Percakapan antara Ryan dan Marvelyn di awal-awal cukup menyenangkan, tetapi begitu gadis itu mulai membawa nama Harvey ke topik pembicaraan keduanya membuat Ryan rasa nyeri di dadanya muncul. Namun, dirinya harus tetap berusaha tidak menunjukkan perasaan aslinya terhadap gadis di sampingnya.
Ryan cukup sadar bahwa sedari awal ia yang memilih melepas Marvelyn disaat gadis itu benar-benar menyayanginya. Ia tidak memiliki hak untuk kembali membuat Marvelyn jatuh cinta pada dirinya jika jelas-jelas gadis itu telah menaruh hati kepada Harvey.
Lagipula Marvelyn lebih sering terlihat sedih ketika jatuh hati padanya. Berbanding terbalik dengan yang sekarang.
Oleh karena itu, Ryan jauh lebih senang melihat Marvelyn bahagia dengan seseorang yang mampu membuat senyum di bibir gadis itu tidak lenyap.
Sepanjang keduanya mengobrol, Ryan diam-diam menghubungi lelaki bermarga Pranata itu untuk bergantian dengan dirinya menemani Marvelyn.
Maksud lain dari Ryan, ia sengaja memberi kedua orang itu mengobrol agar semuanya jelas.
Mengenai perasaan mereka.
Dan ini adalah satu-satunya cara Ryan meminta maaf kepada Marvelyn karena sudah banyak menyakiti dan membuat gadis itu sedih dengan menyatukannya dengan lelaki yang sekarang dicintainya. Sekalipun cara ini menyakiti dirinya. Akan tetapi, yang terpenting bukanlah perasaan Ryan, melainkan perasaan Marvelyn yang lebih penting.
Kini ayunan di sebelah Marvelyn yang semula ditempati Ryan telah ditempati oleh Harvey.
Harvey maupun Marvelyn belum ada yang membuka suara. Keduanya saling menunggu siapa yang kira-kira akan memulai berbicara.
"Velyn."
"Vey."
Mereka memanggil nama masing-masing secara bersamaan. Membuat keduanya langsung bertatapan, lalu tertawa.
"Lo dulu aja."
"Gak. Lo duluan, Vey. Gua dengerin."
Harvey mau balas lagi, tapi dia ngurungin niat. Gak akan selesai kalau keduanya gak ada yang mau mengalah. Cowok itu menarik napas sesaat. Kemudian membuangnya pelan. "Maaf, mungkin tadi gua lagi sensitif."
"Gak papa. Gua ngerti," ucap Marvelyn lembut. Ia mengerti apa yang Harvey rasain. Jika dirinya di posisi cowok itu, ia juga akan jerah dengan sikap cewek sepertinya.
Sebenernya Marvelyn ingin sekali kabur dari sini. Bukan. Bukan karena dirinya tidak betah di sebelah Harvey, melainkan jantungnya yang berdetak begitu kencang.
Ah, sial. Gara-gara pembicaraannya dengan Ryan. Marvelyn jadi segrogi ini di dekat Harvey.
"Vey... Gua bukannya pura-pura gak peka." Marvelyn menjilat bibir bawahnya yang kering sebelum melanjutkan kalimatnya. "Gua gak mau kalau ternyata gua cuman geer sama semua sikap lo."
Harvey yang mendengarnya, langsung tersenyum lebar. Ia menatap sisi samping wajah gadis itu. "Gimana? Gimana?"
Pipi Marvelyn bersemu merah. Ia memegang kedua pipinya." Gak. G-gak ada siaran ulang," katanya terbata-bata.
"Ayolah," bujuk Harvey sambil mengguncang lengan Marvelyn. Namun, segera ditepis gadis itu. "GAK!"
Karena malu, Marvelyn buru-buru beranjak dari ayunan dan berlari. Menghindari cowok itu.
Harvey tertawa. Merasa gemas dengan teman sebangkunya itu. Kemudian ia menyusul Marvelyn.
"Marvelyn! Tungguin!" seru Harvey mengejar bermarga Wikarsa itu yang sudah berlari lumayan jauh darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Dear You ✔️
Teen Fiction[1/3] The Trois Series ~ SEDANG PROSES REVISI ~ Bagi Marvelyn, Ryan adalah cinta pertama dan juga patah hati pertamanya. Cowok itu sukses membuat Marvelyn jatuh cinta hingga lupa bahwa tanda-tanda kecil Ryan menyukai dirinya masih semu. Namun, lelak...