Rindu

1.9K 187 8
                                    

Irene mondar-mandir di kamarnya, ia baru saja mendapat telepon dari Mamanya. Mamanya bilang Mama dan Papa-nya akan pulang dan ingin bicara dengan Irene.

Irene sudah yakin ini pasti karena Irene yang tidak ikut menemui acara dengan kolega Papanya, apalagi Irene menghilang dan tidak bisa dihubungi setelahnya.

Irene menarik nafas, ia harus tenang agar bisa merangkai kata-kata yang akan dirinya beri sebagai alasan pada kedua Orang tuanya. Tapi Irene benar-benar tidak bisa tenang, sebagai anak yang tidak pernah membangkang dan selalu menurut membuat Irene tidak mendapatkan ide apapun untuk berbohong pada kedua orang tuanya.

Irene keluar dari kamarnya, berharap ada ide yang muncul saat dirinya berjalan-jalan seperti ini. Irena bahkan sekarang tidak berpikir untuk mengirimkan chat pada Mino saat dirinya sudah mendapat kesempatan bagus.

Orang tuanya lebih penting untuk bisa Irene hadapi dari pada pemuda yang selalu membuat dirinya berdebar itu.

Irene berhenti saat melewati pintu kamar Adiknya yang dibiarkan terbuka, Irene kembali mundur selangkah dan mendapati Jisoo yang sedang menonton sesuatu.

Meski ragu kini Irene melangkahkan kakinya memasuki kamar adiknya itu, merasa ada langkah kaki mendekat Jisoo kini mengalihkan pandangannya ke samping. Mengernyit menemukan Irene yang kini sudah berdiri di samping tempat tidurnya.

"Ngapain lu?" Tanya Jisoo galak.

Irene meneguk ludahnya merasa gugup, "Kaka boleh nanya?"

Jisoo melengos tidak peduli, "Keluar deh lu, ganggu aja kesenangan gue."

"Kamu biasanya ngasih alasan apa ke Mama Papa pas kamu bohong?" Irene tidak mendengarkan ucapan Jisoo tadi dan malah melemparkan pertanyaan.

Jisoo tersentak kaget tapi selanjutnya tertawa meremehkan, "Kenapa? Lu abis bohong dan sekarang lagi nyari alasan."

Irene mengangguk pelan, berharap Jisoo berbaik hati hari ini dan memberinya sebuah ide untuk menghadapi orang tua mereka.

"Gue enggak peduli sama urusan lu, jadi sebaiknya lu keluar dari kamar gue." Ucap Jisoo datar, ia merebahkan dirinya dan tidur memunggungi Irene.

Irene menghela nafas kasar sebelum berbalik dan berjalan keluar dari kamar adiknya, Irene berhenti saat mendengar gumaman dari Jisoo.

"Kenapa lu banyak berubah akhir-akhir ini ka? Mulai dari lu yang berani bersanding dengan Mino sampai lu yang ngebohongin orang tua yang selama ini selalu muja lu."

-

Irene hendak kembali berjalan ke kamar nya setelah menutup perlahan pintu kamar adiknya, tapi pergerakannya tergenti saat mendengar pintu utama rumah yang ditempatinya terdengar.

Nafas Irene kini jadi memburu, dada nya sesak tiba-tiba. Di tambah lagi dengan panggilan yang menyerukan namanya.

"Irene? Dimana kamu? Papa sama Mama datang." Suara papanya yang lembut itu terdengar mengerikan di telinga Irene.

Dengan segenap perasaan takut yang mengerubunginya Irene perlahan berjalan ke arah ruang tamu yang sudah terdapat ke dua orang tuanya.

Irene berdehem, kini mencoba tersenyum dengan selebar mungkin di hadapan kedua orang tuanya.

"Mama sama papa udah datang." Irene berjalan untuk mengecup pipi kedua orang tuanya dan mendudukan diri di sofa di sebelah mamanya.

"Hm, kamu lama banget." Ucap mamanya. Irene hanya tersenyum tipis.

"Adik kamu yang bandel itu mana?" Irene melirik ke pintu kamar Jisoo yang sudah dirinya tutup.

"Jisoo lagi tidur."

Papanya berdecak tidak percaya, "Anak itu bisanya cuman tidur aja."

Irene hanya mengulum bibirnya ke dalam, tidak ingin menanggapi ucapan kedua orang tuanya yang menjelekan adiknya seperti biasa.

"Kamu kemarin kemana sampai enggak bisa dihubungin?" Inilah pertanyaan yang sangat Irene takuti sedari tadi, di tambah dengan tatapan penasaran dari kedua orang tuanya.

"Hm, maaf ya pa ma. Irene pasti malu-malu in papa sama mama, kemarin Irene ada tugas yang harus dikumpulkan ke kampus dan juga ponsel Irene mati jadi enggak bisa menghubungi kalian."

Mama Irene tersenyum dengan lembut, "Gapapa sayang, lain kali jangan kaya gitu lagi ya. Coba hubungin papa sama mama kalau kamu enggak bisa."

Irene bernafas lega, ternyata perjuangan menjadi anak emas dikeluarganya bisa membawa dirinya kepada hal baik dengan tidak pernah di marahi.

-

Jisoo yang tadinya mengintip di balik pintu kamarnya tersenyum sarkas, jika saja dirinya yang ada di posisi itu pasti dia sudah dimarahi habis-habisan. Di ikuti dengan umpatan menyakitkan dari kedua orang tuanya.

Jisoo kembali ke tempat tidur, meraih ponselnya dan menatap miris saat tidak ada pesan ataupun panggilan dari orang yang dirinya tunggu.

"Kayanya tempat gue emang udah tergantikan." Gumam Jisoo pilu.

Ia menaruh ponselnya dan kembali menidurkan diri, mengabaikan panggilan dan pesan-pesan dari kekasihnya—Suho.

Biasanya jika badmood seperti ini Jisoo akan pergi ke bar dan mencari kesenangan di sana, tapi kini rasanya malas saat tidak akan ada lagi yang membawanya pulang dan menceramahinya panjang lebar.

"Ah gue rindu lu Bob."

-

"Apasi bang? Lu mau ngomong apa sampai ganggu tidur gue?" Bobby mendecak, menyandarkan dirinya di sofa dengan mata yang terbuka dan tertutup terus menerus.

"Gue nyuruh lu buat cuci muka dulu."

"Ah, kalau gue cuci muka nantinya susah buat tidur lagi." Mino hanya mencibir.

Mino menghela nafas sebelum menyimpan pelan sebuah kalung emas dengan hati-hati di meja yang memisahkan dirinya dengan Bobby.

Bobby mengernyit melihatnya, "Lu mau ngasih kalung ini buat cewe? Tumben diliatin dulu ke gue."

Bobby mengambil kalung itu dan membolak-baliknya. Meneliti apakah kalung itu bagus atau tidak.

"Kalung itu gue temuin di rumah lama kita." Perkataan Mino membuat pergerakan Bobby berhenti dan kini memandang Mino dengan melotot.

Bobby terkekeh, "Kaga usah bercanda ah bang, gue tau lu mana mungkin berani ke tempat itu sendiri."

Mino menatap Bobby dengan sungguh-sungguh membuat Bobby kini mengatupkan bibirnya.

"Lu serius? Lu kesana sendiri."

"Gue kesana sama Irene."

"Kakanya Jisoo?" Tanya Bobby tidak percaya.

"Hm, gue ceritan tentang Irene nanti. Tapi yang pasti pas Irene genggam tangan gue ketakutan gue rasanya sirna."

"Terus kalung ini punya siapa?" Bobby dan Mino meneliti kalung yang masih Bobby genggam.

"Pembunuhnya. Gue kesana dan gue kaget saat nemuin banyak banget tulang-tulang manusia berserakan, Irene bahkan sampai enggak berhenti nangis."

Bobby menggeleng, dulu mereka memang hidup dengan dikelilingi pembunuhan dan juga teror dari manapun. Mengetahui mereka hidup bergelimang harta membuat semua orang iri pada keluarga mereka.

"Itu semua tulang-tulang keluarga kita?"

"Gue enggak tau Bob, semuanya berserakan dan gue enggak bisa mastikan jelas."

Bobby mengacak rambutnya frustasi, kantuknya kini hilang begitu saja mendengar penjelasan Mino.

"Kita harus balik lagi ke sana. Kita harus bisa menyelidiki semuanya berdua bang, keluarga kita harus dapat keadilan." Mino mengangguk sebagai jawaban.

-

Yuhu, konflik besar dimulai.

Different (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang