Natya awalnya tidak pernah mau jika disuruh melakukan perjalanan dinas oleh kantornya. Selama hampir 5 tahun bekerja, dia seperti anak ayam yang tidak berani keluar dari kandangnya, Head Office.
Tapi ketika nama negara idamannya disebut, dengan sem...
Aku tidak ingin mengaku-akui dirimu sebagai pacarku. Karena kamu bukanlah artis Korea yang diakui semua kpopers sebagai pacarnya.
Pria berbaju hitam terlihat stanby berdiri di depan jalur khusus penumpang first class pesawat kebanggaan warga negara Indonesia. Dia terlihat berkomunikasi dengan seseorang melalui alat komunikasi di telinganya.
Disaat para awak pesawat telah mempersilakan penumpang khusus untuk keluar lebih dulu, laki-laki berperawakan tinggi itu langsung memberikan jalur khusus untuk seseorang yang baru tiba di tempat ini.
Chung Min Jun. Laki-laki muda yang memiliki dua lesung pipi sempurna itu nampak tersenyum ke arah pramugari yang terlalu baik dalam melayani perjalanannya dari Jakarta menuju Lombok ini. Sudah beberapa tahun menetap di negara Indonesia, membuatnya memahami banyak hal tentang bahasa, karakter, bahkan sampai ciri khas dari negara ini. Dan entah kenapa dia betah berhubungan dekat dengan warga yang tinggal di Indonesia.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Karena itu, setelah hampir sebulan dia kembali ke negaranya, akhirnya dia datang lagi ke Indonesia. Dengan berbekal undangan dari seseorang di pulau Lombok, dia bersedia kembali ke sini untuk bernostalgia dengan orang-orang yang sangat ramah padanya.
"Silakan lewat sini, Tuan muda Chung."
Seorang laki-laki berwajah tanpa ekspresi itu terus mengarahkan langkahnya menuju ke arah pintu keluar di mana jemputannya telah menunggu.
Chung Min Jun, laki-laki muda yang merupakan cucu orang berpengaruh di Korea memang memiliki bisnis lain yang tidak diketahui oleh banyak orang. Walaupun terlahir dari keturunan sendok perak atau yang bisa dikatakan orang kaya raya, Chung Min Jun memiliki impiannya sendiri. Yaitu ingin bebas dari ikatan nama besar tersebut sebenarnya. Namun apalah daya, setiap dia melangkah, orang-orang yang mengenalnya dengan nama itu langsung menunduk hormat padanya.
Padahal apa yang hebat dari nama itu? Dia hanya beruntung. Atau bisa dikatakan tidak sebenarnya. Karena marga yang melekat pada namanya ada milik keluarga orang terkaya di negara Korea Selatan. Hingga menjadi beban untuk dirinya sendiri.
Karena itulah, setelah dewasa, setelah dia tahu apa yang ia ingin lakukan. Chung Min Jun berusaha menggunakan nama lain untuk segala aktifitas lainnya. Agar orang yang baru mengenalnya, tidak melihat siapa orang besar dibalik namanya tersebut.
"Please, jangan panggil saya dengan nama itu." Katanya sambil terus melangkah di depan laki-laki berbadan tegap itu.
"Maafkan saya Tuan Wang Ye Jun." Ralatnya kembali.
Dia tersenyum. Nama itulah yang dia ingin dengar. Cukup sudah dia dihantui dengan marga Chung yang dimiliki oleh keluarga besarnya. Di negara lain, di tempat baru yang ingin dia kunjungi, cukup kenali dia dengan nama Wang Ye Jun.
Laki-laki berusia 24 tahun ini memang ingin membangun dunianya sendiri. Dia tidak ingin sukses dibalik bayang-bayang ayahnya atau kakeknya yang merupakan pemilik dari salah satu perusahaan otomotif kebanggaan negara Korea itu.
Karena itulah, dia mengubah arah kiblatnya. Menjalani kehidupan sesuai apa yang dia mau. Walau begitu, tetap saja dari Korea sana keluarga besarnya masih terus mematau gerak geriknya selama ini.
Tapi sayangnya Ye Jun lebih pintar. Dia tahu bagaimana caranya mengakali keluarga besarnya. Dan untungnya banyak orang baik di sekitarnya yang sukses membantunya hingga bisnisnya cukup banyak dikenal oleh semua orang.
Tentu saja bisnis tersebut tidak dipublikasi di semua media. Karena Ye Jun tahu, melakukan yang ilegal cukup dirinya dan Tuhan yang tahu.
"Apa kita ke hotel dulu, Tuan?"
"Jangan. Saya ingin bertemu dengan sahabat lama saya dulu."
Supir tersebut mengangguk paham. Mobil mewah itu lantas langsung berjalan meninggalkan bandara internasional Zainuddin Abdul Madjid, melewati banyak orang yang juga baru sampai bersamaan dengan pesawat yang ditumpangi oleh Ye Jun tadi.
Dari salah satu penumpang terlihat seorang perempuan yang nampak kebingungan. Natya, perempuan itu terlihat kesusahan menyeret kopernya sambil mencari jemputan kantornya di bandara. Dia lupa mencari tahu siapa yang menjemputnya saat ini. Untuk itulah Natya memilih menunggu. Hingga tak lama berselang dia didatangi oleh seorang bapak-bapak, membawa kain khas lombok untuk dikalungkan di lehernya.
Natya tersenyum. Ini dia orang yang akan menjemputnya.
Sampai detik ini dia masih tidak sadar, jika Tuhan sedang merangkai cerita lainnya pada destinasinya kali ini.
***
"Mbaknya asli Jakarta ya?" tanya pak Lalu, laki-laki yang bertugas mengantarkan Natya ke mana pun selama di Lombok.
"Saya sudah campuran, Pak. Enggak jelas orang mana."
"Tapi cantik. Tulang pipi Mbaknya khas banget. Mirip orang Sumatera."
Natya lagi-lagi tertawa. "Iya sih, Pak. Saya ada turunan Sumateranya."
"Pantes. Mirip istri saya." Tawanya bahagia.
Natya merasa bersyukur, lagi-lagi perjalanannya ditemani oleh orang-orang baik. Setidaknya seminggu di Lombok, dia tidak akan merasa bosan.
Karena sebelum-sebelumnya, ketika mendapatkan perintah untuk tugas luar kota, hal seperti itulah yang Natya takuti. Ia takut dan bingung jika harus sendirian di tempat atau negara orang lain. Tapi ternyata ketika ia menjalaninya, semua pikiran dan ketakutan itu lenyap.
Dia bahagia, bisa mengenal orang baru lagi.
"Bapak asli sini ya?"
"Iya. Saya asli sini. Ketemu istri karena waktu itu istri dapat tugas dari kantor ke sini."
"Oh, gitu. Wah. Apa saya nanti juga begitu, Pak?" tanya Natya dalam tawa.
Bapak itu melihat Natya sekilas, lalu menggeleng. "Mbaknya cantik. Bisa dapat bule. Jangan kayak saya, tahunya cuma Lombok saja."
"Hahhaa, bisa aja Bapaknya."
"Saya serius loh, Mbak. Kenapa saya ngomong begini, karena akhir-akhir ini saya cukup kecewa dengan anak-anak muda di sekitar saya yang memiliki cara pemikiran cukup singkat, atau bisa dibilang pemikirannya tidak luas. Karena itu, saya sih berdoa supaya Mbaknya bisa dapatin orang bule. Ya, beberapa orang bule yang saya kenal dan pernah saya pandu di sini, punya pemikiran luas. Dan cukup sukses dengan cara pemikiran mereka."
"Begitukah?"
"Eh, tapi Mbaknya belum punya pacar, kan?"
"Belum, Pak. Mana ada yang mau sama saya."
"Jangan merendah, Mbak. Semua orang berhak memiliki standarisasi pasangan yang tinggi. Cuma ya gitu, kadang mereka suka lupa untuk improve dirinya sendiri. Sehingga jatuhnya tuh kayak mimpi. Bener enggak, Mbak?"
"Hahha, Bapaknya bisa aja. Seneng saya ditemeni Bapak selama di sini."
"Saya yang seneng, bawa tamu cantik kayak Mbaknya. Tapi ngomong-ngomong kita langsung ke hotel apa gimana?"
"Jangan, Pak. Saya ada janji dengan konsumen langsung. Biasalah ngomongin masalah barang. Langsung aja ketemuan. Katanya dia nunggu di restoran ini."
Natya menunjukkan alamat restonya kepada pak Lalu.
"Siap, Mbak. Saya antar ke sana. Nanti juga kalau ada orang bule, saya yang kenalin langsung ke Mbaknya."
"Boleh, Pak."
Tidak sedikitpun Natya menolak kata-kata pak Lalu ketika ingin dikenalkan oleh para turis bule di sini. Karena dia tahu, menghapus kenangan lama itu hanya bisa dilakukan dengan cara menghadirkan orang baru. Dan dia butuh kencan buta saat ini.
Continue.. Whakakaka... Takdir mereka terus bersinggungan kayaknya...