Harvey mengeringkan rambutnya basah dengan handuk. Ia menggantungkannya kembali pada gantungan yang berada di dalam kamar mandi miliknya. Lalu berjalan menuju meja belajar dan duduk di kursi.
Jika kalian bertanya dimana Harvey sekarang, jawabannya adalah rumah aslinya. Rumah yang ia tinggali sedari lahir. Lalu ketika kelas sepuluh, Harvey memutuskan untuk tinggal di apartemen.
Jumat sore kemarin, papanya meminta Harvey menginap untuk sementara. Entah sampai kapan.
Harvey memandangi meja belajar miliknya. Terdapat tumpukan buku pelajaran, buku tambahan untuk materi OSN, tempat pensil, binder, dan barang-barang yang lainnya. Di sana juga terselip beberapa foto yang sengaja Harvey tempel.
Matanya terhenti pada satu foto. Empat bocah berjenis kelamin lelaki itu tersenyum lebar sembari merangkul satu sama lain. Keempatnya terlihat begitu bahagia. Harvey tersenyum kecut. Sadar bahwa keadaan sudah berubah.
Suara pintu terbuka. Harvey mengalihkan pandangannya dari foto tersebut.
"Ketuk dulu dong," tegur Harvey.
Sosok itu hanya cengengesan. "Maap. Galak amat, sih. Gak kangen sama adeknya?" ucapnya memanyunkan bibir bagian bawah.
Harvey tersenyum kecil. Ia menghampiri dan memeluk adik perempuannya. "Manja banget. Udah SMA juga. Masih aja manja."
"Bodo," katanya sembari membalas pelukan sang kakak.
Kedua kakak-beradik itu kemudian melepaskan pelukan mereka. Harvey kemudian mengacak lembut rambut adiknya. "Gak nyangka, sekarang kamu udah dewasa.
"Masa aku kecil mulu. Aku itu manusia. Jadi pasti bertumbuh dan berkembang," kata gadis itu merapihkan rambutnya yang berantakan akibat ulah Harvey.
Harvey tertawa ringan.
"Oh, iya. Kakak dipanggil ke bawah sama papa dan mami."
Harvey mengangguk. "Yaudah. Ayo," ajaknya. Keduanya keluar dari kamar kemudian anak terakhir keluarga Pranata itu– Hani, menutup pintu karena ia yang terakhir keluar.
Harvey dan Hani berjalan menuruni tangga. Sesampai mereka di ruang makan, Harvey langsung disambut hangat oleh kedua orang tuanya. Sementara satu orang yang duduk di samping maminya– Agnes, terlihat tidak memiliki niat untuk sekadar memandang Harvey. Siapa lagi kalau bukan Mikhael.
"Duduk, Nak."
Harvey tersenyum sopan. "Iya, Mi." Ia duduk di kursi, lalu menyantap piring berisi nasi dan lauk yang sudah disediakan oleh Agnes.
"Makanan mami emang selalu enak!"
"Makasih sayang."
Suasana meja makan kembali hening setelah percakapan singkat kedua perempuan itu. Padahal Harvey yakin jika tidak ada dirinya, situasinya tak akan sekaku sekarang. Mikhael hanya bersikap dingin kepada Harvey saja sedangkan pada Hani dan kakak Harvey, yaitu Hans, ia tetap menunjukkan sikap hangatnya.
Tiba-tiba bantingan sendok dan garpu mengejutkan semua orang yang berada di meja makan.
"Aku kenyang," kata Mikhael, lalu berdiri dari kursi.
"Mikhael gak sopan! Balik ke tempat duduk kamu!" perintah wanita yang sudah berumur itu.
"Udah kenyang, Ma. Gak napsu. Liat orang asing di meja makan," sindir Mikhael.
Harvey tetap fokus memakan makanannya. Menghiraukan sindiran dari mantan sahabatnya yang kini berstatus sebagai saudara tirinya.
"Mikhael!"
"Apa? Emang bener kan, Pi? Baru inget punya rumah?" Ucapan Mikhael tampaknya sengaja memancing amarah Harvey.
Harvey menggertakan gigi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Dear You ✔️
Teen Fiction[1/3] The Trois Series ~ SEDANG PROSES REVISI ~ Bagi Marvelyn, Ryan adalah cinta pertama dan juga patah hati pertamanya. Cowok itu sukses membuat Marvelyn jatuh cinta hingga lupa bahwa tanda-tanda kecil Ryan menyukai dirinya masih semu. Namun, lelak...