Part 11

54 6 0
                                    

"Kita harus mendapatkan Ananta, mbah. Aku tidak mau usahaku sia-sia, apalagi aku sudah membayar mahal padamu. Jika sampai gagal, aku pastikan kau akan aku bawa ke pengadilan dan ku penjarakan." Ancam Laras.

Sang Dukun hanya tersenyum mengejek. Sebelum dia di penjara, bisa dipastikan jika Laras akan lebih dulu mati. Lagipula siapa yang mau percaya tentang hal gaib, sekalipun Laras melaporkannya tidak akan ada bukti yang bisa membuatnya mendekam di balik jeruji besi.

Sang Dukun mengamati lawannya. Dia tidak habis pikir, hanya demi roh seorang gadis. Tapi yang melindungi bukanlah orang sembarangan. Braja pun lebih memilih untuk menonton. Tidak apa, dia bisa memerintahkan jin-jin yang memang sudah di peliharaannya sejak lama.

Pramudya dan Aksa mendekati gerbang. Mencoba untuk bernegoisasi dengan Laras dan Sang Dukun. Walau sebenarnya Aksa malas, toh baik roh anaknya dan tubuhnya sudah berada di tempat yang sama. Namun setelah dipikir ulang, sumber masalah memang harus di singkirkan. Dia tidak mau kejadian seperti ini akan terulang.

" Laras. Aku tidak menyangka kau melakukan hal gila seperti ini. Dimana hati nuranimu? Kau itu juga seorang Ibu sama seperti Hilda." Ucap Aksa dengan lantang.

" Ah sepertinya kau sudah tau ya? Tapi percuma saja, anakmu akan menghilang selamanya dari dunia ini." Ucap Laras sinis.

" Memang apa salah Nanta? Kenapa kamu tega berbuat begini? Kalau kamu memang punya masalah padaku, jadikan aku sebagai sasaranmu bukan malah membuat Nanta dan Hilda jadi seperti ini." Balas Aksa, dia masih menatap tajam pada kedua orang di depannya. Orang-orang yang bertanggung jawab atas semuanya.

"Kau! Berapa perempuan itu membayarmu? Bantu aku mengembalikan semuanya seperti semula dan aku akan membayarmu berlipat ganda." Ucap Aksa pada sang dukun.

Sang Dukun terlihat berpikir. Toh sebenarnya tidak masalah jika dia membantu Aksa, dia juga tidak akan merugi. Namun yang jadi masalah adalah Braja. Jika dia tidak mendapatkan gadis itu, nyawanya akan menjadi milik Braja.

" Kau pikir bisa membeli kesetiaanku? Tidak! Aku menginginkan roh gadis itu, sejak awal perjanjian jiwanya sudah menjadi milikku."

" Dia takut jika jiwanya menjadi tumbal pengganti Ananta." Ucapan Alois berhasil menarik perhatian yang lain.

"Pengecut. Kalau tidak siap mati, seharusnya kau tidak usah bermain api." Ujar Mandali sembari menatap Sang Dukun yang terlihat terkejut karena lawannya bisa mengetahui ketakutannya.

"Braja. Apa kau benar-benar tidak akan ikut campur kali ini?" Suara khas Kala terdengar menggelegar, lagi-lagi sang Dukun di buat terkejut. "Apalagi ini?" Batin sang Dukun.

" Tidak. Aku hanya akan menjadi penonton. Aku sudah tidak tertarik lagi pada urusan ini. Jadi, selesaikan dengan cepat. Agar kita bisa segera kembali dan aku mendapatkan dua budak sekaligus." Ucap Braja.

"Apa kau tau dimana jasad keponakanku?" Tanya Aksana.

"Sudah tidak ada. Dia sudah tidak memiliki raga." Jelas Braja. Aksana marah. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan Laras.

"Kau wanita iblis. Tidakkah kau menyayangi anakmu satu-satunya? Tidakkah kau mencintainya?" Teriak Aksana pada Laras yang hanya bisa diam dengan segala pikirannya. Laras menyayangi Karen, karena itu dia melalukan semua itu. Dia hanya ingin Karen bahagia dan mendapatkan kehidupan yang baik, kehidupan seperti gadis kebanyakan.

"Aku mencintainya. Dia anakku. Aku hanya ingin dia bahagia." Ucapnya lirih namun masih dapat di dengar dengan baik oleh Brata dan yang lain.

"Itu bukan cinta. Itu hanya keegoisanmu. Dasar wanita bodoh." Sergah Mandali geram. Manusia dengan segala sifat egoisnya lalu mengatasnamakan cinta sebagai pembelaan.

"Serahkan roh gadis itu. Maka aku tidak akan membuat kalian terluka atau mati." Ucapan sombong sang Dukun malah membuat Kala tertawa terbahak-bahak. Brata hanya menatap sinis pada manusia bodoh yang berdiri tak jauh dari mereka itu. Satu kali kibasan buntutnya bahkan bisa membuat manusia sombong itu terbang ratusan kilo meter dari tempat ini.

"Manusia sombong." Sinis Mandali.

"Aksa, apa yang ingin kau lakukan?" Tanya Alois.

"Aku tidak ingin dia mati, Alois. Buat saja semua makhluk yang mengepung kita pergi dari sini dan Braja mendapatkan apa yang dia inginkan." Jawab Aksana, dia menatap Pramudya dan Bayu.

"Terserah om Aksa saja. Toh sebenarnya ini medan peperangan antara Om dan mereka. Aku dan Ayah hanya membantu." Ucap Bayu.

"Betul, mas. Lakukan yang ingin kau lakukan. Kami mendukung apapun keputusanmu, yang aku inginkan sekarang hanyalah nama keponakanmu agar Ananta bisa kembali ke tubuhnya. Mengenai roh keponakanmu, nanti kita pikirkan kembali." Jelas Pramudya.

"Karenina. Namanya Karenina Prameswari." Jawab Aksana.

Tanpa peringatan, tiba-tiba saja semua makhluk astral yang mengelilingi mereka menyerang. Memang hanya makhluk-makhluk lemah. Namun jumlah mereka yang tidak sedikitlah yang menjadi masalah. Mandali dengan cekatan menghalangi serangan dari arah belakang dibantu oleh Genderuwo yang pernah mengganggu Ayunda. Brata memperbesar tubuhnya, mengelilingi semua dan mengibaskan ekornya. Sekali kibasan saja, semuanya menghilang tanpa bekas. Kala dan Alois bersiap kalau tiba-tiba sang Dukun memanggil bala bantuan lain, seperti yang sudah Braja peringatkan.

Di dalam rumah nenek Asih berusaha memperkuat pagar gaib. Agar tidak ada satu makhluk astral yang bisa masuk. Pohon beringin milik Santika pun terlihat berpendar kehijauan. Menandakan sang empunya sedang memperkuat pertahanan agar tidak bisa di tembus.

"Kala. Bersiaplah. Aku merasakan energi yang tidak biasa. Mungkin akan muncul makhluk yang lebih kuat." Ucap Alois.

"Ya. Aku juga merasakannya. Menyusahkan saja. Pramudya, jika ini selesai kau harus menepati janjimu untuk membebaskanku." Ucap Kala.

"Selesaikan dulu. Baru kau boleh pergi. Toh ayahku juga sudah tidak masalah jika kau kembali ke asalmu." Balas Pramudya.

Mendengar itu Kala menjadi lebih bersemangat. Dia sudah lama ingin kembali ke kerajaannya. Dia sudah terlalu lama menghilang dari tempat tinggalnya.

"Kau sudah berjanji untuk ikut aku kembali, Braja. Jangan mengingkari janjimu adikku." Ucap Kala mengingatkan Braja.

"Lelaki pantang menarik ucapannya, kak. Tidak usah banyak bicara. Musuhmu sudah muncul. Habisi dia dan aku akan ikut kembali bersamamu." Ujarnya.

Di dalam rumah, nenek Asih yang sedang berkonsentrasi untuk menahan para makhluk tidak masuk sedikit kewalahan. Karena bagaimanapun dia hanya sendiri, dia tidak bisa meminta tolong pada Karen.

"Nek, tidak adakah yang bisa aku lakukan. Sepertinya bayangan-banyangan hitam itu semakin banyak." Ucap Karen.

"Cah ayu duduk saja di samping nenek. Jangan jauh dariku apapun yang terjadi. Ini masih awal, sebentar lagi akan ada serangan yang lebih besar. Semoga mereka bisa mengatasinya." Balas Nenek Asih. Karen menganggukkan kepalanya dan mendekati nenek Asih. Karen menatap ke arah luar, melihat sang Mama dan sang Dukun.

"Aku menyesal membantu mama jika akhirnya seperti ini. Maafkan aku Nanta karena terbujur oleh kata-kata mama." Isak Karen.

Bayu Bhaskara : Gendis (HIATUS sampai waktu yang tidak ditentukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang