi ini alasan Reihan semalam menanyakan alamat kontrakan Anna?

"Ada suratnya, Na!" kata Anggun dengan meraih sepucuk surat tersebut, namun belum sampai Anggun membukanya, Anna langsung merebutnya. Anggun menatap Anna heran. "Dari siapa sih, Na?"

Anna membuka surat tersebut dan ia hanya menemukan satu kalimat di sana.

Demi aku, melukis lagi ya, Na!

"Emang sejak kapan lo suka ngelukis, Na?" tanya Anggun setelah melirik isi surat tersebut.

Anna tak segera menyahut pertanyaan Anggun. Pikirannya masih terarah ke pengirim peralatan melukis itu. Reihan memberinya peralatan melukis, Reihan ingin dia melukis lagi....

"Na?" Anggun memanggil Anna dan berhasil membuyarkan pikiran Anna.

Anna memutar kepalanya dan memandang Anggun. "Sejak dulu gue emang suka melukis, tapi setelah nyokap gue meninggal dan gue putus dari dia, gue kehilangan inspirasi melukis," jelas Anna.

Anggun memandang Anna penuh kecurigaan. "Jangan bilang temen SMA yang lo temui beberapa malam yang lalu itu mantan lo?"

Anna mengangguk.

"Pantesan aja lo nggak bisa buka hati lo buat Fernanda. Benar-benar terjebak nostalgia lo, Na!" lanjutnya.

"Tapi gue sama mantan gue nggak ada hubungan apa-apa."

"Iya sekarang."

Anna memandang Anggun dan ia kembali mendapatkan perasaan bersalah itu. Jika Anggun tahu mantan pacarnya adalah Reihan, orang yang selama ini ia kagumi, kira-kira apa yang akan terjadi padanya? Tapi Anna janji ia akan segera mengatakan hal itu ke Anggun. Ia akan jujur kepada sahabatnya itu. Tidak peduli bagaimana tanggapannya. Dan ia janji tidak akan lama lagi.

***

"Na, lo diundang ke acara rekreasi polsek nggak?" tanya Fernanda saat Anna sedang mengetik berita.

Anna mengangguk. "Satu tim kita diundang semua kok."

"Tapi gue nggak bisa ikut," sahut Wisnu.

"Kenapa?" tanya Fernanda dan Anna bersamaan.

"Gue harus pulang ke Bogor."

Fernanda memandang Anna. "Lo bisa ikut kan, Na?"

"Sejauh ini sih bisa, tapi nggak tahu kalo tiba-tiba ada halangan," jawabnya.

Dari mejanya Anggun menyahut. "Kalo gue pasti bisa."

"Pasti karena Briptu Reihan," sahut Gita. Lho, Gita tahu juga Anggun mengagumi Reihan?

"Yah, siapa tahu karena acara itu gue bisa dekat dengan Briptu Reihan dan tiba-tiba Tuhan punya ide untuk menjodohkan kami," celotehnya dengan tersenyum.

Anna hanya geleng-geleng kepala. Apa Anggun masih menggilai Reihan seperti itu jika dia tahu Reihan adalah mantan Anna?

***

Jarum jam di ruang tengah kontrakan Anna berdetak menuju angka tujuh dan dua belas. Langit di luar juga telah gelap, apalagi ditambah beberapa awan membuat bintang-bintang tak menampakan diri. Anna membawa peralatan melukis yang dikirimkan Reihan tadi pagi ke atap tempat ia biasa menjemur pakaian. Ia menegakan steger dan memasangkan kain kasa di sana. Sebelum meraih cat air dan kuas, Anna memandangi apa yang saat ini ada di hadapannya. Setelah sekian lama, kini ia akan melukis lagi. Ia tidak tahu apa ia masih bisa melukis atau tidak, ia tidak tahu apa lukisannya akan bagus atau tidak, yang pasti ia akan mencoba mengungkapkannya di sana.

Ia mulai menggayunkan kuas menyentuh setiap sudut kain kasa yang terbentang satu meter persegi di hadapannya. Ia melukis bebas. Apapun yang saat ini ada di hatinya, ia mengungkapkannya di sana.

"Gue cari lo kemana-mana, ternyata lo di sini, Na!" kata Anggun yang baru saja naik ke atap. Ia kemudian melihat apa yang tengah dilukis Anna dan langsung berdecak kagum. "Waw.... Ini lukisan lo, Na?" tanyanya tidak percaya.

Anna menyahut tanpa menoleh. "Menurut lo?"

"Kalo lo bisa secanggih ini melukis, kenapa lo jadi wartawan?"

Anna tersenyum. Miris. Ia memandangi kain kasa yang kini sudah dicoretinya dengan cat air dan matanya mulai berkaca-kaca. "Gue merasa menjadi wartawan jauh lebih realistis, Nggun."

Anggun hanya mengangguk-anggukan kepala. Ia memperhatikan lukisan Anna dan mencoba membaca cerita yang ada di sana tapi ia gagal. "Anyway, ini lukisan tentang apa? Gue cuma liat dua anak kecil yang tertawa lebar."

"Gue dan mantan gue udah damai."

Anggun hanya bergumam. "Oooo."

Tiba-tiba ponsel Anna berdering. Nomor tak bernama menghiasi layar ponselnya. Anna segera mengangkatnya. "Halo. Dengan siapa?" salamnya.

"Reihan."

Anna memandang Anggun yang masih memandangi Anna. "Pasti dari mantan lo ya, Na? Ya udah, gue masuk ke kamar ya!"

Setelah Anggun pergi, Anna melanjutkan percakapannya dengan Reihan. "Kok kamu pake ngirim peralatan melukis sih?" tanya Anna.

"Biar kamu melukis lagi."

"Nggak usah repot-repot gitu."

"Nggak repot kok," sahutnya. "Oh ya, besok kamu ikut acara outbond nggak? Aku denger wartawan juga diundang."

"Ikut."

"Ya udah, sampai ketemu besok ya!" Anna baru akan mengucapkan sesuatu namun Reihan sudah memutuskan sambungan telepon. Anna mendesah. Reihan belum berubah.

Antagonis (21+) (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang