Blessing

4.6K 470 23
                                    

Aku terbangun dari tidur karena suara dering ponsel yang terus berbunyi. Kulirik tepat di sebelahku, sudah terpampang sebuah wajah yang terukir dengan sempurna, berada di atas sebuah bantal dan masih tertidur lelap. Raut wajah yang terlihat begitu tenang, bahkan ketika tidur sekalipun.

"Ya, Bu ?" jawabku setelah meraih ponsel dan menekan tombol telepon warna hijau.

"Ya ampun, De....kemana aja ? Kenapa baru diangkat ? Ibu neleponin kamu daritadi loh !" celoteh Ibuku di seberang. Jika kudengar dari nada bicaranya, sebentar lagi aku akan memasuki waktu kuliah tujuh menit di pagi hari.

"Maaf, Bu. Ini baru bangun," jawabku datar. "Ada apa memangnya ?"

"Duh...kamu tuh kebiasaan deh, baru bangun tidur, padahal udah siang gini juga. Anak perawan tuh harusnya bangun lebih giat ! Nanti kalau udah nikah, kamu harus ngurusin suami juga....."

Benar kan, dugaanku tidak pernah melesat. Biarkan saja jika Ibuku betah dengan segala wejangannya. Memang sih, saat ini waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Waktu dimana seharusnya sudah banyak kegiatan yang kulakukan, jika aku adalah seorang anak yang baik, yang selalu mendengarkan nasehat orang tua.

"Iya, maaf, Bu. Jadi sebenernya ada perlu apa sama Naya ?" tanyaku ingin mempercepat inti pembicaraan.

"Tadi Ibu sempet telepon ke hotelmu, karena kamu nggak angkat terus. Katanya, kamu hari ini sama besok lagi cuti, ya, De ? Kalau udah tahu lagi libur, kenapa nggak pulang ke rumah aja sih ?"

"Iya, Bu. Dikasih cutinya aja ngedadak, baru dikabarin tadi malem sama Manager Naya. Emang ada acara apaan di rumah yang mengharuskan Naya untuk pulang ? Kemarin kan Naya baru pulang," tanyaku heran.

"Gini, De. Mas Ardi kan beberapa minggu yang lalu posisinya baru dinaikin tuh, dia pengennya nraktir makan kita sekeluarga. Nah, kebetulan sekarang lagi ada waktu yang pas. Berhubung dia lagi cuti, dan kamu juga. Tadinya emang ngajakin untuk makan malam bareng, karena Ibu fikir kamu hari ini masuk kerja sampe sore. Tapi kalau udah tahu kamu lagi libur gini mah, gimana kalau kita rubah acaranya jadi makan siang aja ? Ibu sama Ayah nggak ada kegiatan juga di rumah, kelamaan kalau harus nunggu sampai malam. Udah lama juga kan, kita semua nggak kumpul bareng," jawab Ibuku menjelaskan.
Kami sekeluarga lebih nyaman memanggil 'Mbak' dan 'Mas' pada kakak dan kakak iparku, seperti panggilan khas orang Jawa, dibandingkan memanggil 'Teteh' atau 'Aa' pada mereka.

Aku terdiam sejenak, ketika kurasakan sebuah dekapan dari arah belakang. Posisiku saat ini sedang duduk membelakangi Pak Arkana, yang ternyata sudah bangun dari tidurnya. Dia berbisik pelan ke telinga sebelah kiriku, bertanya siapakah orang yang sedang berbicara denganku di telepon saat ini. Aku hanya menempelkan jari telunjuk pada bibirku sambil melirik ke arahnya, supaya dia tidak mengeluarkan suara yang cukup keras, karena takut terdengar oleh Ibuku. Sebisa mungkin kugunakan bahasa isyarat lainnya, agar dia bisa diam dan menunggu sampai pembicaraanku di telepon selesai.

"Gimana, De ? Bisa, kan ?" tanya Ibuku kembali. Dia menyadari bahwa aku tidak segera merespon perkataannya.

"Oh, iya. Jam berapa kira - kira Naya harus udah sampai di rumah ? Sama acara makan - makannya mau dimana ?" tanyaku membalikkan pertanyaan.

"Sebelum jam makan siang, bisa ? Biar Ibu langsung kabarin Mbakmu juga sekarang untuk rubah acara. Kalau masalah tempat belum ditentuin, gimana yang mau nraktir ajalah. Kamu usahain sebelum dzuhur udah sampai rumah aja, ya," jawab Ibuku.

Otakku daritadi memikirkan sesuatu. Terlintas sebuah ide yang kupikir tidak terlalu buruk jika segera kurealisasikan menjadi kenyataan.

"Bisa, Bu, nanti Naya usahain buat pulang ke rumah secepatnya. Mmm...Naya kalau nanti bawa pacar, boleh ? Mau sekalian ngenalin sama semuanya, mumpung orangnya lagi ada di Bandung nih," kataku sambil melirik Pak Arkana yang kini sedang duduk tetap di sebelahku, dia langsung tersenyum lebar.

Hotelier's Life (Completed) [SUDAH TERBIT E-BOOK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang