#21 | A Bad Reality

2.7K 229 11
                                    

Juan mengemudi dengan kecepatan penuh. Disampingnya ada Jenny, sang istri yang sudah menangis sejak Dariel menelepon tadi. Mereka langsung kembali saat anak kedua mereka itu memberi kabar buruk tentang kondisi anak bungsu mereka.

Bahkan rapat pentingpun mereka tinggalkan demi anak bungsu mereka. Juan terlalu mudah panik kalau sudah menyangkut anak bungsunya.

Perjalanan untuk kembali ke kota mereka membutuhkan waktu lebih dari dua jam. Disepanjang perjalanan sudah berulang kali mereka hampir mengalami kecelakaan, karena Juan yang mengemudi dengan cepat. Tapi beruntung mereka masih bisa sampai dengan selamat.

Dan akhirnya mereka sampai di rumah sakit pukul sembilan malam. Setelah memarkirkan mobilnya, Juan dan Jenny segera memasuki rumah sakit dan menuju ke ruang rawat yang sudah diberitau Dariel sebelumnya.

Saat sampai disana mereka melihat anak kedua mereka sedang berada diluar ruangan Danial bersama dua orang anak yang tak lain Jerio dan Hidan. Dua anak itu masih setia disana untuk menemani Dariel.

“Dariel, sayang” panggil Jenny, membuat Dariel menoleh cepat.

Jenny langsung mempercepat langkahnya dan memeluk Dariel erat. Dibelakangnya Juan menyusul. Dariel bisa lihat wajah kacau ayahnya sama sepertinya. Sedangkan sang ibu menangis dipelukannya.

“Dariel, gimana keadaan adek kamu?” tanya sang ayah padanya.

Jenny melepaskan pelukkannya pada sang anak dan ikut menatap Dariel seolah ingin tau juga bagaimana keadaan Danial sekarang. Dariel menggeleng ragu.

“Masih belum baik”

Rasanya tubuh Jenny melemas, air matanya bahkan tak henti mengalir. Juan segera menenangkan sang istri sambil mengusap pundaknya.

“Ibu mau lihat Danial” ujar Jenny parau dan sudah akan masuk ke ruang rawat Danial.

“Tunggu, bu. Dokter menyuruh kalian ke ruangannya kalau kalian udah datang, masalah Danial” ucap Dariel mengentikan sang ibu yang mau membuka pintu.

Juan mendekati sang istri kembali, “Kita temui dokter dulu, ya. Baru lihat Danial” ucap Juan. Jenny menuruti kata Juan, mereka pergi ke ruangan dokter seperti yang diberitau Dariel tadi.

Setelah kedua orangtuanya pergi, Dariel berbalik dan memandang Jerio dan Hidan yang terlihat kusut sekali.

“Kalian berdua pulang aja, ini udah malem. Orangtua kalian pasti nyariin” ujar Dariel membuat keduanya mengangkat kepalanya.

Hidan melihat jamnya, benar memang sudah malam. Apalagi dirinya kesini tanpa izin kakaknya sebelumnya. Pasti kakaknya sedang mengkhawatirkan dirinya di rumah sekarang.

“Beneran gapapa kita pulang El?” tanya Jerio.

Dariel mengangguk dan memaksakan untuk sedikit tersenyum kearah Jerio dan Hidan. “Iya, kalian pulang aja. Makasih udah temenin gue tadi”

“Kalo gitu kita pulang ya El. Besok gue kesini lagi buat jengukin Al” ujar Jerio.

“Dariel, kita pamit dulu” ujar Hidan.

Dariel tersenyum tipis. Jerio dan Hidan kemudian meninggalkan Dariel sendirian disana untuk pulang ke rumah mereka masing-masing. Dariel diam didepan ruangan Danial, benar-benar diam tak bergerak. Ia memikirkan kemungkinan apa yang sedang dibicarakan dokter dengan orangtuanya.

Dariel tau ada yang tidak beres, ia bisa merasakannya. Apapun yang dirasakan Danial, Dariel juga merasakannya.

Ia kemudian masuk ke ruang rawat Danial untuk sekadar menemani adiknya itu sambil menunggu kedua orangtuanya kembali. Dilihatnya Danial yang masih terlelap dengan masker oksigen menutupi mulut dan hidungnya.

HiganbanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang