Ditahan akan sesak, dikatakan pun tidak akan berdampak.
Putu kembali dari toilet dengan kondisi Ye Jun serta Natya tidak dalam keadaan baik-baik saja. Dua orang itu terlihat sekali salah tingkah, bahkan tidak nyaman duduk berdekatan.
"Udah nostalgianya?" goda Putu.
Laki-laki asli Bali itu melihat Ye Jun dan Natya bergantian. Kedua orang itu sama sekali tidak ingin membalas tatapan Putu, seakan takut kondisi mereka berdua ketahuan oleh Putu.
"Yowes, kita mulai aja gimana?" tanya Putu serius. "Gue undang lo ke sini bukan tanpa alasan, bro." Sambungnya berusaha menarik perhatian Ye Jun.
"Ini soal bisnis lo. Dan kebetulan ada salah satu rekan bisnis gue, dia enggak mau gue sebut namanya, minta tolong gue. Buat mendapatkan barang-barang dari bisnis lo itu. Tapi masalahnya. Lo tahu sendiri kan Indonesia itu peraturannya kayak apa. Kadang memang terlihat berlebihan, tapi gue tahu ketentuan negara ini yang sudah ketat aja masih bisa dimanfaatkan oknum-oknum kayak lo. Jadi gue pikir.... Gue lebih baik sewa jasa perusahaan Natya ini untuk berurusan sama bisnis lo langsung."
"Gimana, mbak Natya?"
"Ah, gimana apanya?" tanya Natya tidak fokus. "Maaf-maaf, saya kurang paham. Maksudnya kayak gimana nih? Saya ke sini atas perintah dari atasan saya. Dan kerja sama kita masih berlanjutkan?"
"Masih-masih. Tapi.... " Putu melirik Ye Jun sekilas, apa mungkin dia memberitahu Natya soal bisnis Ye Jun.
"Apa enggak terlalu banyak pihak?" ungkap Ye Jun. "Kalau memang teman bisnis lo butuh, bisa langsung kontak tim kerja gue, kan?"
"Enggak bisa. Karena dia orang penting di negara ini. Orang yang punya nama kuat dan berpengaruh."
"Siapa? Your president?" selidik Ye Jun.
"No. Bukan. Kenapa lo sampai mikir ke sana?"
"Gue hanya tebak. Lo terlalu menutupi dia siapa."
"Tunggu-tunggu. Maksud kalian ini apa ya? Kok saya enggak paham." Kata Natya melirik Putu dan Ye Jun bergantian. "Bukannya saya diundang ke sini karena bapak Putu mau kami bantu untuk memenuhi barang yang diinginkan. Lalu?"
"Yah, pokoknya gini. Nanti mbak Natya bisa berkomunikasi langsung dengan Ye Jun. Di sini mbak Natya saya pertemukan dengan pemilik langsung dari orang yang bisa menyediakan barang yang saya inginkan."
"Loh, kalau gitu kenapa harus lewat jasa perusahaan kami?" tanya Natya curiga. "Saya jelaskan kembali ya, Pak Putu. Perusahaan di mana saya bekerja itu bergerak dalam jasa penyedia barang. Baik itu ekspore maupun impor. Jadi pihak kami lah yang mencarikan barang yang Bapak inginkan. Kami akan memberikan banyak pilihan dari contoh barang itu. Misalkan, Bapak ingin beli sepeda. Kami akan menyodorkan beberapa banyak merk dari barang tersebut ke Bapak. Atau misalkan...."
"Tapi perusahaanmu bersedia menawarkan jasa pengurusan pembelian barang, kan?"
Satu alis Natya terangkat tinggi. Dia melirik Ye Jun yang tidak bersuara. "Sebenarnya barang apa yang ingin kami sediakan?"
Natya hanya bisa terdiam ketika Putu membisikkan sesuatu ke telinganya. Dia melotot tajam, melihat wajah Ye Jun yang masih tenang-tenang saja.
Ternyata laki-laki satu malamnya di Myeongdong memang bukan orang sembarangan.
***
"Bapak kenapa enggak bilang kalau proses transaksi kali ini memang diluar kendali kita?" tanya Natya dalam sambungan telepon dengan bosnya di Jakarta.
Perempuan itu kebingungan setengah mati memikirkan bagaimana caranya melakukan transaksi ilegal seperti ini. Memang benar sudah lima tahun dia bekerja di perusahaannya itu. Namun baru kali ini dia mengalami transaksi yang tidak wajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Man With Dimple's
FanfictionNatya awalnya tidak pernah mau jika disuruh melakukan perjalanan dinas oleh kantornya. Selama hampir 5 tahun bekerja, dia seperti anak ayam yang tidak berani keluar dari kandangnya, Head Office. Tapi ketika nama negara idamannya disebut, dengan sem...