Dua

4.7K 130 0
                                    

"Ini urgent, lo bisa bantu gue kan?" ucap Fern dengan nada memohon.

"Ya. Nggak ada alasan buat gue nolak," jawab Anna.

Anna tersenyum begitu mendengar Fern bersorak senang. Alasan Fern menelponnya malam-malam tak lain adalah untuk membantunya meliput berita di Tangerang karena tiba-tiba Wisnu dapat kabar kakaknya yang ada di Bogor dirawat di rumah sakit. Karena hal itulah, Anna harus bangun pagi-pagi karena jam enam Fernanda akan menjemput di depan gang kontrakannya.

Anna mengenakan baju yang biasa ia kenakan. Kemeja cokelat, celana jeans dan rambut panjangnya diikat menjadi satu di belakang. Sedangkankan kaca mata, ia masukan di dalam tas. Anna meraih tasnya dan buru-buru meninggalkan rumah kontrakannya itu karena Fernanda sudah menunggunya di depan gang.

"Selamat berduaan dengan Fernanda ya!" ucap Anggun dengan senyum-senyum.

Anna tak menyahut. Ia segera meninggalkan rumah yang ia kontrak bersama Anna tersebut dan berjalan menuju depan gang dimana Fernanda menunggunya.

"Pagi!" sapa Fernanda begitu Anna masuk mobil.

"Mobil siapa?" tanya Anna, karena Fernanda biasanya memakai motor.

"Kantor," jawabnya. "Pak Beni dan yang lainnya sudah di sana sejak semalam."

Anna memakai sabuk pengaman. "Emang ini kasus besar ya sampai Pak Beni ikut turun tangan?" tanyanya penasaran.

Fernanda mulai memasukan gigi dan memutar mobil. "Ini kasus pembunuhan berantai yang menewaskan artis Leo Artha, lo nggak tahu?"

Anna menggeleng. Sejak ia bekerja sebagai wartawan, ini adalah kali pertama dia bisa bergabung dengan tim utama televisi perusahaannya. Sedangkan bagi Fernanda yang sudah tiga tahun menjadi wartawan, hal ini sudah biasa baginya. Perusahaan tempat ia bekerja merupakan perusahaan berita yang cukup besar di Indonesia. Ada tiga media yang dinaungi perusahaannya, yaitu koran harian, televisi khusus berita dan radio yang juga menyiarkan 80% berita. Nah, Anna masuk ke tim koran harian bagian berita criminal dan biasanya ia hanya meliput berita criminal ringan yang terjadi di sekitar daerah kerjanya, sedangkan jika ada kasus yang cukup besar bagian headline yang mengambil alih.

Beda lagi dengan Fernanda. Mungkin karena ia sudah lama bekarja di sana dan cukup berprestasi, ia sering dipercaya oleh Pak Beni – pimpinan redaksi bagian criminal perusahaan – untuk membantu meliput.

"Sejak dulu lo emang punya cita-cita jadi wartawan?" tanya Fernanda.

Anna menggeleng. "Malah nggak pernah terbayang," sahutnya. "Sejak nyokap gue meninggal, gue membiarkan hidup mengalir apa adanya dan ternyata aliran itu membawa gue ke tahap ini," lanjutnya.

Fernanda tersenyum. "Untung aliran itu nggak bawa lo ke Sungai Ciliwung atau selokan ya?"

Anna mengangkat alisnya. Tidak mengerti dengan ucapan Fernanda.

"Kalo lo hidup dengan cara itu, sama aja lo pasrah dengan apapun yang terjadi. Untung aja aliran itu membawa lo jadi wartawan, coba kalo membawa lo jadi seseorang yang buruk..." Fernanda bergidik. "Hidup ini sekali dan lakukan apa yang ingin lo lakukan, jangan pasrah begitu aja!" tambahnya.

Anna menelan ludah. Kalimat itu, sepertinya ia pernah mendengarnya. Tentang impian. Ya, dulu seseorang pernah mengatakan padanya bahwa ia harus percaya pada impian. Dulu ia selalu menyimpan baik-baik kalimat itu di dalam memorinya, tapi sejak kejadian itu semua hancur dan lebur menjadi debu.

Dan ia memutuskan untuk mengubur impian tersebut.

"Omong-omong, lo punya pacar, Na?" tanya Fernanda dengan tiba-tiba.

Antagonis (21+) (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang