"Ngapain?" tanya Harvey yang berdiri tepat di samping meja. Ia ingin duduk, tetapi Marvelyn sedang menduduki kursinya.
"Bikin surat izin keluar kelas. Gak liat nih tulisannya udah jelas gini?" jawab Marvelyn yang mendapat dengusan kecil dari Harvey. "Ya gua juga tau. Maksud gua, lo mau ngapain?"
"Ngurusin DBL," ucapnya tanpa menoleh. Marvelyn memasukkan pulpen ke dalam kotak pensil. Mengambil lima carik kertas yang ia geletakkan di meja Harvey.
"Ayo, La!" ajak Marvelyn bangkit dari tempat duduk Harvey. Yang dipanggil mengangguk, mengikuti langkah gadis itu. Keduanya menghampiri guru yang sedang mengajar di kelas mereka. Meminta izin untuk keluar kelas. Setelah disetujui, Marvelyn dan Clara beranjak keluar kelas.
Melihat kepergian Marvelyn dan Clara, Elvano menghampiri Harvey yang sibuk mengurus keperluan rapat OSIS yang diadakan setelah istirahat kedua. "Sibuk bos?" tanya lelaki itu lalu menduduki bangku Marvelyn yang kosong. "Keliatannya?" Harvey memasukkan data-data tersebut ke dalam map berwarna biru miliknya. Menaruh kembali ke dalam tas ransel.
Elvano menyandarkan punggung pada tembok, memandangi sahabatnya itu. Membuat Harvey risih, ia menoleh. Memberi tatapan heran. "Napa sih? Lo liatin gua sampe segitunya."
"Gak papa. Bingung aja sama sikap lo ke Marvelyn," ucap Elvano, "Pake suap-suapan segala lagi," lanjutnya. Harvey melengos. Ia berdiri dari tempat duduk dan pergi.
Elvano terkekeh. Ia tahu, sahabatnya itu tidak akan pernah mau menjawab pertanyaannya jika hal tersebut berhubungan dengan Marvelyn. "Bilang aja tertarik. Susah banget," gumamnya.
"Elvano!"
"Ya, bu?"
"Tolong bawakan laptop ibu, ya!"
"Siap, Bu!"
📝
Marvelyn bersama Sabrina dan ketujuh perempuan itu melepaskan sepatu dan memasukkan ke dalam rak persis sebelah ruangan multimedia. Ruangan tersebut beralaskan karpet, jadi harus melepaskan sepatu untuk masuk ke dalam.
Marvelyn berdiri di depan pintu. Ia mengambil kunci ruangan multimedia dalam saku rompi. Memasukkannya ke dalam lubang pintu, kemudian memutar kunci ke kanan hingga pintu terbuka. Gadis itu mencabut kunci tersebut dan kembali memasukkannya ke dalam saku rompi.
Yang lainnya mengikuti Marvelyn masuk. May yang paling terakhir masuk, menutup pintu. Lalu ia ikut bergabung dengan kedelapan perempuan yang duduk membentuk sebuah lingkaran kecil.
"Guys, gua tau ini gak mudah buat kita." Sabrina angkat bicara. Menatap satu-satu anggotanya yang memberikan ekspresi serius, mendengarkannya berbicara. "Dalam kurun waktu dua minggu, kita udah harus ready. Dikira gampang apa siapin konsep, kostum dan koreo?"
Sabrina menghela napas. "Tapi, ya... mau gak mau. Kalau gak basket gak bisa ikut."
"Tapi gak adil gak sih? Kita baru tau dua hari yang lalu tentang anak basket fix ikut DBL, dan mereka desak kita untuk ikut, sementara progres kita masih nol." Marvelyn menyuarakan kata-kata yang sedari tadi ingin luapkan di depan Bu Dewi, orang yang menjadi pembina mereka, sekaligus merupakan guru seni tari di SMA Colorosa. "Gua mau bilang kayak gitu sama Bu Dewi, tapi dia terus ngedesak kita dan bilang bakal jadi masalah kalau kita nolak. Anak-anak basket pasti marah sama kita. Ya, bener kata Bu Dewi. Tapi tetep aja gak adil," lanjutnya.
"Anak basket minta gua maki-maki nih. Daftar bukannya dari jauh-jauh hari, malah mepet. Bikin susah kita aja." Terdengar nada kesal dari perkataan Teresa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Dear You ✔️
Teen Fiction[1/3] The Trois Series ~ SEDANG PROSES REVISI ~ Bagi Marvelyn, Ryan adalah cinta pertama dan juga patah hati pertamanya. Cowok itu sukses membuat Marvelyn jatuh cinta hingga lupa bahwa tanda-tanda kecil Ryan menyukai dirinya masih semu. Namun, lelak...