Bagaimana bisa aku menjawab, iya, jika kamu saja masih suka pergi tiba-tiba tanpa ada ucapan kata pisah.
Masih saling menatap satu sama lain, tiba-tiba saja Natya tertawa geli. Dia mencubit gemas pipi Ye Jun sebelum bergumam kepada laki-laki itu.
"Menikah? Tuhan kita aja beda."
Kalimat dari Natya berhasil memupuskan harapan Ye Jun. Laki-laki itu berusaha menutupi perasaan kecewanya. Namun anehnya Natya seakan tahu bagaimana perasaan Ye Jun kini. Apa karena dia juga merasakan perasaan yang sama?
"Enggak usah sedih gitu dong. Lagi juga setelah transaksi ini selesai, kita juga enggak akan ketemu lagi. Jadi enggak perlu dianggap serius." Kata Natya masih mencoba mengelak sesuatu yang terasa sangat perih.
Padahal sebelum Ye Jun datang tadi, dia benar-benar sudah sangat ketakutan bila suatu saat dirinya tidak akan bertemu Ye Jun lagi.
Akan tetapi kini, Natya seperti sedang menjalani pribadinya yang lain. Dia terlihat baik-baik saja. Bahkan aktifitasnya menawarkan Ye Jun minuman pun seakan tidak ada perubahan penting dalam dirinya.
Mungkin inilah yang sering diartikan jika perempuan paling ahli menyembunyikan perasaan. Buktinya kini Ye Jun yang mulai kelabakan.
Dia sengaja menahan tangan Natya. Memaksanya untuk duduk di atas meja kecil, yang berhadapan langsung dari sofa tempat Ye Jun duduk.
Sebelah tangan Ye Jun mulai perlahan menyentuh bagian pipi Natya, sampai ia pun menyelipkan helaian rambut Natya ke belakang telinga perempuan itu.
Tanpa sadar, Ye Jun meringis.
"Aku sudah terjebak oleh kata-kataku sendiri. Pada awalnya aku yang bilang, jika Tuhanmu selalu menjagamu. Sekarang aku malah membawamu menuju ke tempat lain. Hingga kamu kesulitan menjangkaunya."
Natya menepuk-nepuk bahu Ye Jun, sambil berkata sesuatu padanya. "Mungkin takdir kita memang seperti ini. Kita pernah bersinggungan, tapi masalahnya garis kita tidak akan pernah bisa berhenti ketika melewati tempat yang sama."
Ye Jun sangat menyetujui atas apa yang Natya katakan. Dia juga salah memilih keputusan dadakan ini hanya karena tidak ingin menerima takdir yang lain. Tapi masalahnya apa dia mampu menjalani takdirnya yang lain, secara hatinya sudah terpaut pada sosok Natya.
"Kenapa?" tanya Natya ketika Ye Jun masih memerhatikan wajahnya.
"Yah, mungkin Tuhan kita memang berbeda. Tapi semoga saja hati dan perasaan kita tetap sama."
Setelah mengucapkannya, Ye Jun sengaja berdiri, sedikit membungkuk untuk mencium kening Natya, barulah laki-laki itu melangkah pergi.
Dia tahu, untuk mengubah takdir mungkin butuh sebuah pengorbanan lebih. Apalagi mengenai takdir hati.
"Mau ke mana?" tanya Natya saat perempuan itu merasa kehilangan.
"Pulang." Katanya singkat. Namun setelahnya, Ye Jun menambahkannya lagi. "Pulang ke negaraku."
***
Transaksi itu berhasil diselesaikan. Barang tersebut sudah diberikan Ye Jun kepada Putu sebelum laki-laki itu pergi.
"Terima kasih Mbak Natya, senang berbisnis dengan anda."
Natya berusaha menarik sudut bibirnya, sekarang dia akan kembali ke Jakarta, melanjutkan rutinitasnya sebagai seorang karyawan.
"Sama-sama. Walau bapak sudah mengacaukan performance saya kepada atasan saya, tapi saya tahu, bapak juga tidak bisa berbuat banyak hal."
Keduanya saling bersalaman, mengakhiri hubungan kerja sama ini dengan cara baik-baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Man With Dimple's
FanfictionNatya awalnya tidak pernah mau jika disuruh melakukan perjalanan dinas oleh kantornya. Selama hampir 5 tahun bekerja, dia seperti anak ayam yang tidak berani keluar dari kandangnya, Head Office. Tapi ketika nama negara idamannya disebut, dengan sem...