#08 | Collapse

5.2K 286 12
                                    

Suasana hangat menyelimuti kebersamaan dirumah ini. Mereka makan malam bersama sambil saling bercengkrama. Juan yang bernostalgia mengingat bagaimana temannya dahulu yang sekarang malah menjadi adik iparnya itu. Keempat orang dewasa disana sama-sama bernostalgia mengingat masa lalu mereka.

"Haha... andai Jevan masih ada mungkin akan semakin lengkap rasanya" ujar Juan mengingat salah satu sahabatnya sewaktu masih SMA dulu, yang sudah pergi mendahului mereka.

"Jevan pasti juga bahagia lihat kita disini sekarang, dari sana" ucap Zavi menimpalinya. Jenny dan Nara sama-sama tersenyum mengingat satu nama tersebut. Nama yang sangat berarti bagi mereka.

"Paman Jevan itu siapa?" pertanyaan polos itu terlontar dari bocah enam tahun disana, Raza.

Nara tersenyum mengacak surai sang anak sayang, "Paman Jevan itu teman ayah Raza sama Paman Juan, sayang" jelas Nara.

"Ooo, terus sekarang Paman Jevan dimana?" tanya bocah itu lagi.

"Paman Jevan sekarang sudah di surga, sayang" giliran Jenny yang berbicara.

Raza mengangguk mengerti, "Berarti Paman Jevan orangnya baik ya, aunty? Kata guru Raza orang yang masuk surga itu orang baik" ujar Raza lagi pada Jenny. Jenny mengangguk mengiyakan ucapan Raza.

"Raza emangnya ngerti surga itu dimana, heh?" tanya Zara pada adiknya itu.

Raza mengangguk semangat, "Surga itu ada dilangit, jauuuuuuuhhhh dilangit sana. Terus surga itu juga besar dan bagus banget" ujarnya bersemangat.

"Hahaha... sok tau lo bocah" ledek Zara sambil mencubit pipi adiknya itu, membuat Raza mendengus sebal dan mengadukannya pada sang ibu.

"Bunda, kakak nyebelin. Pipi Raza sakit~" adu bocah itu sambil merengut lucu, semua disana tertawa melihat ekspresi Raza yang sangat lucu saat kesal dengan kakaknya. Semuanya, kecuali Danial yang diam sejak awal makan.

Ia bahkan tidak memakan nasinya sama sekali, hanya terus menundukkan kepalanya. Dariel yang sadar akan itu menyentuh bahu Danial dan bertanya padanya. "Dan, lo gapapa?" tanyanya khawatir.

Danial hanya menggeleng tanpa menjawabnya. Ia merasakan kepalanya sangat pusing yang membuat nafsu makannya hilang. Belum lagi perutnya yang terasa tidak enak.

Tangannya terulur untuk menyentuh hidungnya saat merasakan sesuatu mengalir dari sana dengan cukup deras. Dapat dilihatnya tangan yang ia gunakan untuk menyentuh bawah hidungnya terdapat cairan merah, darah.

'Please jangan sekarang'

Danial beranjak dari sana sambil menutupi daerah hidung dan mulutnya yang sudah dipenuhi darah. Membuat semua orang disana menatap kepergiannya dengan wajah bingung.

Sekali lagi Dariel yang lebih dulu sadar segera menyusul Danial. Membuat yang lain semakin bingung. Ia mengikuti langkah Danial yang ternyata menuju ke kamar mandi.

Terdengar suara batuk samar dari sana, membuat Dariel cemas seketika. Ia mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi sambil menyerukan nama Danial.

"Dan, lo baik-baik aja 'kan?" pertanyaan bodoh yang Dariel ucapkan. Jelas ia tau Danial sedang tidak baik-baik saja. Ia mencoba membuka pintu tersebut dengan paksa karena terkunci dari dalam.

"Danial! Jawab gue!" ujar Dariel setengah berteriak, ia benar-benar cemas sekarang. Danial tak kunjung menyahutinya. "Bukain pintunya, Dani! Jangan bikin gue cemas"

Danial yang berada didalam tengah berjongkok didepan closet dan memuntahkan seluruh isi perutnya, tidak menghiraukan suara Dariel dari luar. Darah dari hidungnya bahkan belum berhenti, membuatnya menetes kemana-mana. Tubuhnya lemas, benar-benar sangat lemas.

HiganbanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang