Chapter 21

547 23 11
                                    

Pusing. Dingin.

Dua kata itu cukup untuk menggambarkan apa yang ia rasakan saat ini. Gadis itu masih tetap menutup matanya sambil sesekali memijat pelipisnya. Entah kenapa matanya sulit sekali membuka.

Dengan sedikit paksaan, akhirnya kedua mata itupun terbuka sedikit demi sedikit.

Pertama kali yang tampak di matanya yaitu langit-langit kamar bernuansa elegan dengan warna hitam abu putih, ia pun memikirkan apa yang baru saja ia impikan tadi, mimpi yang membuatnya bangun mendadak pusing.

Ha mimpi apa gue tadi, astaghfirullah, pikirnya.

Dalam mimpi itu semua menangis menatap dirinya. Ya, semua. Di tanah lapang gersang dan semua orang melihatnya sambil menangis. Tak terkecuali keluarga dan kedua sahabatnya itu melihatnya dengan tatapan sendu yang membuat dadanya terasa sesak lalu terbangun.

Hitam abu putih? Sebutnya dalam hati. Baru sadar ini bukan kamarnya ia pun kaget hingga melonjak duduk dari kasur.

"Akh! Shh ...." teriakan kecil reflek itu keluar dari mulutnya saat ia merasakan nyeri tak terhingga di bagian pangkal kakinya dan kaku disekitar sana.

Brrrr...

Kedinginan pun tambah menjadi saat selimut yang ia pakai merosot turun sedikit karena ia terduduk. Menaikan sedikit selimut ingin mengetatkannya, ia baru tersadar akan satu hal lagi yang membuatnya nyaris berteriak. Matanya pun tak bisa menahan untuk tidak melotot. Pikirannya pun sudah terjerumus memikirkan yang tidak-tidak membuatnya gemetar takut.

Baju aku mana, ya tuhan! Teriaknya dalam hati saat melihatnya tak berbusana dibalik selimut itu. Pikirannya pun sudah berkeliaran, gemetar tubuhnya pun tak bisa tertahan.

Tangis pun pecah saat sadar ada seseorang di sebelah kanannya dengan tanpa busana seperti dirinya.

"Reno?!" Dengan itu, kedua tangannya sudah mendekap tubuh mungilnya yang hanya terbalut selimut. Isakan demi isakan menyusulnya. Ia membungkam mulutnya tak percaya.

Apa yang Reno lakuin? Gaboleh, gaboleh!  jeritnya dalam hati, ingin sekali berteriak tapi ia terlalu lemas hingga hanya bisa terisak membekap mulutnya. Dipikirannya, Reno pasti gak berbuat sebejat itu dan ia pun seharusnya masih dengan kesucian yang ia jaga untuk masa depan dirinya.

Tapi kemungkinannya itu sangat kecil saat ia menemukan bercak merah darah di seprai kasur yang ia tempati.

Melihat itu, ia terpaku dan secepatnya turun dari kasur. Berdiri, ia pun terjatuh. Rasanya sakit sekali di pangkal pahanya. Ia pun merangkak menuju sudut dekat tembok dengan selimut yang masih membalut tubuhnya, meringkuk disana bagaikan seorok bayi dengan isakan-isakan memilukan. Hatinya pun tak kalah nyeri jika dibandingkan pangkal pahanya.

Hiks ... Hiks ...

Terganggu dari tidurnya, cowok itu pun terbangun dengan celana boxer yang hanya menutupi bagian tubuhnya. Melihat kesamping tak menemukan adanya gadis itu, lalu ia pun melihat kearah sudut yang terdengar isakan memilukan disana. Hatinya pun perih melihat Alisha disana meringkuk dengan selimut dan tangannya yang mencoba memeluk seluruh tubuhnya seperti melindungi dirinya sendiri.

Ia menatap Alisha sendu, berjalan menuruni kasur dan berlutut di depan ringkukan tubuh gadis yang berstatus kekasihnya itu. Baru saja ia ingin menyentuh bahu polos yang begerak di susul suara isakan tangis itu, Alisha mengangkat kepalanya sambil bergerak menjauh dan lebih mengapit kearah tembok di belakangnya.

"Jangan ... hiks," ucap Alisha dengan suara seraknya. Reno pun bisa merasakan sesak didadanya  melihat kondisi gadis didepannya. Ia khilaf.

"Ma-maafin aku," Dengan itupun, Reno menundukan kepalanya. Alisha merasakan nyeri itu lagi, sakit di hatinya bagai telah ada yang mengirisnya.

Jadi bener?  hatinya pun hancur sudah, mengingat ia dulu pernah berjanji kepada dirinya sendiri kalau ia akan menjaga kehormatannya untuk seseorang yang halal di masa depannya. Hancur sudah itu semua. Ia ingat kemarin terakhir ia diajak ke club, bertemu dengan teman Reno, lalu ia lupa apa yang terjadi setelahnya.

Menunduk tak kuat menahan tangis, ia pun meringkuk lebih dalam dan isakan yang Reno tak suka itupun keluar lagi. 

"A-aku bakal tanggung jawab," ujar Reno lagi.

Tanggung jawab?  

"A-apa maksud tanggung jawab dari kamu?!" cecar Alisha pada Reno.

Menarik nafas sesal, Reno berkata. "Kalo kamu hami--"

"Hamil?!" 

dan ia hanya seorang perempuan yang masih duduk di bangku sekolahnya.

*** 

Reno pun mengantarkan Alisha pulang kerumah setelah Alisha bisa sedikit berjalan walaupun masih sedikit terasa kaku. Dan selama itu pula, mereka tak berbicara apapun. Alisha terus melamun sejak tadi dan Reno pun hanya bisa menghela nafas tak teganya terhadap perempuan yang masih tergolong muda itu.

Setelah sampai, Alisha pun keluar dari mobil Reno dengan diam tanpa menoleh ke Reno sekalipun. Reno pun menyusul keluar dan menghampiri Alisha.

"Lis ..."  panggilan itu membuat Alisha mendongak ke Reno. Reno dapat melihat itu, Alisha memang mendongak ke arahnya tapi ia tau bahwa jiwanya tak ada disini. Terlihat dari tatapan kosong yang diluncurkan Alisha padanya. Tak lama air mata pun menetes untuk keberapa kalinya hari ini.

Tangan Reno siap mengusap pipi Alisha, tapi Alisha segera berbalik menghindar lalu berjalan dengan pelan menuju rumahnya.

"Maaf tapi aku harus lakuin ini," gumam Reno sedih.

***

Alisha membuka pintu dengan kunci rumah di tangannya. Membuka pintunya, segera ia masuk lalu berjalan ke kamar dirinya dengan kaki yang masih kaku dan sedikit nyeri.

Tiba-tiba badannya tersentak berbalik. "Dari mana? Kaki lo kenapa?" tanya Brian bertubi-tubi.

Alisha sedikit gelagapan, mengapa kakaknya sudah pulang? bukannya akan pulang besok?

"Loh kok lo udah pulang?" tanya Alisha setelah menetralkan perasaannya berusaha untuk menutupi kebohongannya.

"Gue di suruh pulang buat jaga lo yang sendirian dirumah. Trus lo darimana? kaki lo kenapa juga jalannya pincang gitu ha?" ujar Brian menatap adiknya mengintimidasi.

"Hm, aku ke rumah Vale, iya! Vale! Siapa lagi coba kalo bukan kerumah dia! Haha," ujar Alisha menutupi kebohongannya. Tapi Brian terlalu mengenal adiknya. Ia tau Alisha berbohong padanya, karena Alisha memang tak pandai untuk itu.

Saat ia pulang tadi dan masuk dengan kunci duplikat rumahnya, tak ada Alisha. Ia pun menghubungi Vale, sahabat adiknya itu untuk menanyakan keadaan adiknya. Tapi informasi yang di dapat bahwa adiknya tak ada disana.

"Kaki lo?" tanya Brian dengan tatapan mengintimidasi sambil melirik kaki adiknya.

"Oh ini! tadi loh itu semalem kita bakar ikan gitu, eh trus gue kesandung ban mobil. Jadinya ginideh," ucap Alisha hambar tapi dia tutupi itu dengan senyum cengengesannya.

Menyeringit, Brian berkata. "Apa hubungannya bakar ikan sama ban mobil?" Alisha pun merutuki kebodohannya.

"Cerita," ucap Brian akhirnya sambil menghela nafas menatap adiknya yang masih berusaha untuk berbohong.

"Ha- Apa?" tanya Alisha tak mengerti.

"Cerita yang sebenernya. Jangan bohong, gue gasuka." ucap Brian menatap adiknya tegas. Jujur, ia bisa melihat tatapan kosong adiknya tadi. Ia hanya Khawatir.

Alisha pun terdiam menatap kakaknya lama. Ya Brian bisa melihat itu semua. Tatapan sedih, kecewa, kosong sekaligus. Tanpa aba-aba Alisha memeluk kakaknya. Mengeratkan pelukannya. Brian pun membalas pelukan adiknya, Ia tau pasti ada yang tak beres dengan adiknya. Isakan itu pun keluar lagi dari bibir Alisha untuk kesekiankalinya.

****

a/n:  VOTE AND COMMENT, PLEASE.

Huhu, jangan jadi silent readers ya please:') sedih nih, wkwk. Kan juga mau tau tanggepan kalian apa gitu sama cerita 'abal' ini wkwk.

SYUDAH AH BHAY! THANKYOU.

 

 

AlishaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang